Diskusi Jumaahan Batal Digelar, Kedai Jante Perpus Ajip Rosidi Didatangi Polisi-TNI dan Ormas

Acara diskusi di Jante tiap Jumat, Jumaahan, batal digelar karena dituding jadi bagian propaganda paham komunis

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 31 Mar 2024, 07:00 WIB
Kedai Jante, mitra Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut Nomor 2, Kota Bandung, tampak sepi setelah acara Jumaahan batal digelar pada Jumat, 29 Maret 2024. (Dikdik Ripaldi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Bandung - Acara diskusi yang mengundang Ilham Aidit di Kedai Jante batal digelar setelah kedai mitra Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut Nomor 2, Kota Bandung, itu didatangi anggota Polisi, TNI, juga serombongan perwalikan ormas.

Ada sangkaan dan stigma bahwa kegiatan itu bisa memapar masyarakat dengan "racun" komunis, dituding jadi saluran terselubung yang turut mepropagandakan paham itu. Atas dasar pandangan laten demikian, acara di Jante pun dinilai layak dibubarkan.

Terlebih ruang bicara itu diisi Ilham Aidit, seorang anak politikus kiri yang jadi pejabat tinggi di Partai Komunis Indonesia (PKI) era 1950-an hingga 1960-an, Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit.

Kedai Jante diketahui rutin menggelar Jumaahan, sebuah kegiatan diskusi ragam tema setiap hari Jumat. Panitia menjadwalkan Ilham Aidit mengisi diskusi bertajuk "Menyelami Hikmah-Hikmah Kehidupan", pada Jumaahan ke-67, Jumat (29/3/2024).

"Rencananya, Pak Ilham kami minta bicara soal riwayatnya yang mengalami perundungan dari kecil sampai remaja, dirundung karena menyandang nama Aidit. Itu ternyata mendapat penolakan," aku perwakilan Panitia Jumaahan, Zulkifli Songyanan alias Izul.

Menurut pihak Kedai Jante dan Panitia Jumaahan, kabar penolakan itu mulanya diketahui ketika anggota Polrestabes Bandung tiba-tiba mendatangi kedai pada Kamis siang (28/3/2024), kemudian disusul anggota TNI pada malam di hari yang sama.

Izul menyampaikan, pihak yang tidak berkenan dengan kehadiran Ilham Aidit menyurati pihak kepolisian. Ada beberapa surat aduan yang masuk. Di antaranya, kata Izul menurut informasi polisi, yakni dari Pengawal Ahlu Sunnah (PAS) dan Gerakan Anti Komunis Jawa Barat (Gerak Jabar).

Mengetahui adanya penolakan tersebut, pihak Kedai Jante dan Panitia Jumaahan pun berinisiatif menghubungi Gerak Jabar, mengundang mereka datang ke Jante dengan niat tabayyun, membuka ruang dialog.

Hingga, Jumat siang (29/3/2024) sekitar pukul 14.00, serombongan anggota ormas datang ke kedai. Terjadi dialog antara pihak Kedai Jante, Panitia Jumaahan, dan perwakilan ormas. Kalangan ormas tetap menghendaki acara itu dibatalkan.

"Saya tanya ke mereka bagaimana kita tahu diskusi ini mengandung unsur PKI atau tidak, kalau diskusinya sendiri tidak dilangsungkan? Saya tawarkan, bagaimana jika diskusinya dilangsungkan, rekamannya disebar ke publik, tanpa sensor, untuk menakar apakah kekhwatiran itu terbukti atau tidak," kata Izul.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Ustaz, Anak PKI, dan Ajip Rosidi

Liputan6.com telah melakukan upaya wawancara kepada pihak Gerak Jabar. Diketahui, Ketua Gerak Jabar, M Roinul Balad, turut hadir ke lokasi. Tapi, ia tak berkenan memberikan keterangan kepada wartawan tanpa menyampaikan alasan rinci.

Kami hanya mendapatkan salinan surat dan pernyataan sikap Gerak Jabar yang ditujukan kepada Kapolrestabes Bandung, ditembuskan kepada Kepala Kesbangpol Kota Bandung, Dandim 0618 Kota Bandung, dan Kepala Kejari Kota Bandung.

Surat itu perihal permohonan pembatalan kegiatan Jumaahan ke-67, ditandatangani Ketua Gerak Jabar, M Roinul Balad, pada 28 Maret 2024.

"Melalui surat ini kami dari Gerakan Rakyat Anti Komunis Jawa Barat (Gerak Jabar) mengajukan permohonan Pembatalan Kegiatan yang akan dilaksanakan oleh panitia Jumahan #67," dikutip dari surat bernomor 066/PH/GERAK/III/2024.

Dalam surat termuat pernyataan sikap, mereka di antaranya mempermasalahkan pihak Panitia Jumaahan yang menyematkan istilah ustaz kepada narasumber yang notabenenya adalah anak PKI. Penggunaan istilah itu dianggap problematik.

"Khotibnya anak gembong PKI bernama Ilham Aidit yang dalam tulisan di flyer atau poster yang beredar adalah ustaz. Mengapa anak gembong PKI ditulis ustaz apakah benar atau hanya mengelabui masyarakat?," dikutip dari surat.

Acara Jumaahan memang memakai gimik ibadah Salat Jumat. Setiap narasumber yang hadir di Jante kerap disebut ustaz atau khotib, ada juga penggunaan istilah kencleng atau kotak amal.

"Acara ini penuh dengan kesamaran, apakah acara diskusi atau benar-benar Jumaahan (jum’atan) karena ada istilah khotib. Kalau itu jum’atan, kenapa waktunya jam 16.00 dan ada perempuan?," dikutip dari surat.

Gerak Jabar juga menilai, jika acara Jumaahan ke-67 sampai terselanggara, maka itu telah mereduksi tokoh Sunda, Ajip Rosidi. Pada surat, tidak diuraikan lebih lebar perihal tudingan itu.

Gerak Jabar hanya menegaskan, akan "selalu waspada terhadap kebangkitan komunis dan upaya mereduksi budaya Sunda terutama tokoh Sunda Ajip Rosidi," dan "yang paling penting kami mewaspadai, khawatir mereka meracuni masyarakat dengan ajaran komunis dalam acara yang samar-samar itu".

Atas beberapa uraian itu, Gerak Jabar pun berharap agar "Polrestabes merespon laporan dengan menutup acara tersebut, demi menjaga Bandung kondusif dan demi Indonesia yang aman dari gangguan komunis," dikutip dari surat.

 


Pemberangusan

Zulkifli Songyanan alias Izul dari Panitia Jumaahan, secara mendasar memandang kejadian di Jante adalah bentuk pemberangusan. Dia juga heran ketika sejumlah perwakilan dari ormas malah tidak mengakui surat Gerak Jabar tersebut.

"Saya bacakan surat itu (dihadapan perwakilan ormas), mereka mengaku bukan mereka yang meyurati itu," kata Izul.

Kedai Jante dan Panitia Jumaahan secara tegas bersikap melawan stigma dan diskriminasi terhadap anak keluarga PKI. Seorang anak dari keluarga PKI dinilai tidak layak serta merta dianggap mewarisi "dosa" yang sebelumnya ditudingkan kepada orang tua mereka, apalagi tudingan itu datang secara tidak berdasar.

"Misalkan, DN Aidit itu dianggap sebagai pemberontak, dianggap musuh negara waktu itu, apakah anaknya juga otomatis menjadi demikian? Saya kira (persepsi) itu yang tidak ketemu, mereka keukeuh bahwa keturunannya itu sama saja. Saya bilang itu enggak, berbeda," papar Izul.

Berkenaan dengan penggunaan istilah ustaz, Izul menerangkan, jika hal itu memang disengaja sekadar jadi bagian pengemasan acara. Mereka meminjam peranti kultural yang lekat dengan masyarakat, bukan hendak menghina atau merendahkannya.

Izul beralasan, penggunaan istilah ustaz yang juga berarti guru itu tidak didudukan pada pemaknaan religi, melainkan profan, atau dalam bingkai pemaknaannya secara umum. Meski, Izul pun mengakui ada penggunaan istilah yang problematik seperti istilah khotib.

"Tadi juga saya akui, menerapkan khotib itu tidak tepat, karena kan (komunikasi) khotib itu searah, sementara (kami) ini dua arah. ini gimik aja, tapi bagi sebagian orang itu dianggap keterlaluan," katanya.

Soal tuduhan mereduksi ketokohan Ajip Rosidi, Izul mengira, anggapan itu muncul karena menilai Ajip Rosidi sebagai sastrawan dan budayawan Sunda yang anti-PKI.

"Mungkin mereka kecewa warisannya (Perpustakaan Ajip Rosidi) digunakan untuk memberi ruang kepada anak PKI, mungkin itu. Tapi kalau kita lihat riwayat Pak Ajip itu kan dekat juga sama Pramoedya Ananta Toer, dengan tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan secara ideologis. Secara personal, hubungan mereka tetap baik," katanya.

"Jadi, katakanlah, kalau Pak Ajip memang kesal, mungkin kesalnya kan ke DN Aidit, tapi ke anaknya kan gak tahu juga," imbuh Izul.

Atas kejadian yang mengancam tersebut, Panitia Jumaahan terpaksa urung menggelar diskusi bersama Ilham Aidit, belum jelas akan digelar di kemudian hari atau tidak.

Izul hanya menegaskan, Panitia Jumahan dan Kedai Jante mengecam praktik-praktik yang menyempitkan ruang berbicara, merenggut hak untuk berkumpul dan berpendapat, baik itu dilakukan oleh instrumen negara maupun kelompok sipil yang cenderung diskriminatif dan intimidatif.

"Kami menolak hal seperti itu, kami tidak setuju dengan pemberangusan," tegasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya