Ekonom Goldman Sachs: AS Aman dari Resesi, Bakal Soft Landing

Banyak ekonom yang percaya pada kondisi soft landing karena belanja konsumen dan pasar tenaga kerja AS jauh lebih tangguh dari yang diperkirakan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 25 Mar 2024, 14:15 WIB
Pedagang bekerja di New York Stock Exchange saat Ketua Federal Reserve Jerome Powell berbicara setelah mengumumkan kenaikan suku bunga di New York, Amerika Serikat, 2 November 2022. (AP Photo/Seth Wenig)

Liputan6.com, Jakarta Kepala ekonom Goldman Sachs, Jan Hatzius memperkirakan bahwa Federal Reserve memiliki potensi untuk mencapai soft landing, dalam perjuangannya meredam inflasi Amerika Serikat.

"Tentu saja, sepertinya perekonomian (AS) tidak mendekati resesi," kata Hatzius, dikutip dari CNN Business, Senin (25/3/2024).

Meskipun ia mengakui bahwa inflasi AS di 2024 lebih tinggi dari perkiraan, ekonom Goldman Sachs itu tetap berpegang pada seruannya untuk melakukan soft landing.

"Kalau saya melihat arus berita secara keseluruhan selama setahun terakhir, masih sangat-sangat positif," ungkap Hatzius.

"Inflasi telah turun secara signifikan selama periode tersebut. Dan yang lebih penting, penurunan tersebut terjadi tanpa adanya kelemahan signifikan dalam aktivitas. Kami belum melihat resesi. Kita belum mendekati resesi," ia menekankan.

Dalam upayanya meredam inflasi, The Fed telah menaikkan suku bunga sejak tahun 2022 dan 2023 pada laju tercepat sejak tahun 1980-an di bawah kepemimpinan legendaris Paul Volcker.

Banyak pihak khawatir bahwa upaya meredam inflasi di AS akan menyebabkan melonjaknya pengangguran dan menghambat pemulihan ekonomi akibat Covid-19.

Pada suatu saat di musim gugur tahun 2022, model Bloomberg memproyeksikan risiko resesi AS sebesar 100% selama 12 bulan berikutnya.

Saat ini, banyak ekonom yang percaya pada kondisi soft landing karena belanja konsumen dan pasar tenaga kerja AS jauh lebih tangguh dari yang diperkirakan.

Hatzius pun mengatakan dia cukup yakin tidak akan ada resesi AS dalam 12 bulan ke depan, dan hanya menempatkan risiko penurunan sebesar 15%. Jumlah tersebut kurang lebih merupakan rata-rata risiko resesi pada tahun tertentu.

Perkiraan optimis tersebut seharusnya bisa melegakan pihak-pihak di Gedung Putih yang mencoba meyakinkan para pemilih mengenai pesan ekonomi AS dari Presiden Joe Biden.


Inflasi AS Diramal Mereda Bulan Juni Mendatang

Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)

Hatzius mengatakan bahwa inflasi AS kemungkinan akan cukup mereda pada bulan Juni untuk membuka jalan bagi The Fed mulai menurunkan suku bunga.

Hal ini akan membantu meringankan biaya pinjaman yang tinggi dalam segala hal mulai dari hipotek dan pinjaman mobil hingga kartu kredit.

"Perkiraan kami dan ekspektasi pasar saat ini adalah pemotongan pertama akan dilakukan pada bulan Juni, namun hal ini akan bergantung pada data," kata Hatzius.

Ia menyebut, The Fed dapat mempercepat penurunan suku bunga jika pasar tenaga kerja yang secara historis kuat mulai melemah.

"Jika kita melihat tanda-tanda kemerosotan pasar tenaga kerja yang lebih luas, menurut saya tindakan ini akan menjadi lebih mendesak," jelasnya.


Tingkat Pengangguran

Bursa saham Asia Pasifik lesu pada perdagangan Kamis, (4/5/2023) usai the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga. (Foto: Jason Briscoe/Unsplash)

Meskipun perekrutan pekerja tetap kuat, tingkat pengangguran di AS naik menjadi 3,9% pada bulan Februari, naik dari level terendah dalam sejarah sebesar 3,5% pada Juli 2023.

Hatzius mengatakan bahwa jika tingkat pengangguran bergerak ke kisaran rendah 4%, hal itu akan membuat para pejabat di dalam The Fed cukup gugup untuk mulai melanjutkan rencana penurunan suku bunga mereka.


Risiko Masih Ada

Meskipun risiko resesi telah mereda, selalu ada kemungkinan lain yang dapat mengubah keadaan dengan cepat.

"Hampir secara definisi, menurut saya guncangan itu negatif. Sekarang apa yang saya khawatirkan? Geopolitik tentu saja akan menempati urutan teratas," kata Hatzius.

"Kita hidup di dunia yang jauh lebih tidak stabil dengan konflik militer, perang di Ukraina, perang di Timur Tengah, dan meningkatnya ketegangan antara AS dan China," bebernya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya