Liputan6.com, Jakarta - Selama hampir satu dekade, setiap kali azan berkumandang, Abdul Ahad langsung menuju masjid setempat, mengamankan posisi terbaik di sebelah kanan imam. Salat di saf pertama adalah perbuatan yang mendatangkan banyak pahala dalam Islam, katanya, dan melakukannya selama Ramadan akan berbuah kebaikan berkali lipat.
Namun tahun ini, pria berusia 27 tahun ini mengatakan rutinitas salatnya telah berubah secara drastis. Hal tersebut bukan karena krisis iman, lapor Middle East Eye, dikutip Jumat (5/4/2024). Sejak perang di Palestina meletus pada 7 Oktober 2023, Ahad, seperti banyak pemuda Maroko lain, sangat marah atas keengganan negaranya mengutuk serangan mematikan Israel.
Advertisement
Kemarahan, sebut dia, juga meningkat terhadap kelompok agama atas penolakan mereka menyatakan dukungan bagi warga Palestina. "Kami menyaksikan pengkhianatan mengejutkan yang dilakukan para imam kami," kata Ahad. "Mereka seharusnya melawan para tiran dan penindasan mereka, bukan bersama mereka. Apalagi saat ini, ketika (kita memasuki) 10 hari terakhir bulan Ramadan."
Selama enam bulan terakhir, khotbah di Maroko sebagian besar menghindari isu perang, sementara beberapa khotbah berfokus pada persatuan antaragama dan kesamaan dengan komunitas Yahudi. Kemarahan juga terus meningkat terhadap para imam yang menggunakan mimbar mereka untuk memuji, menyucikan, dan membela Raja Mohammed VI dan pemerintahannya.
Protes, yang dulu jarang terjadi di negara Afrika Utara itu, kini jadi peristiwa sehari-hari karena perjanjian normalisasi Maroko dengan Israel. Selama beberapa dekade, khotbah di Masjid Hassan II di Casablanca sebagian besar bersifat apolitis dan berpusat pada kesalehan dan moralitas.
Mereka selalu mengakhirinya dengan doa bagi raja dan peringatan bahwa para penguasa harus ditaati hanya sejauh mereka menaati Tuhan. Namun bagi Ahad, ada saatnya masjid setidaknya merujuk pada penderitaan umat Islam, terutama terkait pendudukan yang sedang berlangsung di tanah Palestina.
Jauhi Masjid Saat Ramadan
"Keheningan yang memekakkan telinga" selama perang dan penggerebekan di Masjid Al-Aqsa, katanya, telah mengakibatkan banyak orang meninggalkan tempat ibadah selama bulan suci Ramadhan. "Ini terlalu berat untuk ditanggung. Saya sekarang pergi ke masjid hanya untuk salat Jumat. Salat lainnya saya laksanakan di rumah," kata Ahad.
Ia menyambung, "Bagaimana saya bisa salat di belakang seseorang yang tidak punya keberanian untuk mengutuk genosida? Saya lebih suka berdoa di rumah." Memerintah Maroko sejak 1999, Raja Mohammed VI memegang kendali penuh atas angkatan bersenjata, kebijakan luar negeri, peradilan, dan hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Meski negara ini secara resmi merupakan monarki konstitusional, kenyataannya pemerintah hanya bertindak sebagai eksekutor raja. Menyandang gelar Panglima Umat Beriman, sebuah deskripsi bersejarah yang tidak digunakan di tempat lain saat ini, klaim Muhammad VI didasarkan pada dinasti Alawi di Maroko yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad.
Komunitas Arab dan Berber di Maroko secara historis setia pada klan Nabi Muhammad SAW, Hashemites. Dukungan mereka sangat penting bagi kelangsungan Dinasti Alawi, tapi banyak pemuda Maroko, yang berbicara pada MEE tanpa menyebut nama, mengatakan bahwa perilaku raja yang tidak menentu, ketidakhadirannya di negara tersebut, dan perjanjian normalisasi dengan Israel pada 2020 telah membuat mereka merasa terpinggirkan.
"Raja tidak sekali pun berbicara pada kami tentang jalan yang akan diambil Maroko dalam perang dan apakah ia akan membatalkan normalisasi (perjanjian dengan Israel)," kata Azzedine yang berusia 23 tahun. "Di masjid-masjid, seolah segalanya berjalan baik di dunia dan Maroko tidak berperan dalam mengakhiri genosida (di Palestina)."
Advertisement
Jalin Hubungan Diplomatik dengan Israel
Maroko menjadi negara Arab keempat yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada 2020 ketika mereka menandatangani Perjanjian Abraham. Ini disebut sebagai "strategi Amerika Serikat yang membuat Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel dengan imbalan berbagai konsesi."
Sejak memasuki perjanjian tersebut, Maroko telah meningkatkan pembelian drone dan peralatan militer lain dari Israel. Ini dilakukan dalam perlombaan senjata dengan saingannya Aljazair, yang mendukung perjuangan Palestina, serta Front Polisario, sebuah gerakan yang selama beberapa dekade telah memperjuangkan negara merdeka di wilayah Sahara Barat yang disengketakan.
Meski Maroko memperoleh pengakuan yang sangat dibutuhkan AS atas Sahara Barat melalui perjanjian normalisasi, jajak pendapat secara konsisten menunjukkan bahwa masyarakat Maroko sangat menentang perjanjian tersebut dan melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap saudara-saudara mereka di Palestina.
Selama Ramadan, protes rutin dan dadakan telah terjadi sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina. Wisatawan Israel disebut hampir menghilang dari pusat pariwisata, seperti Marrakesh dan Essaouira, sementara Royal Air Maroc telah membatalkan penerbangan langsung antara kedua negara tersebut.
Kritik Warga Maroko
Dengan pihak berwenang yang memenjarakan puluhan aktivis dan beberapa imam yang menentang kebijakan kerajaan tersebut, banyak umat Islam yang taat di negara tersebut terpaksa terpojok karena keyakinan mereka. "Peningkatan represi di masjid-masjid terjadi ketika istana mengerahkan bantuan kemanusiaan ke Gaza, mungkin berdasarkan perjanjian dengan pihak berwenang Israel sebagai bagian dari operasi komunikasi besar," kata Chahir.
"Ini adalah manuver politik yang dilakukan Mohammed VI untuk mengirimkan pesan pada para pengkritiknya, yang menunjukkan bahwa perjanjian normalisasi dengan Israel telah memperluas pengaruh kerajaan tersebut terhadap politik Israel. Imajinasi ini disampaikan para pejabat Maroko yang mencoba membuat masyarakat percaya bahwa presiden komite Al-Quds (Raja Mohammed VI) tetap setia pada perjuangan Palestina dan bertekad bekerja demi 'solusi dua negara,'" ia menambahkan.
Posisi resmi Maroko selalu mendukung "solusi dua negara" yang akan membentuk negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur yang diduduki sebagai ibu kotanya. Namun, di tengah diamnya raja, warga Maroko mengatakan tidak jelas di mana sebenarnya posisi pemerintah.
"Saya pikir sikap Maroko terhadap warga Palestina sangat memalukan," kata Abdelali, seorang pemilik toko berusia 43 tahun. "Jika negara Kristen seperti Brazil cukup berani mengklasifikasikan tindakan Israel di Gaza sebagai 'genosida,' mengapa negara saudara seperti Maroko tidak?"
Advertisement