Apa Dampak Skema Power Wheeling Listrik? Ini Penjelasannya

Power wheeling dinilai merupakan bentuk liberalisasi ketenagalistrikan, yang berisiko merugikan rakyat sekaligus negara.

oleh Septian Deny diperbarui 02 Apr 2024, 10:45 WIB
Ilustrasi tarif Listrik Naik. Power wheeling dinilai merupakan bentuk liberalisasi ketenagalistrikan, yang berisiko merugikan rakyat sekaligus negara. (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai konsep power wheeling merupakan bentuk liberalisasi ketenagalistrikan, yang berisiko merugikan rakyat sekaligus negara.

"Liberalisasi ketenagalistrikan berupa power wheeling itu melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara," katanya dikutip dari Antara, Selasa (2/4/2024).

Power wheeling merupakan mekanisme yang memperbolehkan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi milik negara.

Fahmy menjelaskan power wheeling merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling tersebut bahkan sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Lalu, UU itu direvisi dengan menghilangkan pasal unbundling.

"Selain bertentangan dengan UUD dan keputusan MK, Kementerian Keuangan juga pernah menolak tegas karena membebani fiskal negara. Dalam hal ini subsidi energi pasti membengkak," kata Fahmy.

Jika negara tidak mau menambah subsidi energi, menurut dia, rakyat yang akan menanggung beban risiko kenaikan tarif listrik yang saat ini masih dikendalikan oleh negara.

Pasalnya, lanjutnya, dengan skema power wheeling, tarif listrik bakal ditetapkan pada mekanisme pasar.

"Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," katanya.

Fahmi menyatakan klausul power wheeling merupakan dorongan dari pihak-pihak swasta yang berkepentingan dengan dalih transisi energi dan oleh karena itu, pemerintah dan DPR harusnya lebih jauh melihat risiko besar pada implementasi power wheeling.

Terkait hal itu, dia mengajak kepada masyarakat untuk terus memantau perkembangan pembahasan power wheeling yang saat ini dibalut dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan.


Seberapa Penting Peran Kelistrikan dalam Pembangunan Indonesia? Ini Jawabannya

Ilustrasi listrik. (Image by evening_tao on Freepik)

Sektor kelistrikan masih menjadi modal untuk pembangunan kedepan, sehingga keberlangsungannya perlu menjadi perhatian para calon pemimpin di masa yang akan datang.

Ketua Umum DPP SP PLN Pusat (Persero), Abrar Ali mengatakan, energi listrik perlu perbaikan tatakelola yang baik untuk menjaga kualitas, sehingga dapat mendukung pembangunan kedepan dan menjadi modal utama dalam mensejahterakan masyarakat.

"Energi listrik yang dikelola dengan baik dan benar menjadi modal utama pembangunan yang dapat mensejahterakan masyarakat," kata Abrar, di Jakarta, Kamis (23/11/2023).

Abrar melanjutkan, atas pentingnya energi listrik dalam mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, seharusnya menjadi perhatian 3 Capres yang akan berkontestasi pada Pilpres 2024 mendatang, sebab energi listrik menjadi modal untuk menjalankan pemerintahan berikutnya.

Namun menurut Abrar, para Capres belum memiliki perhatian terhadap ketahanan energi listrik nasional. Sebab, tidak satupun dari ketiga Capres tersebut yang menyuarakan soal energi listrik nasional dalam rencana programnya.

“Kita sangat prihatin pada ketiga Capres yang akan berkontestasi pada 2024 mendatang. Tidak satupun yang membahas ketahanan energi listrik nasional," tuturnya.

Dia pun berharap para Capres yang akan berkontestasi pada Pilpres 2024 mendatang harus memberikan perhatian serius terhadap tata kelola energi listrik tersebut.

"Perlu kami sampaikan, pengelolaan energi listrik yang salah akan menyebabkan pembangunan terhambat. Demikian sebaliknya. Artinya ada korelasi yang signifikan antara pengelolaan listrik dengan pembangunan nasional,” ungkap Abrar.

Abrar mengungkapkan, salah satu isu ketahanan energi listrik nasional yang perlu mendapat perhatian serius dari ketiga Capres tersebut adalah soal power wheeling. Saat ini, pemerintah belum memiliki ketegasa terhadap isu tersebut.

 


Power Wheeling

Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Untuk diketahui, skema transmisi dan/atau distribusi listrik atau power wheeling dimasukan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan.

“Padahal pada Januari lalu, menteri yang sama sudah menyatakan tidak ada power wheeling. Hal ini harus menjadi perhatian serius Presiden Jokowi saat ini. SP PLN meminta presiden jangan meninggalkan legacy, yang bisa memuat PLN ambruk dimasa kepeminpinannya,” tutur Abrar.

 


Kesejahteraan Masyarakat

Ilustrasi pembangkit listrik panas bumi

Abrar memandang, isu soal power wheeling menjadi hal menarik ketika berbicara soal kesejahteraan masyarakat.

Soalnya, skema ini (power wheeling) akan memicu tarif listrik yang mahal karena pembangkit listrik berbasis EBT yang dibangun swasta tentu akan lebih mahal.

“Tentu yang akan menanggung beban tersebut adalah konsumen dalam hal ini masyarakat secara umum. Padahal sebenarnya, saat ini pasokan listrik berbasis EBT dari PLN pun telah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional, sehingga tidak perlu peran swasta untuk menambah pasokannya,” tutup Abrar.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya