Sering Mengalami Déjà Vu? Ini Penjelasan Ilmiah dari Para Ahli

Déjà Vu merupakan suatu fenomena di mana kita merasa sudah merasakan hal yang baru saja kita rasakan.

oleh Fariza Noviani Abidin diperbarui 30 Mar 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi Deja Vu (sumber: unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah Anda merasa seperti pernah mengalami sesuatu di masa lalu, meskipun Anda yakin itu adalah pengalaman pertama kali? Fenomena ini dikenal sebagai déjà vu, dan telah membingungkan manusia selama berabad-abad.

Déjà vu, yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti "sudah pernah dilihat", sering digambarkan sebagai perasaan familiar yang kuat dan tidak dapat dijelaskan terhadap situasi yang seharusnya baru.

"Déjà vu terjadi karena otak menggunakan 'proses cepat' dari sensasi dan ingatan langsung, maupun 'proses lambat' untuk mengintegrasikan kenangan masa lalu dan pengalaman saat ini," kata James Giordano Ph.D., profesor neurologi di Pusat Medis Universitas Georgetown, Amerika Serikat.

"Proses-proses ini melibatkan sejumlah jaringan otak, termasuk wilayah korteks sensorik yang berfungsi dalam penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dll.; jaringan hipokampus dan lobus temporal yang berfungsi dalam ingatan; dan area-area sistem limbik dan korteks prefrontal yang berfungsi dalam pengambilan keputusan."

Mengkoordinasikan jaringan-jaringan ini bisa rumit, dan terkadang mereka tidak sinkron dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan perasaan déjà vu, di mana Anda merasa seolah-olah Anda sudah pernah memiliki percakapan atau pengalaman yang sama sebelumnya, meskipun itu benar-benar baru.

Dilansir dari Bustle, berikut 7 alasan Anda mengalami déjà vu.

1. Otak yang Sedang Tidak Sinkron

Menurut Giordano, déjà vu terjadi ketika dua jalur memori di otak tidak sinkron.

Jalur "cepat" merespons dengan kuat terhadap stimulus baru, sementara jalur "lambat" membutuhkan waktu beberapa fraksi detik lebih lama untuk memprosesnya. Ketidakcocokan waktu ini menyebabkan kebingungan pada otak, sehingga terasa seperti apa yang kita alami saat ini sudah pernah terjadi sebelumnya.

Giordano menjelaskan, "Jaringan lobus temporal dan korteks frontal menafsirkan ketidakcocokan ini sebagai ingatan yang sedang berlangsung dalam waktu nyata, sehingga terasa seolah-olah kita 'mengalami kembali' sesuatu yang sebenarnya baru."

Sebuah studi tahun 2013 dalam Frontiers in Psychology mendukung penjelasan ini, menunjukkan bahwa déjà vu muncul dari konflik ingatan di otak. Otak berusaha mencari tahu mana yang merupakan ingatan nyata dan mana yang bukan, sehingga menimbulkan perasaan déjà vu.

 

 


2. Otak Merasakan Sensasi Familiar

Déjà vu, perasaan familiar yang aneh terhadap situasi baru, sering terjadi tanpa peringatan dan berlangsung sebentar. Hal ini membuat fenomena ini sulit diteliti dalam pengaturan klinis pada populasi yang sehat, menurut ahli neurosains dan ahli kesehatan holistik Leigh Winters.

Winters setuju dengan pendapat Giordano bahwa déjà vu terkait dengan cara otak memproses ingatan dan sesekali adanya ketidaksinkronan pada otak. Dia menyebutnya sebagai kombinasi antara kesalahan ingatan dan "glitch impuls neurologis."

Winters menjelaskan bahwa déjà vu mungkin terjadi ketika otak mendeteksi kesamaan dalam situasi baru, merangsang korteks rhinal, tetapi tidak mengaktifkan hipokampus, yang membantu mengingat detail ingatan yang lebih konkret. Hal ini dapat menyebabkan perasaan aneh seperti setengah mengingat, atau merasa seolah-olah pernah berada di tempat itu sebelumnya tetapi tidak bisa menjelaskannya.

"Mungkin saja déjà vu terjadi ketika kamu mendeteksi kesamaan, merangsang korteks rhinal, tetapi tidak mengaktifkan hipokampus, yang membantu kamu mengingat detail ingatan yang lebih konkret," kata Winters. "Beberapa orang mengusulkan bahwa itulah sebabnya déjà vu memiliki perasaan yang aneh seperti setengah mengingat, atau merasa seolah-olah kamu sudah pernah berada di tempat itu sebelumnya tapi tidak bisa menjelaskannya."


