Liputan6.com, Jakarta Pemilih disabilitas mengalami pelanggaran selama proses penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Hal ini diungkap dalam laporan pemantauan Pemilu 2024 yang dirilis pada Jumat, 22 Maret 2024 oleh beberapa institusi yakni:
- Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia.
- Pusat Rehabilitasi Yakkum.
- Formasi Disabilitas.
- Didukung Program INKLUSI (Kemitraan Australia - Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif).
Pemantauan dilakukan dari periode kampanye hingga pencoblosan dan rekapitulasi penghitungan surat suara dengan melibatkan 218 relawan pemantau dari 20 Provinsi. Para pemantau disebar ke 218 tempat pemungutan suara (TPS) di 42 kabupaten/kota.
Advertisement
Hasil pemantau mencatat 45 persen TPS yang tidak memiliki informasi data pemilih difabel. Situasi ini berimplikasi pada pengabaian terhadap layanan, aksesibilitas dan pendampingan yang dibutuhkan pemilih difabel.
Temuan ini sama dengan hasil survei persepsi pemilih difabel yang dilakukan sebelumnya, bahwa difabel yang tercatat sebagai pemilih difabel masih rendah (35,7 persen). Sementara, 44,9 persen difabel terdata sebagai bukan pemilih dan sisanya 19,4 persen tidak mengetahui status mereka sebagai pemilih.
Menurut perwakilan penulis laporan, Nur Syarif Ramadan, penyediaan aksesibilitas dan pemahaman kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) terkait layanan yang akses tidak didasarkan pada data yang akurat. Begitu pula terkait pendampingan bagi difabel.
Syarif menduga, tidak banyak petugas di TPS yang mengetahui keberadaan pemilih difabel. Sehingga pelanggaran bisa dialami saat proses pemungutan suara berlangsung.
“Saya sendiri, di Makassar, kemarin tidak terdata sebagai difabel, padahal saya difabel,” kata Syarif dalam keterangan pers yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Senin, 25 Maret 2024.
Kelayakan Aksesibilitas
Selain masalah pendataan, kelayakan aksesibilitas bagi pemilih difabel di TPS juga masih jauh dari harapan. Temuan menunjukkan:
- Sekitar 54 persen pemilih difabel fisik yang menggunakan kursi roda mengalami kesulitan saat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.
- Sekitar 41 persen petugas KPPS tidak memberikan instruksi non-verbal saat memanggil pemilih difabel sensorik Tuli.
- Sebanyak 84 persen TPS tidak menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI).
- Sekitar 69 persen di antaranya tidak memberikan informasi tentang tata cara pemungutan dengan bahasa isyarat.
Advertisement
Soal Alat Bantu Pencoblosan
Syarif melanjutkan, pemahaman petugas pemilihan terhadap alat bantu pencoblosan (template) bagi pemilih difabel sensorik netra juga masih belum merata.
Dari 27 persen TPS yang diamati, sekitar 43 persen pemilih difabel netra menghadapi kesulitan saat memberikan hak pilihnya di bilik suara dan sering memerlukan bantuan orang lain.
Sekitar 35 persen petugas KPPS tidak memberitahu pemilih difabel netra tentang ketersediaan template dan cara penggunaannya, sementara 33 persen template yang tersedia di TPS sulit digunakan oleh difabel netra.
“Kemudian ada 45 TPS di 15 Provinsi yang belum menyediakan formulir C3 (surat pernyataan pendamping pemilih) di beberapa lokasi pemungutan suara.”
“Padahal Formulir C3 dibutuhkan untuk memastikan asas kerahasiaan bagi pemilih dan proses pendampingan bagi pemilih difabel,” lanjut Syarif.
Dikonfirmasi Ketua Bawaslu RI
Temuan ini dikonfirmasi Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja. Dia mengatakan, Bawaslu juga mencatat ada pendamping pemilih difabel yang tidak menandatangani form C3 di 5.836 TPS.
Temuan-temuan Bawaslu sudah disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi bahan evaluasi, terutama menyambut penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Kita punya PR besar di depan mata meski Pilkada masih akan dilaksanakan pada bulan November. KPU harus memperbaiki daftar pemilihnya,” katanya.
Advertisement