Banjir Demak, Badan Geologi: Selat Muria Tak Akan Terbentuk dalam Waktu Dekat

Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan, Selat Muria tidak akan terbentuk dalam waktu dekat meskipun penurunan tanah di daerah pesisir Demak, Jawa Tengah, berkisar 5-11 sentimeter per tahun.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 22 Mar 2024, 15:50 WIB
Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana meninjau lokasi banjir di Kabupaten Jepara dan Kabupaten Demak, Senin, 18 Maret 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, Selat Muria tidak akan terbentuk dalam waktu dekat meskipun penurunan tanah di daerah pesisir Demak, Jawa Tengah, berkisar 5-11 sentimeter per tahun.

"Meskipun terjadi penurunan tanah di daerah Demak dan sekitarnya, Selat Muria bukan berarti akan terbentuk kembali dalam waktu dekat," kata Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid, dilansir dari Antara, Jumat (22/3/2024).

Wafid menjelaskan, banjir saat ini lebih dipengaruhi oleh iklim, yakni curah hujan yang tinggi, kerusakan infrastruktur tanggul, dan kondisi lapisan tanah.  Selain itu, banjir rob juga menyebabkan genangan air yang cukup lama.

"Secara teori, Selat Muria mungkin saja terbentuk kembali, yakni apabila terjadi proses geologi yang dahsyat, misalnya terjadinya gempa bumi tektonik berkekuatan sangat besar yang menyebabkan terjadinya amblesan tiba-tiba dan mencakup areal yang luas," tutur Wafid.

Amblesan tiba-tiba atau graben tersebut merupakan bahaya ikutan (collateral hazard) dari kejadian gempa bumi selain dari bahaya guncangan dan sesar permukaan (fault surface rupture). Menurut dia, penurunan tanah tidak cukup menjadi faktor penyebab Selat Muria terbentuk kembali.

"Kalau pun terjadi akan memerlukan waktu yang sangat lama dan kecepatan penurunannya harus seragam mulai dari Demak hingga Pati," ucap Wafid.

Wafid menjelaskan, wilayah pantai atau dataran pantai merupakan wilayah paling dinamis yang dibentuk oleh proses geologi, kondisi oseanografi, dan klimatologi.

Secara umum proses pembentukannya masih berlangsung hingga sekarang melalui proses-proses transportasi, pengendapan, dan konsolidasi sedimen, sehingga rawan terhadap bencana banjir rob, penurunan tanah, dan abrasi.

"Beberapa perkiraan faktor dominan kemungkinan akan kembali terbentuknya Selat Muria, adalah terjadinya penurunan muka tanah yang besar, juga disertai kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, serta terganggunya pola aliran sungai karena elevasi daratan lebih rendah dibanding muka air laut," tutur dia.

Berdasarkan penelitian Badan Geologi, daerah Demak dan sekitarnya secara umum didominasi dan disusun oleh endapan kuarter berupa endapan aluvial pantai atau aluvium.

Hasil survei geofisika bawah permukaan yang dilakukan oleh Badan Geologi menunjukkan ada sedimen bersifat lunak dan tebal.

"Kondisi itu menyebabkan mudah mengalami pemampatan alamiah maupun pemampatan karena beban antropogenik yang ada di wilayah tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan tanah," ungkap Wafid.

 

 


Banjir Demak Disebut Jadi Isyarat Kemunculan Selat Muria, Ini Kata BRIN

Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana meninjau lokasi banjir di Kabupaten Jepara dan Kabupaten Demak, Senin, 18 Maret 2024.

Banjir melanda Kabupaten Demak dan sekitarnya pada Selasa 19 Maret 2024. Jalur lalu lintas di wilayah tersebut sempat lumpuh total akibat jebolnya tanggul Sungai Wulan, bahkan ketinggian air mencapai 1,5 meter.

Belakangan muncul isu banjir Demak disebut-sebut berhubungan dengan kemunculan kembali Selat Muria. Selat Muria sendiri merupakan selat yang pernah ada dan menguhubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria.

Namun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan, peristiwa banjir besar di Demak hingga Kudus tak ada kaitan dengan isyarat kemunculan kembali Selat Muria.

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Eko Soebowo menjelaskan bahwa banjir yang terjadi murni pengaruh alam akibat kondisi cuaca ekstrem.

"Cuaca memang ekstrem dan daerah aliran sungai di wilayah sana tidak mampu menampung volume air hujan yang tinggi karena terjadi sedimentasi," ujar Eko dilansir dari Antara, Kamis (21/3/2024).

Eko mengungkapkan, kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan menjadi pemicu sedimentasi yang terjadi di sisi selatan.

Bahkan, pengambilan air tanah berlebihan membuat kawasan pesisir pantai utara Jawa mengalami penurunan muka tanah yang signifikan 5 sampai 10 cm per tahun.

Eko menambahkan, bentuk mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengeringkan kembali daratan Demak hingga Kudus adalah pembenahan tata guna lahan.

Menurutnya, kawasan konservasi dan kawasan lindung yang dulu dibuka untuk kawasan komersial dan perumahan harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai zona resapan air.

Selain itu, kata Eko, kegiatan pengambilan air tanah secara berlebihan juga harus dikurangi dengan membangun bendungan yang berfungsi sebagai sumber air bersih bagi masyarakat setempat, seperti Waduk Jatibarang di Semarang dan Waduk Jati Gede di Indramayu.

"Apakah banjir terjadi lautan lagi? Menurut pandangan kami itu tidak akan terjadi. Faktor utama kalau itu (daratan) kembali menjadi selat adalah kenaikan muka air laut," tambah Eko.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya