Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Militer dan Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie dilaporkan ke polisi karena kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks. Dia dilaporkan ke polisi buntut pernyataannya di Instagram yang menuding polisi punya akses ke sirekap dan formulir C1.
Salah satu laporan dibuat oleh Aliansi Mahasiswa Peduli Pemilu (AMPP) ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Advertisement
Laporannya tergister dengan nomor: LP/B/860/III/2024/SPKT/POLRES METRO JAKSEL/POLDA METRO JAYA. Hal itu pun dibenarkan oleh Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro.
"Iya benar sekali. Kami menerima laporan polisi tentang tindak pidana ITE dengan terlapor saudari Connie Rahakundini," kata dia saat dikonfirmasi, Sabtu (23/3/2024).
Bintoro mengatakan, penyidik masih menelaah laporan tersebut. Ke depan, penyidik akan menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi untuk mendalami unsur pidananya.
"Selanjutnya dalam waktu dekat akan kami jadwalkan pemeriksaan saksi-saksi dan mengumpulkan bukti bukti yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang dilaporkan," ucap dia.
Dalam kasus ini, Connie diduga melanggar Tindak Pidana Kejahatan Informasi Dan Transaksi Elektronik UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (2) Juncto 45 A.
Connie Bakrie Rahakundini juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas kasus yang sama. Laporan tersebut teregister dengan nomor LP/B/1585/III/2024/SPKT/Polda Metro Jaya dan LP/B/1586/III/2024/SPKT/Polda Metro Jaya pada 20 Maret 2024 lalu.
Terpisah, Connie menyampaikan permohonan maaf atas pernyataan yang belakangan menuai kontoversi.
"Pernyataan saya itu mungkin merupakan salah paham dan untuk itu saya meminta maaf atas kebingungan dan kekhawatiran yang mungkin timbul akibatnya," ujar Connie.
Pakar Hukum Sebut Gaduh Sirekap Bisa Diusut Pakai UU ITE
Guru Besar Hukum Pidana Profesor Romli Atmasasmita menilai, aparat penegak hukum bisa menelusuri munculnya kegaduhan yang ditimbulkan dari aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik KPU. Menurut dia, UU Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) bisa digunakan guna mengusut dugaan kecurangan dari Sirekap.
"Karena itu (Sirekap) bukan pelanggaran ketentuan di UU Pemilu, jadi UU ITE karena dia transaksi elektronik dan ancaman hukumannya jauh lebih berat dari UU Pemilu. Kalau hal seperti ini harus gunakan jalur hukum," ujar Prof Romli dalam diskusi bertajuk 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024 Sebuah Konspirasi Politik' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2024).
Prof Romli meminta Polri tidak tinggal diam. Sebab Sirekap sudah menjadi sumber munculnya dugaan penggelembungan dan hilangnya rasa percaya publik terhadap proses Pemilu yang beraskan kejujuran dan keadilan.
Apalagi, kata dia, masyarakat sipil juga menyuarakan adanya audit forensik terhadap Sirekap milik KPU RI.
"Kenapa Pemilu 2019 ini enggak ramai? Kenapa sekarang ramai? Berarti dulu nggak ada masalah? Mungkin karena dulu belum ada Sirekap?” sindir Prof Romli.
Advertisement
Amburadul
Prof Romli menilai Pemilu 2024 masuk dalam kategori Pemilu yang sangat amburadul. Sebab pesta demokrasi diwarnai dugaan banyak kecurangan yang masuk dalam kategori terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Saya sudah tujuh kali ikut pemilu, saya lahir tahun 44, jadi tahu. Ini yang paling amburadul. Biar KPU, Bawaslu, Polri mengatakan ini sudah lurus, ini kalau bahasa saya, ini govermental crime. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pertanyaannya siapa yang bisa mengadili?,” tanya akademisi dari Universitas Padjajaran ini.
Prof Romli mendorong, usai Pemilu 2024 maka Undang-Undang terkait Kepemiluan hadus diperkuat. Khususnya soal sanksi yang wajib menjadi lebih tegas, seperti pemecatan terhadap mereka yang melanggar hak politik dan demokrasi warga negara. Dia juga menganjurkan agar segera dibentuk lembaga audit independen untuk mengaudit proses pemilu, termasuk audit dari sisi hukum.
"Harus ada karena selama ini cuma sanksi peringatan yang administratif. Bayangkan pelanggaran terhadap hak rakyat berdaulat hanya dengan administratif? Membunuh orang satu saja mati, ini membunuh demokrasi 270 juta jiwa dibunuh, dikorupsi, ini korupsi suara dan sistematis, terstruktur, dan masif. Nah kalau dilihat dari sudut itu, ini pengkhianatan terhadap konstitusi."
Tidak Transparan
Pada kesempatan senada, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan pihaknya kecewa dengan KPU dan pimpinan ITB yang tidak transparan soal proses pengadaan Sirekap.
Petrus mencatat cara kerja Sirekap, server Sirekap yang disebut berada di Singapura, China dan Prancis dan kerja sama antara KPU dengan Alibaba Cloud, Raksasa Teknologi China menjadi tanda tanya besar yang harus dijawab KPU.
"Sikap tertutup Rektor ITB dan KPU diperparah lagi dengan sikap Bareskrim Polri yang dua kali menolak laporan polisi TPDI dan Perekat Nusantara, ikhwal dugaan korupsi dalam pengadaan Sirekap dan penyebaran berita bohong perolehan suara Pemilu lewat Sirekap yang secara UU ITE masuk yurisdiksi Bareskrim Polri, bukan Bawaslu," kritik Petrus.
Petrus menilai, Sirekap sudah tidak bisa didefinisikan sebagai alat bantu hitung suara.
"Kami mendesak sekali lagi Bareskrim Polri menyita Sirekap sebagai alat bukti untuk meminta pertanggungjawaban dugaan tindak pidana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya melalui UU ITE, lalu diaudit secara forensik oleh lembaga independen dan diporses secara politik melalui hak angket di DPR," Petrus menutup.
Advertisement