Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menyebut, usulan untuk menghadirkan Presiden Jokowi ke sidang sengketa Pilpres 2024 terkait dengan polemik bantuan sosial (bansos) sebagai sesuatu yang berlebihan.
"Ya, saya pikir kalau Presiden dipanggil, mungkin menurut saya apa tidak berlebihan?" kata Moeldoko dilansir dari Antara, Jumat (5/4/2024).
Baca Juga
Advertisement
Merunut latar belakang penyaluran bansos, kata Moeldoko, kebijakan itu merupakan instrumen yang dimandatkan oleh undang-undang dalam rangka merespons situasi darurat yang terjadi saat itu.
Situasi darurat yang dimaksud adalah dampak fenomena El Nino terhadap harga kebutuhan pokok masyarakat, salah satunya komoditas beras yang meningkat di pasaran.
"Kalau sebuah daerah dilanda situasi apakah bantuan Presiden itu mau menunggu? Ini darurat sekali. Situasinya kemarin seperti itu," ucap Moeldoko.
Mantan Panglima TNI ini mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah merencanakan bantuan bansos jauh hari sebelum rangkaian kegiatan Pilpres bergulir. Sebab mitigasi terhadap dampak El Nino sudah lama diperhitungkan oleh pemerintah.
"Jadi, ini bukan karena pemilu. Jauh sebelum ini sudah dibicarakan. Ternyata dampak El Nino itu harga, khususnya beras, meningkat. Bansos dilakukan untuk bantuan beras," tutur dia.
Menurut Moeldoko, berbagai pihak yang peduli pada isu lingkungan kerap mengingatkan Pemerintah tentang dampak El Nino pada masa tanam dan produktivitas petani, termasuk pengaruh situasi geopolitik yang turut memicu kenaikan harga pangan jenis beras.
"Kan bisa dilihat dari kebijakannya. Saya pikir bahwa itu dalam menjalankan instrumen, menjalankan undang-undang apa yang salah?" tegas Moeldoko.
Koalisi Masyarakat Sipil Minta MK Panggil Jokowi dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima surat terbuka dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Antikorupsi yang terdiri dari aktivis, pemikir dan tokoh demokrasi, HAM, dan antikorupsi, pada Kamis (4/4/2024) di Gedung 2 MK.
Surat tersebut diterima oleh Kepala Biro Humas dan Protokol, Budi Wijayanto dengan didampingi Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri, Andi Hakim serta Kepala Bagian Sektap AACC dan Kerja Sama Luar Negeri, Immanuel Hutasoit.
Dalam surat tersebut, mereka meminta agar MK memanggil Presiden Jokowi dan delapan jajarannya dipanggil dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2024.
Delapan jajaran yang dimaksud adalah Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI Agus Subiyanto, hingga Kepala BIN Budi Gunawan.
"Dalam surat hari ini, kami menyampaikan surat terbuka yang isinya meminta agar hakim konstitusi menghadirkan dan meminta keterangan dari Presiden RI Bapak Joko Widodo, dan juga delapan menteri dan pejabat kementerian/lembaga yang kami pandang sangat penting keterangannya untuk didengarkan dalam sidang PHPU hari-hari ini," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat, Usman Hamid, di Gedung 2 MK dikutip dari laman mkri.id, Jumat (4/5/2024).
Usman menyadari, waktu yang tersedia menangani sengketa Pilpres 2024 terbatas. Namun, ia berharap surat terbuka yang mereka kirim dipertimbangkan para hakim konstitusi.
"Ini demi tercapainya kebenaran material, demi tercapainya keadilan yang bersifat substansial," ujarnya.
Menurutnya, di dalam surat tersebut disebutkan ada sejumlah hal sentral yang mereka tuliskan dalam surat terbuka tersebut, salah satunya adalah peran Jokowi yang memengaruhi penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Baik itu melalui penyaluran bansos, pengerahan aparat TNI, maupun Polri," ujarnya.
Sebagai informasi, Koalisi Masyarakat terdiri dari mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, Sekjen Transparency International Danang Widoyoko, Pakar Hukum Tata negara Feri Amsari, eks-Penyidik KPK Novel Baswedan.
Selanjutnya ada eks-Pimpinan KPK Saut Situmorang, Ketua Dewan Penasehat Public Virtue Research Institute Tamrin Amal, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, serta Dewan Penasihat Perluden Titi Anggraeni.
Lalu, sejumlah organisasi yang ikut serta seperti IM57+ Institute, LBHAP PP Muhammadiyah, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Public Virtue Research Institute, Gerakan Salam 4 Jari, dan Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi.
Advertisement