Liputan6.com, Jakarta - Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan Polri bakal beradaptasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.
"Tentu Polri akan beradaptasi kemudian mengkaji dan tunduk serta patuh pada aturan yang berlaku," kata Trunoyudo di Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Advertisement
Jenderal polisi bintang satu itu menekankan aturan baru tersebut tidak berlaku surut, sehingga perkara hoaks atau pencemaran nama baik yang sudah ditangani oleh kepolisian tetap berlaku.
Yang dimaksud tidak berlaku surut, menurut dia, adalah peraturan tersebut hanya berlaku untuk peristiwa yang terjadi setelah peraturan itu dinyatakan berlaku.
"Tentunya apa yang sudah kami lakukan langkah-langkahnya tidak berlaku surut," ujarnya yang dilansir dari Antara.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanty, serta menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.
“Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara RI II Nomor 9) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan saat sidang pleno yang dipantau secara daring dari Jakarta, Kamis (21/3).
MK berpendapat, unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 mengandung sifat ambiguitas.
Menurut MK, sulit menentukan ukuran atau parameter kebenaran suatu hal yang disampaikan oleh masyarakat. Ukuran atau parameter yang tidak jelas dalam mengeluarkan pendapat atau pemikiran, justru dapat membatasi hak setiap orang untuk berpikir.
Selain itu, hal ini juga dinilai mahkamah dapat mengancam kebebasan masyarakat untuk berpendapat.
“Oleh karena itu, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan.
Di samping itu, MK juga menyatakan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan norma yang mengandung pembatasan untuk mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik.
Dapat Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Norma tersebut berpotensi dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku yang menyebarkan berita bohong, tanpa sungguh-sungguh mengidentifikasi perbuatan pelaku. Oleh karena itu, MK berpendapat norma pada Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dapat memicu terjadinya pasal karet yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.
Selain itu, ketidakjelasan ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya juga terdapat pada unsur “onar atau keonaran” dalam pasal digugat. Menurut MK, penggunaan kata keonaran dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 berpotensi menimbulkan multitafsir.
Jika dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat, norma tersebut bisa mengancam hak masyarakat meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa.
“Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan,” kata Arsul Sani.
Gugatan tersebut diajukan Haris dan Fatiah bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Advertisement