Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara mengatakan pada hari Senin (25/3/2024) bahwa Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menawarkan untuk bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un sesegera mungkin. Pyongyang pun menekankan bahwa prospek pertemuan puncak pertama kedua negara dalam waktu sekitar 20 tahun akan bergantung pada toleransi Tokyo terhadap program senjatanya dan mengabaikan penculikan warga negara Jepang di masa lalu.
Jepang mengakui pihaknya telah berusaha untuk menyelenggarakan pertemuan puncak bilateral, namun menolak persyaratan Korea Utara yang tidak dapat diterima, sehingga mengurangi kemungkinan terwujudnya pertemuan Kishida-Kim Jong Un dengan cepat. Demikian seperti dilansir AP, Selasa (26/3).
Advertisement
Para pengamat mengatakan Kim Jong Un ingin meningkatkan hubungan dengan Jepang sebagai cara untuk menciptakan perpecahan antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, sementara Kishida ingin menggunakan kemungkinan kemajuan dalam masalah penculikan, sebuah masalah yang sangat emosional bagi Jepang, untuk meningkatkan peringkat persetujuannya di dalam negeri. Setelah mengakui pada tahun 2002 bahwa mereka telah menculik 13 warga negara Jepang, Korea Utara mengizinkan lima orang untuk kembali ke rumah mereka dan mengatakan yang lainnya telah meninggal.
Sementara itu, Jepang yakin beberapa dari mereka masih hidup.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh media pemerintah, saudara perempuan Kim Jong Un sekaligus pejabat senior Korea Utara, Kim Yo Jong, mengatakan bahwa Kishida baru-baru ini menggunakan saluran yang tidak disebutkan namanya untuk menyampaikan posisinya bahwa dia ingin bertemu langsung dengan Kim Jong Un sesegera mungkin.
Kim Yo Jong menegaskan tidak akan ada terobosan dalam hubungan Korea Utara-Jepang selama pemerintahan Kishida sibuk dengan masalah penculikan dan ikut campur dalam pelaksanaan hak kedaulatan Korea Utara, yang diyakini merujuk pada aktivitas pengujian senjata di Korea Utara.
"Sejarah hubungan DPRK-Jepang memberikan pelajaran bahwa tidak mungkin memperbaiki hubungan bilateral yang penuh ketidakpercayaan dan kesalahpahaman, hanya dengan gagasan pertemuan puncak," kata Kim Yo Jong, menggunakan singkatan dari the nama resmi Korea Utara, yakni Republik Demokratik Rakyat Korea.
"Jika Jepang benar-benar ingin meningkatkan hubungan bilateral dan berkontribusi untuk memastikan perdamaian dan stabilitas regional sebagai tetangga dekat DPRK maka Jepang perlu mengambil keputusan politik mengenai opsi strategis yang sesuai dengan kepentingan keseluruhannya."
KTT Terakhir Jepang-Korea Utara
Pada Februari, Kim Yo Jong mengeluarkan pernyataan serupa. Dia mengatakan Korea Utara terbuka untuk mengundang Kishida ke Pyongyang, namun hal itu hanya mungkin terjadi jika Jepang berhenti mempermasalahkan hak sah Korea Utara untuk membela diri dan masalah penculikan.
Kishida, yang berbicara di sidang parlemen, mengatakan bahwa pertemuan dengan Kim Jong Un "penting" untuk menyelesaikan masalah penculikan dan bahwa pemerintahnya telah menggunakan berbagai saluran untuk membahas kemungkinan pertemuan puncak. Juru bicara pemerintah Jepang Yoshimasa Hayashi menuturkan kepada wartawan Senin malam bahwa mengabaikan masalah penculikan dalam pembicaraan dengan Korea Utara tidak dapat diterima.
Korea Utara dan Jepang tidak memiliki hubungan diplomatik dan hubungan mereka dibayangi oleh program nuklir Korea Utara, masalah penculikan, dan penjajahan Jepang di Semenanjung Korea pada tahun 1910-1945. Kesalahan kolonial Jepang juga menjadi sumber perselisihan antara Tokyo dan Seoul.
Setelah bertahun-tahun menyangkal, Korea Utara mengakui dalam pertemuan puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2002 antara Kim Jong Il, mendiang ayah Kim Jong Un, dan perdana menteri Jepang saat itu Junichiro Koizumi bahwa agen-agennya telah menculik 13 warga Jepang.
Jepang yakin Korea Utara ingin memanfaatkan mereka untuk melatih mata-mata berbahasa dan berbudaya Jepang.
Pada tahun 2004, Koizumi melakukan kunjungan kedua ke Korea Utara dan bertemu kembali dengan Kim Jong Il. Itu merupakan pertemuan puncak terakhir antara pemimpin kedua negara.
Pembicaraan tentang kemungkinan pertemuan puncak Korea Utara-Jepang muncul di tengah kekhawatiran bahwa Korea Utara akan semakin mengintensifkan kegiatan pengujian senjatanya pada tahun pemilu di AS dan Korea Selatan. Para ahli mengatakan Korea Utara bermaksud menggunakan persenjataan yang lebih besar untuk mendapatkan konsesi dari AS seperti keringanan sanksi.
"Meskipun Korea Utara mungkin menunggu pemilu di Korea Selatan dan AS sebelum melibatkan kembali negara-negara tersebut dalam diplomasi, mereka mungkin ingin memperkuat kekuasaannya dengan mengembangkan senjata dan menimbulkan perpecahan di antara sekutu AS," kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Ewha Womans University di Seoul. "Kishida merasakan urgensi politik untuk mengatasi masalah penculikan dan dengan demikian menunjukkan upaya diplomasi."
Advertisement
Denuklirisasi Korea Utara
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Korea Selatan mengatakan pada hari Senin bahwa pihaknya berkomunikasi erat dengan Jepang mengenai kontak Tokyo-Pyongyang dan masalah nuklir Korea Utara. Kemlu Korea Selatan menyebutkan pihaknya, AS, dan Jepang bekerja sama secara erat untuk mengembalikan Korea Utara ke jalur denuklirisasi.
Kemajuan persenjataan nuklir dan rudal Korea Utara menimbulkan ancaman keamanan besar bagi Jepang serta Korea Selatan dan AS. Ketiga negara tersebut telah memperluas latihan trilateral mereka sebagai tanggapan terhadap uji coba senjata provokatif yang dilakukan Korea Utara sejak tahun 2022. Jepang dan Korea Selatan adalah dua sekutu utama AS di kawasan ini, yang bersama-sama menampung sekitar 80.000 tentara AS di wilayah mereka.
Sebelumnya pada hari Senin, media pemerintah Korea Utara melaporkan bahwa Kim Jong Un mengawasi latihan tank dan mendorong pasukan lapis bajanya untuk mempertajam persiapan perang dalam menghadapi meningkatnya ketegangan dengan Korea Selatan.
Meskipun sebagian besar analis meragukan Kim Jong Un benar-benar mempersiapkan perang, para pejabat Korea Selatan telah meningkatkan kemungkinan terjadinya provokasi yang lebih kecil di wilayah perbatasan, termasuk sengketa batas laut barat antara kedua Korea yang telah menjadi lokasi bentrokan berdarah dalam beberapa tahun terakhir.