Liputan6.com, Larantuka - Tradisi Semana Santa atau pekan suci Paskah di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT) resmi dimulai setelah puluhan anak melakukan aksi bunyi-bunyian di depan Kapela Tuan Ma, usai kegiatan mengaji Tuan Mardomu Pintu Tuan Ma dan Tuhan Ana, Rabu 27 Maret April 2024.
Ratusan jemaat Katolik dari Larantuka atau kota-kota lain mengikuti misa keagamaan sembahyang atau ibadat lamentasi pada hari yang juga dikenal sebagai Rabu Trewa ini.
Baca Juga
Advertisement
Lamentasi atau Ratapan Yeremia sendiri menjadi momen berdoa yang dilakukan dalam tiga ratapan.
Usai melakukan lamentasi, di Larantuka, lampu di Kapela Tuan Ma dipadamkan dan peringatan Rabu Trewa disambung dengan aksi trewa.
Rabu trewa mengenang bagian sejarah saat-saat ditangkap dan diaraknya Yesus sebelum kemudian disalib.
Aksi bunyi-bunyian dilakukan sebagai tanda masuk masa perkabungan atas kisah sengsara Yesus di Larantuka.
Kendati selalu diidentikkan dengan penderitaan, makna Rabu Trewa menurut Raja Larantuka, Don Martinus DVG memberi pesan penderitaan juga wujud kegembiraan.
Ia menerangkan bunyi-bunyian yang dibuat tidak lain adalah bentuk kegembiraan karena orang yang menganggap dirinya adalah Raja telah ditangkap.
"Ini bentuk ungkapan kegembiraan saja karena esensi Tuan Trewa adalah demikian. Kendati Dia adalah Putra yang siap diri untuk disiksa, diadili dan dimahkotai duri untuk menjalankan misi penebusan yang diberikan Allah Bapa-Nya sebagai penebus," katanya.
Esensi Rabu Trewa
Dari sisi budaya, esensi Rabu Trewa sendiri adalah waktu di mana panglima perang kerajaan melaporkan kepada pihak kerajaan bahwa pelaksanaan mengaji Semana yang dilaksanakan dalam beberapa hari terakhir sudah berjalan lancar dan aman sehingga bisa dilanjutkan dengan Prosesi Jumat Agung.
"Ini juga bagian dari sebuah bentuk pelaporan tentang pelaksanaan mengaji Semana yang sudah dilaksanakan sekaligus meminta persetujuan pihak kerajaan untuk membuka pintu Tuan Ma dan Tuan Ana untuk nantinya diarak pada Jumat Agung nanti," tegasnya.
Upacara mengaji Semana Santa berakhir hari Rabu Trewa, oleh Suku Kapitan Jentera, suku yang berkedudukan sebagai panglima perang Kerajaan Larantuka. Usai mengaji, Suku Kapitan Jentera melapor kepada Raja Larantuka, bahwa ritus mengaji semana telah selesai dan siap dilanjutkan dengan prosesi Jumat Agung.
Pada malam mengaji semana berakhir, diadakan pula liturgi lamentasi (nyanyian ratapan Yeremia). Setelah selesai lamentasi, umat membunyikan benda-benda seperti kaleng, seng ataupun benda lain, sambil berteriak "Trewa... trewa..!", sebagai tanda bagi seluruh umat untuk tidak melakukan aktivitas berat. Umat Katolik di Larantuka dilarang bepergian ke luar wilayah Larantuka, agar sama-sama memasuki masa perkabungan agung.
Padam malam Rabu Trewa, di Istana Raja Larantuka dilaksanakan pula upacara untuk menentukan siapa yang membawakan ovos (nyanyian ratapan) pada salah satu armida. Di Istana Raja itu juga dilakukan persiapan terakhir dimana para confreria melatih koor yang akan dinyanyikan pada prosesi Jumat Agung.
Keesokan harinya, Kamis, dalam liturgi Gereja Katolik disebut sebagai hari Kamis Putih.
Advertisement