Liputan6.com, Jakarta - Banyak tantangan dihadapi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa saat memutuskan menjadi Muslim. Bagaimana tidak, mereka harus memeluk dua idenitas sekaligus, yakni Tionghoa dan Muslim. Dua identitas ini bisa saja dinilai buruk oleh lingkungan sekitar terhadap laku perbuatan yang tidak menjadi lebih baik.
Pengakuan itu disampaikan Imam Masjid Lautze Ustad Naga Qiu, saat mengisi acara Inspirasi Ramadhan Edisi Sahur di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan dengan Host Garda Maharsi, Sabtu dini hari (30/03/2024).
Advertisement
"Termasuk di keluarga. Kalau saya menjadi pemeluk Islam, tapi hidup tidak jadi lebih baik, nanti dinilainya nih gara-gara masuk Islam bisa jadi begini. Jadi sering terjadi di keluarga Tionghoa seperti itu," ujarnya.
Ustad Naga yang biasa dipanggil Naga Kunadi ini mengungkapkan awal perjumpaannya dengan Islam melalui mimpinya saat duduk di bangku SMP. Dalam mimpi itu, ia merasa berada di tengah-tengah kobaran api dan melihat orang-orang yang dirantai.
"Di tengah-tengah kobaran api itu, saya melihat paku bumi yang banyak orang-orang dirantai dan diikat. Bentuknya udah mengerikan saat itu. Jadi, waktu itu saya pikir mimpi buruk saja," katanya.
Selang beberapa tahun, lanjutnya, jawaban mimpi ditemukan saat membaca surat Al-Humazah ketika jalan-jalan ke salah satu tokoh buku. Dari situlah ia ingin mulai mempelajari islam.
"Tentunya, waktu itu mencari Islam tak semudah sekarang ya. Kalau sekarang tinggal ketik di internet sudah terbuka semua. Tapi waktu itu saya tanya teman. Pokoknya banyak tanya," ujarnya.
Menurut Ustad Naga kemantapan hatinya untuk masuk Islam ketika pencarian terhadap makna syahadat dalam Islam. Dalam pencariannya, ia temukan bahwa memang selayaknya manusia itu harus bersyahadat.
"Itu yang akhirnya saya cari sendiri, pada akhirnya untuk menyimpulkan secara kata-kata cukup sulit juga, cuma bisa kita rasakan. Itu yang saya dapatkan," jelasnya.
Sebelum masuk Islam ia sudah belajar tentang shalat dan berpuasa. Hal tersebut ia lakukan karena sering mendapat jawaban atas pertanyaannya bahwa masuk Islam itu berat karena harus menjalankan rukum iman puasa dan shalat lima waktu. Nyatanya, pendapat tersebut dinilainya keliru.
"Saya rasakan kok nggak ada yang berat. Itu juga yang akhirnya membuat saya kuat, ya udah masuk Islam," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Ustad Naga menambahkan semenjak masuk Islam, banyak tantangan diperoleh dari lingkungan keluarga. Kendati demikian, keluarganya selalu menghargai dan memberi toleransi terhadap apa yang diyakininya.
"Terutama nenek saya gitu. Walaupun ditentang, nenek saya nggak suka saya masuk Islam, tapi kalau bulan puasa beliau yang selalu menyiapkan makanan buat saya gitu," ia menambahkan.
Baca Juga