Liputan6.com, Jakarta - Henti jantung adalah penyebab kematian mendadak yang sering kali tidak terduga. Bagi orang-orang yang berisiko tinggi mengalami henti jantung, seperti mereka yang memiliki penyakit jantung atau riwayat keluarga henti jantung, rasa cemas dan ketakutan akan selalu menghantui.
Salah satu cara untuk mencegah henti jantung adalah dengan menggunakan Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD). ICD adalah perangkat kecil yang ditanamkan di dada yang dapat mendeteksi dan menghentikan ritme jantung yang abnormal.
Advertisement
ICD versi lama memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya adalah dapat menyebabkan komplikasi, seperti infeksi dan kerusakan saraf.
Sehingga kini hadir S-ICD (Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator), sebuah perangkat canggih yang memberikan harapan baru bagi pasien berisiko tinggi henti jantung. S-ICD adalah alat pencegahan henti jantung yang ditanamkan di bawah kulit dan mampu mendeteksi dan menghentikan ritme jantung yang abnormal secara otomatis.
Seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah serta konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, Jakarta, Sunu Budhi Raharjo memperkenalkan perangkat yang baru hadir pertama kali di Indonesia ini dalam Diskusi Media pada Senin, 25 Maret 2024.
S-ICD memiliki kemampuan yang sama dengan ICD, namun penempatan perangkat ini berbeda dengan yang sebelumnya. "Alat yang tidak harus masuk ke dalam jantung, tapi hanya di bawah kulit," ucap Sunu.
Perangkat S-ICD memiliki generator yang ditanam dibawah kulit bagian bawah ketiak dan dimasukkan di celah-celah otot. Begitu pula untuk kabelnya yang tidak sampai ditanam di dalam jantung.
Pemasangan S-ICD Pertama Kali di Indonesia
Baru-baru ini, Heartology Cardiovascular Hospital, Jakarta mengabarkan pemasangan S-ICD yang pertama kali di Indonesia. Pemasangan ini berlangsung pada 9 Maret 2024 pada pasien laki-laki berusia 46 tahun yang berasal dari Papua.
Sunu menyebutkan bahwa pasien ini datang tanpa keluhan apa pun, namun hasil pemeriksaan EKG menunjukkan adanya gambaran gangguan aritmia atau gangguan irama jantung, "pasien relatif tanpa keluhan. Namun dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), ditemukan gambaran gangguan aritmia yang disebut Sindrom Brugada."
Sindrom Brugada sendiri adalah salah satu jenis gangguan aritmia yang menyebabkan jantung berdetak lebih cepat. Sindrom ini menjadi penyumbang terbesar kematian jantung mendadak pada individu yang sehat di daerah Asia Tenggara.
Sunu menyebutkan bahwa pemasangan S-ICD pada pasien memiliki risiko komplikasi yang kecil dan tidak mengganggu aktivitas pasien.
"Hal ini (S-ICD) mampu memberi komplikasi lebih kecil dan yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu."
Advertisement
Pemasangan S-ICD dan Cara Kerjanya
Pemasangan S-ICD pada pasien diawali dengan screening kesehatan terlebih dahulu. Bagi pasien yang deteksi denyut jantung dari permukaan kulitnya masih cukup baik, maka dapat dipasangkan S-ICD. "Kalau mereka yang mempunyai deteksi heart rate nya dari kulit itu tidak bagus, ya terpaksa kita sampaikan ini harus masuk ke dalam jantung," jelas Sunu.
Hal ini dikarenakan oleh pemasangan S-ICD yang hanya dibawah permukaan kulit, sehingga bisa tidak efektif dalam membantu orang-orang yang denyut jantungnya sudah terlalu lemah.
Pemasangan kabel S-ICD yang melewati tulang selangka juga dikatakan akan membatasi pergerakan bahu pasien. Sehingga bagi pasien yang dipasangi S-ICD disarankan untuk tidak banyak melakukan aktivitas yang melibatkan pergerakan bahu untuk mengurangi risiko cedera.
Sedangkan untuk cara kerja S-ICD, Sunu menjelaskan bahwa alat akan otomatis bekerja saat denyut jantung meningkat dengan sangat cepat. S-ICD menghentikannya dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, pasien akan terhindar dari risiko yang fatal.