Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dalam publikasi terbarunya menyebut bahwa perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang disabilitas menghadapi risiko pelecehan. Namun, sebagian besar data kasus yang mereka alami cenderung tersembunyi baik dalam data nasional maupun global.
Badan kesehatan tersebut menyerukan perlunya penelitian yang lebih baik di seluruh negara soal pelecehan perempuan disabilitas dan lansia. Data ini akan membantu memastikan perempuan-perempuan ini lebih terlindungi dan kebutuhan spesifiknya lebih dipahami dan ditangani dengan baik.
Advertisement
Sebuah tinjauan sistematik menemukan bahwa perempuan penyandang disabilitas memiliki risiko kekerasan yang lebih besar dari pasangan intimnya dibandingkan dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Sementara, tinjauan sistematis lainnya juga menemukan tingkat kekerasan seksual yang lebih tinggi.
“Perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang disabilitas kurang terwakili dalam banyak penelitian yang ada mengenai kekerasan terhadap perempuan, sehingga melemahkan kemampuan program untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka,” kata Pejabat Teknis di WHO dan Program Khusus PBB untuk Urusan Perempuan, Dr Lynnmarie Sardinha dalam keterangan resmi WHO, Rabu (27/3/2024).
“Memahami betapa beragamnya perempuan dan anak perempuan terkena dampak yang berbeda-beda, serta apakah dan bagaimana mereka mengakses layanan, sangatlah penting untuk mengakhiri kekerasan dalam segala bentuknya,” tambah Lynnmarie sebagai penulis laporan.
1 Dari 3 Perempuan Alami Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan terhadap pasangan intim dan kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang paling umum terjadi secara global dan menimpa sekitar 1 dari 3 perempuan.
Perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang disabilitas masih menjadi sasaran kekerasan-kekerasan seperti ini. Namun, mereka juga menghadapi risiko-risiko spesifik dan bentuk-bentuk pelecehan lainnya, yang kadang-kadang dilakukan oleh pengasuh atau profesional layanan kesehatan.
Hal ini mencakup perilaku yang memaksa dan mengendalikan seperti menahan obat-obatan, alat bantu atau aspek perawatan lainnya, dan penyalahgunaan keuangan.
Advertisement
Kekerasan Seksual Paling Sering Dialami
Di antara perempuan berusia 60 tahun ke atas, tinjauan yang dilakukan oleh WHO menemukan bahwa kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan intim masih merupakan bentuk pelecehan yang paling sering dialami.
Namun, seiring bertambahnya usia pasangan, beberapa perempuan melaporkan adanya perubahan dari kekerasan yang didominasi fisik dan/atau seksual menjadi kekerasan psikologis. Termasuk ancaman untuk ditinggalkan dan perilaku pengendalian lainnya.
Perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang disabilitas bisa menjadi sangat terisolasi ketika kekerasan terjadi. Sehingga lebih sulit bagi mereka untuk melarikan diri dan melaporkan pelecehan yang mereka alami.
Stigma dan Diskriminasi Halangi Akses Layanan
Ditambah, stigma dan diskriminasi dapat semakin mengurangi akses terhadap layanan atau informasi. Ini juga mengakibatkan laporan kekerasan mereka diabaikan oleh pihak yang memberikan bantuan.
“Kekerasan berbasis gender berakar pada ketidaksetaraan kekuasaan dan kontrol terhadap perempuan,” kata Dr Avni Amin, Kepala Hak dan Kesetaraan di Unit Kursus Kehidupan di WHO.
“Bagi perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang disabilitas, ketergantungan dan keterasingan mereka semakin dieksploitasi oleh para pelaku, sehingga meningkatkan risiko pelecehan,” tambahnya.
Maka dari itu, layanan harus responsif terhadap kebutuhan mereka dan mengidentifikasi kontak yang tepat melalui sistem kesehatan dan layanan. Sehingga, semua perempuan yang mengalami kekerasan dapat mengakses layanan yang berempati dan berpusat pada penyintas.
Advertisement