Liputan6.com, Jakarta - Brunei Darussalam Central Bank (BDCB) dan Bank of the Lao PDR (BOL) resmi bergabung dalam kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan (Regional Payment Connectivity/RPC).
Hal ini ditandai dengan penandatanganan amandemen Nota Kesepahaman (NK) oleh BDCB pada 29 Februari 2024. Sementara itu, BOL menandatangani amandemen NK pada 3 April 2024, di sela-sela pertemuan Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan ASEAN ke-11 di Luang Prabang, Laos.
Advertisement
Bergabungnya BDCB dan BOL pada kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan menandai bertambahnya jumlah partisipan menjadi 8 bank sentral. Sebelumnya Indonesia bersama Malaysia, Filipina,Singapura dan Thailand inisiasi RPC pada November 2022, dan kemudian Vietnam bergabung pada Agustus 2023.
Kerja sama akan terus diperluas dengan melibatkan seluruh negara anggota ASEAN dan negara mitra lain di luar ASEAN.
Kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan bertujuan untuk membangun konektivitas pembayaran lintas negara yang lebih cepat, murah, transparan, dan inklusif.
Sejak diinisiasi pada 2022, kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan memperkuat peran bank sentral dalam mengembangkan dan mengakselerasi konektivitas pembayaran lintas negara.
Konektivitas pembayaran kawasan tersebut antara lain meliputi pembayaran berbasis quick response code (QR) maupun fast payment.
Konektivitas pembayaran lintas negara memberikan manfaat bagi aktivitas perekonomian lintas batas termasuk peningkatan akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap pasar internasional, serta kemudahan perdagangan, remitansi, dan wisatawan dalam melakukan transaksi di negara mitra.
Managing Director BDCB, Hajah Rokiah binti Haji Badar menyampaikan rasa bangganya atas posisi Brunei Darussalam Central Bank sebagai salah satu penandatanganan RPC bersama Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
“Ruang lingkup dan area kerja sama RPC akan memberikan manfaat, terutama dalam memajukan konektivitas pembayaran lalu lintas,” ujar dia seperti dikutip dari keterangan resmi, Rabu (3/4/2024).
Tingkatkan Kerja Sama ASEAN
Ia menuturkan, kerja sama ini juga akan menjadi sarana untuk memfasilitasi perdagangan, investasi dan kegiatan ekonomi di kawasan dan mendorong kolaborasi yang erat dengan sesame bank sentral.
Gubernur BOL Bounleua Xonxayvoravong menuturkan, penandatanganan MoU RPC merupakan langkah penting untuk meningkatkan kerja sama ASEAN di masa depan.
“Transaksi keuangan yang lebih cepat dan murah, serta infrastruktur sistem pembayaran yang aman dan lancar akan mendukung ekspansi dan keberlanjutan perekonomian Laos,” kata Bounleua.
Advertisement
Indonesia Jadi Negara ASEAN Pertama yang Masuk OECD, Ini Deretan Keuntungannya
Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional untuk mencapai visi Indonesia emas 2045. Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh adalah mendorong kerja sama internasional.
Sebagai mitra global, Indonesia secara aktif telah berperan dalam menentukan arah ekonomi global melalui keterlibatan dalam sejumlah fora internasional. Saat ini, Indonesia sendiri juga menjadi negara Asia Tenggara pertama dan ketiga di Asia yang mencapai status Open for Accession Discussion untuk menjadi anggota penuh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Keikutsertaan sebagai negara anggota OECD tersebut dinilai mampu memberikan implikasi yang masif bagi Indonesia. Menurut kajian yang dilakukan Pemerintah, dampaknya mampu meningkatkan PDB Indonesia hingga 0,94%, serta meningkatkan investasi negara OECD ke Indonesia hingga 0,37%, ditopang oleh tingginya permintaan ekspor dari anggota OECD yang mendorong arus investasi domestik.
Ciptakan Stabilitas Kawasan
Selain berbagai fora internasional tersebut, Indonesia juga turut andil dalam menciptakan stabilitas kawasan, khususnya di Indo-Pasifik. Stabilitas dan keamanan kawasan tersebut memiliki peran yang penting bagi logistik dan ketersediaan komoditas negara di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, untuk itu Indonesia juga telah turut berperan dalam Indo-Pacific Economic Framework (IPEF).
Sejumlah upaya lain dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif juga dilakukan Pemerintah dengan mengintensifkan industrialisasi pada beberapa sektor, mulai dari hilirisasi sumber daya alam hingga digital, pembangunan industri petrokimian dengan target sebesar 30 juta ton untuk olefin dan 5,6 juta ton untuk aromatik pada tahun 2035, penguatan industri otomotif, pengembangan rantai pasok semikonduktor, hingga perbaikan ekosistem logistik untuk menekan biaya logistik hingga 8% pada tahun 2045.
“Untuk pertumbuhan yang kuat dan inklusif, maka Indonesia harus terintegrasi pada rantai pasok kawasan dan global. Karena itu, keamanan dan stabilitas menjadi penting agar rantai pasok kita tidak terganggu,” pungkas Menko Airlangga.
Advertisement