3. Tanda dari Epilepsi

Fenomena déjà vu dilaporkan terjadi pada beberapa orang dengan epilepsi, tepat sebelum mereka mengalami kejang. Hal ini terutama terjadi ketika kejang dimulai di lobus temporal medial (MTL), area otak yang berperan penting dalam memori jangka panjang dan peristiwa.

Dr. Winters menjelaskan bahwa déjà vu kemungkinan besar disebabkan oleh impuls listrik yang bermasalah, yang dipicu oleh perubahan neuron di korteks rhinal.

Namun, bukan berarti setiap orang yang mengalami déjà vu harus segera menemui ahli saraf. Déjà vu juga bisa dialami oleh orang normal.

Tetapi, bagi penderita epilepsi, déjà vu bisa menjadi tanda peringatan bahwa kejang akan segera terjadi.

4. Usia yang Masih Muda

Fenomena déjà vu, di mana seseorang merasa pernah mengalami situasi yang dihadapi saat ini di masa lalu, ternyata dialami oleh banyak orang. Menurut Giordano, sekitar 60 hingga 70% orang pernah merasakannya, dan kemungkinan jumlahnya lebih banyak lagi. Déjà vu bahkan lebih sering terjadi pada orang muda, umumnya antara usia 15 dan 25 tahun.

Meskipun kemungkinan mengalami déjà vu berkurang seiring bertambahnya usia, Giordano menyarankan untuk menikmatinya ketika itu muncul. Déjà vu merupakan fenomena luar biasa yang tidak boleh diabaikan.


5. Stres Berlebih

Terdapat hubungan menarik antara stres dan déjà vu. Semakin tinggi tingkat stres seseorang, semakin sering mereka melaporkan mengalami déjà vu. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa saat berada di bawah tekanan tinggi atau memproses banyak informasi sekaligus, otak lebih rentan mengalami "glitch" dan kesulitan mencocokkan ingatan dengan kenyataan.

Akibatnya, informasi baru yang diterima otak dapat terasa familiar, seolah-olah telah diingat sebelumnya, meskipun sebenarnya tidak. Inilah yang kemudian memicu sensasi déjà vu.

6. Pengaruh dari Kehidupan Sebelumnya

Meskipun kecil kemungkinan seorang ahli neurologi akan setuju, bagi yang percaya pada kehidupan masa lalu, déjà vu bisa jadi petunjuk tentang kehidupan sebelumnya.

"Di luar neurosains, para psikolog memiliki pemikiran berbeda tentang déjà vu," kata Winters. "Beberapa parapsikolog menghubungkannya dengan pengalaman di kehidupan masa lalu. Seiring kemajuan teknik pencitraan otak, pemahaman kita tentang déjà vu pun akan semakin berkembang."

Penelitian ilmiah tentang déjà vu masih terus berlangsung, dan berbagai teori berusaha menjelaskan fenomena ini. Para ahli masih belum mencapai konsensus tentang penyebabnya, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme di balik déjà vu.


7. Tanda Otak Bekerja dengan Baik

Déjà vu, perasaan familiar yang muncul pada situasi baru, sering dianggap sebagai fenomena aneh dan membingungkan. Namun, menurut Giordano, déjà vu sebenarnya merupakan tanda baik.

"Déjà vu sebenarnya merupakan tanda baik, dan tampaknya mencerminkan kemampuan otak untuk memproses kenangan pada level dan kecepatan yang berbeda," kata Giordano.

Fenomena ini menunjukkan bahwa otak kita mampu bekerja dengan cara yang luar biasa, bahkan ketika terjadi "ketidakcocokan" atau "glitch". Kemampuan otak untuk memproses informasi dan menciptakan perasaan familiar, meskipun dalam situasi baru, menunjukkan kompleksitas dan keajaiban organ ini.

Oleh karena itu, alih-alih merasa aneh atau terganggu dengan déjà vu, kita dapat melihatnya sebagai bukti kehebatan otak manusia. Déjà vu adalah pengingat bahwa otak kita terus bekerja dan menciptakan pengalaman yang unik, bahkan dalam momen-momen yang terlihat biasa.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya