Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar dalam Bidang Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Suharko, menjadi ahli yang diajukan tim hukum Ganjar-Mahfud saat sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui kesaksian berdasarkan keilmuannya, Prof Suharko mengklaim, dia tahu bagaimana desain yang digunakan pemerintahan Jokowi untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.
Advertisement
"Pemerintah Jokowi memiliki dan menjalankan suatu desain sistematis untuk mempengaruhi perilaku pemilih, untuk memenangkan pasangan calon nomor 02," kata Suharko di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (4/2/2024).
Suharko mengatakan, cara pemerintahan Jokowi menjalankan desain tersebut memiliki dua variabel utama. Pertama, ekonomi sosial dan kedua variabel ketokohan. Dia meyakini, dua variabel tersebut menjadi sistematis yang terkuat berdasarkan data dari para peneliti dan surveyor lembaga survei.
"Variabel pertama kondisi (kinerja) ekonomi nasional dan kedua variabel kepemimpinan atau ketokohan. Saya melihat bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi melakukan serangkaian tindakan-tindakan (untuk) paslon nomor 2," yakin dia
Dengan menggunakan dua variabel tersebut, Suharko meyakini Jokowi bisa disebut sebagai tokoh kunci kemenangan Prabowo-Gibran.
Tim Hukum Ganjar-Mahfud Hadirkan 10 Saksi dan 9 Ahli ke MK
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar lanjutan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk Pilpres 2024, Selasa (2/4/2024). Agenda hari ini adalah penggalian keterangan saksi dan ahli dari pemohon 2 yaitu Tim Hukum Ganjar-Mahfud.
Total, ada 9 orang ahli dan 10 saksi yang dibawa Tim Hukum Ganjar-Mahfud ke muka persidangan di MK. Merinci daftar ahli, terdapat nama-nama tokoh publik yang sudah tidak asing.
Mereka adalah, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk, dan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Charles Simabura.
Kemudian, Dekan FH Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan Universitas Padjadjaran Didin Damanhuri, mantan anggota KPU RI I Gusti Putu Artha.
Selanjutnya, Dosen TI Universitas Pasundan Leony Lidya; Sosiolog Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial Risa Permana Deli, dan Suharto.
Sedangkan 10 orang saksi yang dihadirkan yaitu Dadan Aulia Rahman, Indah Subekti Kurtariningsih, Pami Rosidi, Hairul Anas Suaidi, Memed Ali Jaya, Mukti Ahmad, Maruli Manunggang Purba, Sunandi Hartoro, Suprapto, dan Nendy Sukma Wartono.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi akan memberi kesempatan saksi dan ahli yang dibawa untuk memberikan keterangan, dengan batas waktu maksimal 15 menit untuk saksi dan 20 menit untuk ahli. Waktu tersebut sudah termasuk bagian dari pendalaman.
Advertisement
Sidang Sengketa Pilpres, Romo Magnis Singgung Soal Etika: Pembeda Manusia dan Hewan
Filsuf Senior, Franz Magnis Suseno menyampaikan pandanganya terkait Pilpres 2024 saat menjadi saksi ahli dari kubu Ganjar-Mahfud dalam sidang sengketa Pilpres 2024. Pria karib disapa Romo Magnis ini menyinggung soal etika yang menurutnya sudah ditinggalkan demi sebuah kemenangan tanpa memperdulikan cara yang dilakukan baik dan tidaknya.
"Etika membedakan manusia dari binatang, binatang hanya mengikuti naluri-naluri alamiah, tetapi manusia sadar naluriah hanya boleh diikuti apabila baik dan bukan tidak baik. Apakah seseorang baik atau buruk diukur dari dia hidup secara etis atau tidak etis?" ujar Romo Magnis di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (4/2/2024).
Romo Magnis lalu menyebut, presiden seharusnya menunjukkan etika yang baik sebagai seorang pemimpin. Artinya tidak menguntungkan pihak tertentu dalam mengemban kekuasaannya.
"Presiden adalah penguasa atas seluruh masyarakat. Oleh karena itu, ada hal yang khusus yang dituntut dari padanya dari sudut etika. Pertama, ia harus menunjukkan kesadaran bahwa yang menjadi tanggung jawabnya adalah keselamatan seluruh bangsa," ujar Romo Magnis.
Sebaliknya, jika presiden tidak bertindak sesuai etika yang seharusnya, maka Romo Magnis menyebut tidak ada beda presiden dengan seorang pemimpin organisasi mafia yang memakai kekuasaanya untuk keinginannya semata.
"Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia, di sini dapat diingatkan bahwa wawasan etis Presiden Indonesia dirumuskan dengan bagus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945," dia menandasi.
Sebagai disclaimer, saat menyinggung soal presiden dan etika, Romo Magnis tidak menyebut sosok Jokowi sebagai contoh pelakunya. Dia hanya menjelaskan dalam kapasitas keilmuan sebagai seorang filsuf.