Liputan6.com, Washington D.C - Perang takjil hingga perang Israel-Hamas disinggung dalam acara buka puasa bersama di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, akhir Maret lalu. Iftar tahun ini digelar lebih intim untuk membuka lebih banyak ruang dialog, untuk membahas berbagai isu sensitif, termasuk situasi di Jalur Gaza.
“Ada fenomena baru, namanya Takjil War.”
Advertisement
Tren ‘Perang Takjil’ diperkenalkan Wakil Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Sade Bimantara saat menyambut para tamu acara buka puasa bersama di Kedutaan Besar RI di Washington DC, akhir Maret lalu.
“Mereka awalnya agak kaget,” ungkap Sade kepada VOA, Kamis (28/32024).
“Saya jelaskan apa artinya itu, yaitu orang berlomba-lomba untuk mendapatkan takjil yang untuk buka puasa, yang terbaik, dan ini bukan perang yang sebenarnya, ini hanya kompetisi yang bersahabat.”
Sade menjelaskan bagaimana fenomena itu mendekatkan persaudaraan sebangsa dan setanah air, terlepas dari latar belakang agama maupun etnis mereka yang ‘berburu’ takjil, dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (2/4).
Pluralisme Indonesia sengaja ia soroti untuk mengingatkan pentingnya nilai kebersamaan dan rasa saling memahami di tingkat global, khususnya selama bulan suci Ramadan, yang kali ini dinodai berbagai konflik di seluruh dunia, termasuk perang Israel-Hamas di Jalur Gaza.
Pesan itu juga disinggung Direktur Kantor Maritim Asia Tenggara Departemen Luar Negeri AS, Darragh Paradiso, dalam sambutannya.
“Penting bagi kita semua untuk bekerja sama memperjuangkan perdamaian yang stabil dan aman, dan itu mencakup solusi dua negara. Saya rasa AS sangat berkomitmen mewujudkannya. Kami sedang berupaya. Namun, tentu saja, yang paling darurat saat ini adalah membawa masuk lebih banyak bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan.”
Iftar KBRI tahun ini digelar secara lebih intim untuk membuka lebih banyak ruang dialog, kata Sade.
“Ngobrol-ngobrol dari hati ke hati, termasuk terkait dengan berbagai isu yang mungkin agak sulit,” ungkapnya.
“Tadi juga kan disebut oleh Darragh Paradiso dari Departemen Luar Negeri (AS) terkait sejumlah permasalahan global, termasuk terkait Palestina dan bagaimana Indonesia dan juga negara-negara lain mendorong AS agar dapat mendukung penyelesaian berbagai permasalahan yang ada di Jalur Gaza tersebut, termasuk solusi dua negara, juga menghentikan kekerasan oleh Israel dan juga adanya gencatan senjata permanen.”
Agenda Tahunan dari KBRI
Acar bertajuk Iftar Dinner itu rutin digelar setiap tahun oleh KBRI. Selain duta besar sejumlah negara sahabat dan pejabat pemerintah AS, acara itu juga dihadiri beberapa pemuka agama Islam di Washington DC.
“Ramadan itu soal empati. Kita berpuasa sekarang agar bisa lebih berempati pada orang-orang yang kelaparan. Orang-orang di Gaza sudah berada di ambang kelaparan,” kata Talib Shareef, imam Masjid Muhammad di Washington, DC.
“Kata yang tepat adalah ketakwaan, Al Quran menjelaskan tentang hal ini, yaitu suatu tingkat kesadaran untuk memahami ibadah yang dilakukan. Jadi Ramadan itu gunanya untuk meningkatkan kesadaran. Duta besar dari berbagai negara di sini dan semua orang perlu memahami bahwa kita perlu fokus pada kebutuhan umat manusia di planet ini. Kita harus sadar dan menanggapinya.”
Tidak hanya KBRI, acara buka puasa bersama juga dimanfaatkan berbagai kelompok di Amerika. Acara-acara iftar itu biasanya digelar untuk menjembatani hubungan antarkeyakinan dan antarkelompok, yang selama beberapa waktu terakhir menghadapi tantangan menyusul perang Israel-Hamas di Gaza, yang kerap disalahpahami sebagai konflik agama.
Advertisement