Liputan6.com, Jakarta - Saat Ramadhan tiba, banyak muslim menghabiskan waktu untuk berdoa dengan harapan agar doa mereka dikabulkan oleh Allah SWT. Namun, ada kalanya meskipun doa-doa tersebut dilakukan secara konsisten, tampaknya belum terkabul.
Dalam situasi seperti ini, penting untuk memahami beberapa konsep yang terkait dengan doa dalam Islam.
Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Terkadang, ketika doa belum terkabul, itu bukan berarti Allah tidak mendengarkan atau mengabaikan doa tersebut. Allah mungkin menunda menjawab doa karena mengetahui bahwa waktu atau cara menjawab doa tersebut belum tepat.
Ada kemungkinan bahwa apa yang diminta dalam doa tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Manusia terbatas dalam pengetahuan dan pemahaman mereka, sedangkan Allah memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang sempurna. Oleh karena itu, Allah mungkin mengetahui bahwa permintaan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan jangka panjang atau rencana-Nya yang lebih besar.
Ketika doa belum terkabul, ini bisa menjadi ujian iman bagi individu tersebut. Allah mungkin ingin melihat seberapa sabar dan tawakal seseorang dalam menghadapi ketidakpastian atau rasa tidak puas saat doanya belum terwujud.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Berdoalah Tanpa Lelah
Penting untuk memperhatikan kualitas doa yang diajukan. Dalam Islam, tidak hanya jumlah doa yang penting, tetapi juga kualitas doa tersebut. Doa yang dilakukan dengan kesungguhan, ketulusan, dan penuh harapan kepada Allah memiliki peluang yang lebih besar untuk dikabulkan.
Ketika doa belum terkabul, Muslim diajarkan untuk terus berdoa tanpa lelah dan tetap percaya kepada Allah SWT. Mungkin saja doa tersebut akan dikabulkan pada waktu yang tepat, atau Allah akan memberikan penggantinya yang lebih baik. Kesabaran, keteguhan hati, dan keyakinan merupakan kunci dalam menghadapi situasi di mana doa belum terkabul.
Mengutip arrahim.id, alkisah, suatu hari seorang tokoh besar bernama Imam Hasan al-Bashri tengah berjalan di pasar kota Basrah. Datang seseorang kepada beliau kemudian bertanya, “wahai Abu Ishak, katanya dalam Al-Qur’an itu ud’uni astajiblakum. Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Mintalah kepada-Ku, Aku akan penuhi permintaanmu. Begitu janji Allah dalam Al-Qur’an, bukan?”
“Kami ini,” kata penduduk Basrah tersebut, “sudah lama berdoa kepada Allah, sudah banyak sekali kami memohon kepada-Nya, kok sampai sekarang doa kami tidak dijawab-jawab, tidak pernah dikabulkan? Ini bagaimana? Apa kami salah pasang? Apa Tuhan pas kebetulan tidak dengar? Atau bagaimana?”
Advertisement
Rahasia Abadi Doa Diterima dan Terkabul
Imam Hasan al-Bashri tersenyum lalu menjawab, “wahai penduduk Basrah, hatimu mati. Dari hati yang mati, doa tidak akan terjawab. Tidak ada getaran yang menyebabkan tersambungnya hati kepada Allah; tidak ada getaran untuk sampai kepada ‘Arsy dari hati yang mati; karena itu, maka doamu tak kunjung dikabulkan.”
Kenapa doa sepertinya tidak didengar, permohonan tidak dikabulkan, semua itu disebabkan karena hati yang mati menurut Imam Hasan al-Bashri. Lantas, apa yang menyebabkan hati menjadi mati? Apa yang menyebabkan hati menjadi mati sehingga tidak ada getaran yang mengantarkan doa kita untuk sampai pada ‘Arsy?
Imam Hasan al-Bashri menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan hati menjadi mati, yang pertama adalah ketika kita kenal Allah, tapi hak-Nya untuk disembah, kewajiban kita untuk menyembah, tidak pernah kita laksanakan sebagaimana mestinya.
Siapa Tuhan semesta alam? Allah. Siapa pencipta langit dan bumi? Allah. Siapa pengatur segala sesuatu? Allah. Kita tahu betul semua itu, kita mengenal apa dan siapa Allah itu, tapi shalat atau tidakkah kita? Benar-benar sudah puasa atau belum kita itu? Kita sudah melakukan semua itu dengan segenap kesadaran hati atau sebagai formalitas belaka?
Surat Al-Fatihah mengajarkan kepada kita iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Tartib al-kalimat, na’budu dulu, baru nasta’in. Jadi, kalau na’budu-nya terlaksana, nasta’in-nya akan datang. Masa ya seenak jidat kita ingin permintaan kita dituruti baru kemudian beribadah? Kita ingin doa kita segera terkabul sementara ibadah kita asal melakukan? Memang siapa yang Tuhan? Allah atau kita?
Doa akan didengar, permohonan niscaya dikabulkan, dan munajat pasti diterima; ketika hati sudah tidak lagi mati. Maka, kalau hati tidak mau mati, janganlah pengenalan kita kepada Allah tidak diiringi dengan pendekatan kita kepada-Nya. Bagaimana cara mendekat kepada Allah?
Logika saja, kalau kita mau dekat dengan seseorang atau sesuatu, maka sudah semestinya kita ikuti aturan main seseorang itu, sering-sering memberikan atau melakukan apa yang disukainya dan menghindarkan apa yang dibencinya, lambat laun kita akan dekat. Mau dekat dengan Allah kita bikin metode sendiri dengan jalan duduk melamun, rebahan, main game dan scrolling-scrolling sosial media berjam-jam? Kalau mau dekat dengan Allah, maka ikuti cara yang sudah diatur oleh Allah. Melaksanakan betul apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan menambahkan hal-hal yang menjadikan Allah senang seperti menjalankan amalan-amalan kesunnahan.
Penyebab Hati Mati Berikutnya
Kemudian, yang menyebabkan hati jadi mati yang kedua ialah kita baca Al-Qur’an, kita dengungkan Al-Qur’an, kita sanjung Al-Qur’an, tapi isinya tidak benar-benar kita laksanakan.
Al-Qur’an diturunkan adalah sebagai tuntunan, bukan sekadar sebagai barang sejarah peninggalan. Umpamanya kalau kita dikirimi surat oleh seseorang yang sangat kita kagumi, kita baca surat itu siang malam, kita ceritakan kepada orang-orang bahwa kita dikirimi surat oleh orang yang sangat kita kagumi tapi amanat yang ada di dalam surat itu tidak benar-benar kita laksanakan; apa ya yang mengirim surat tidak marah?
Kita membaca Al-Qur’an itu penting supaya kita mengerti apa isinya. Kita menghafalkannya malah semakin baik supaya senantiasa terekam di kepala. Tapi kemudian kita tidak benar-benar melaksanakan, ya apa? Untuk apa kita mengerti, kita hafal, kalau berhenti sampai di situ saja. Begitu Al-Quran diturunkan kepada kita, kita baca itu, kita pelajari itu, dan kita hafalkan; tapi isinya tidak benar-benar kita amalkan, bagaimana hati tidak akan menjadi mati?
Selanjutnya, yang ketiga, yang menyebabkan hati menjadi mati ialah kita makan nikmat Tuhan, tapi kita lupa untuk bersyukur atasnya.
Tidak pernah sesaat pun dalam hidup Allah berhenti memberikan nikmat. Sejak kita bangun tidur sampai kita tidur kembali, bahkan tidur itu sendiri, semuanya adalah nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Dari sekian banyak nikmat-nikmat yang kita tidak akan pernah sanggup menghitungnya, kita cuma diminta untuk bersyukur atas segala nikmat yang diberikan itu. Kalau kita syukuri, Allah tambah nikmat kita; tapi kalau kita kufur, azab-Nya sangat pedih.
Tiap hari kita makan nikmat Tuhan. Bersyukur atas nikmat Allah berupa ucapan dan perbuatan. Bersyukur dengan ucapan seperti mengucap pujian kepada, bersyukur dengan perbuatan adalah memanfaatkan nikmat sebaik-baiknya dan menebarkan kebaikan atasnya. Kita diberikan harta oleh Allah mulut kita tidak pernah berhenti mengucap “Alhamdulillah, terima kasih Tuhan atas harta yang Kau berikan,” tapi pelitnya 17 setan; perlu dipertanyakan jika kita merasa sudah bersyukur.
Bersyukur yang sebenar-benarnya kepada Allah selain mengucapkan pujian sebagai pembuka, juga dibarengi dengan menggunakannya sebagaimana mestinya, sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Jika Allah memberikan harta kepada kita, kita gunakan harta itu untuk menunjang kebaikan di antara kita. Jika Allah memberikan ilmu kepada kita, jangan segan untuk mengajarkannya demi kemaslahatan bersama. Jika Allah memberikan waktu kepada kita, sudah semestinya kita manfaatkan sebaik-baiknya, jangan sampai menyiakannya. Itulah syukur yang sebenarnya.
Dan yang keempat, yang menyebabkan hati menjadi mati ialah kita yakin, kita percaya, dan kita tahu betul bahwa hidup akan berujung pada kematian, tapi kita tidak benar-benar mempersiapkan diri untuk itu.
Kematian adalah kepastian bagi kita. Kita percaya bahwa semua dari kita akan mengalami kematian. Maka, sudah semestinya kita persiapkan diri menghadapi kematian itu, begitu pun dengan sesudah kematian itu bukan?
Bagi seseorang yang beriman, mati pada dasarnya adalah sebuah peralihan dari sebuah tahap kehidupan ke tahap kehidupan berikutnya, bukan akhir dari segalanya. Mati adalah istilah yang dipergunakan oleh orang yang sedang hidup. Seseorang dikatakan mati adalah oleh mereka yang hidup, sedang bagi yang mengalami, yang dirasakan adalah dirinya sedang berpindah ke alam lain.
Seperti kita akan berangkat keluar kota yang jauh, tentu kita harus menyiapkan bekal. Semakin jauh perjalanan, semakin banyak bekal yang mesti kita bawa. Kalau kita akan berangkat jauh tidak mau bekal kok berangkat juga, itu nekat namanya. Kalau kita hanya nekat saja, sampai ke tujuan belum tentu, sengsara di jalan sudah pasti.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul
Advertisement