KPAI Desak Kominfo Blokir Gim Online Berbau Kekerasan

KPAI meminta pemerintah dalam hal ini Kominfo bertindak tegas terhadap peredaran gim online yang terbukti memberikan dampak buruk terhadap anak.

oleh Yulia Lisnawati diperbarui 08 Apr 2024, 21:16 WIB
KPAI Desak Kominfo Blokir Gim Online Berbau Kekerasan (Foto: Unsplash.com/Kelly Sikkema)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) bertindak tegas terhadap peredaran gim online yang terbukti memberikan dampak buruk terhadap anak.

“Sudah seharusnya pemerintah dalam hal ini Kominfo segera bertindak, keluarkan regulasi untuk membatasi anak-anak menggunakan game online, terutama game online yang menjurus kekerasan dan seksualitas,” ucap Komisioner KPAI, Kawiyan, dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/4/2024).

Kawiyan menilai, sudah banyak kasus yang terjadi akibat dampak gim online ke anak, mulai dari kasus pornografi anak di Soetta dalam perkembangannya juga disangkakan sebagai kejahatan perdagangan orang, ini awalnya gara-gara gim online.

“Selain kasus di Soetta, ada kasus anak membunuh orangtuanya, semua berawal dari game online. Dan, masih banyak lagi kasus-kasus kriminal karena dampak dari game online,” tambahnya.

Kawiyan menegaskan lagi, Kominfo harus segera menerbitkan aturan, apakah itu memblokir gim online yang mengandung kekerasan dan seksualitas, atau membatasi penggunaan gim online.

“Kominfo harus tegas, blokir atau batasi. Selain itu, peran keluarga dan sekolah juga harus ditingkatkan, orang tua harus ketat mengawasi anak-anak kita saat main game online,” ujarnya.

Ia menegaskan, gim-gim online yang beredar saat ini seperti gim-gim perang-perangan.

“Banyak dampak negatif bagi anak-anak kita, sekarang ini banyak anak-anak kita berkata kasar, seperti mampus, sialan karena kalah dan menang permainan game online. Sungguh sangat berbahaya game online itu bagi anak-anak kita,” sambungnya.


Dampak buruk yang ditimbulkan ke anak-anak

Selain itu, KPAI juga meminta perusahaan gim tersebut ikut bertanggung jawab terhadap dampak buruk yang ditimbulkan ke anak-anak karena memainkan gim tersebut.

“Perusahaan game juga harus bertanggung jawab. Dampak buruknya sudah luar biasa, jadi pemerintah dan kita semua jangan anggap enteng masalah ini, ini sudah serius dan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan khusus soal game-game online ini,” tandasnya.

 


Banyak gim sarat akan kekerasan dan bermuatan seksual

Sementara itu, psikolog, Fabiola Audrey Najoan mengungkapkan pada dasarnya permainan yang sedang banyak disukai anak-anak seperti Free Fire banyak sekali memaparkan atau bahkan memiliki misi-misi kekerasan yang harus diselesaikan.

Anak-anak yang belum memiliki pemahaman yang kuat terkait perilaku terpuji dan tidak terpuji, sangat tidak dianjurkan untuk memainkan permainan seperti ini. Selain sarat akan kekerasan, ada pula permainan online maupun offline yang tanpa disadari bermuatan seksual.

“Apalagi permainan online tentu disertai dengan adanya chat room bisa dengan kawan atau orang asing. Saat bertemu dengan orang asing inilah keamanan anak-anak perlu diwaspadai. Kerena tidak bisa dipungkiri kalau banyak sekali predator seksual yang terkesan baik,” ungkap Fabiola.

Lebih lanjut ia mengatakan, “Hal ini bisa disebut sebagai child grooming, di mana predator seksual akan mengimingi anak-anak dengan beberapa hal yang mereka suka salah satunya gift dalam permainan online untuk memancing rasa percaya dan nyaman dari anak. Setelah anak merasa nyaman, barulah mereka melancarkan aksinya seperti yang baru-baru ini terjadi (kejahatan seksual di Soetta)."

 


Memengaruhi tumbuh kembang anak

Fabiola mengatakan, selain kekerasan seksual, anak-anak pun tidak dianjurkan untuk memainkan gim-gim tersebut karena proses belajar anak-anak itu adalah meniru. Mereka akan mengamati tindakan-tindakan kekerasan dalam gim tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Hal ini tenti akan memengaruhi tumbuh kembang anak, mulai dari emosi, perilaku dan kognitifnya. Disarankan gim dengan unsur kekerasan ini kalau dalam penelitian, boleh diberikan pada anak usia 13th, maksimal 30 menit/ hari,” ungkapnya.

Ia menegaskan, pemeritah harus menaruh perhatian lebih pada permaslahan ini, memperketat aturan untul mengatur penggunaan gim online terhadap anak. Selain itu peran orang tua juga vital.

“Tentu butuh peran serta dari pemerintah untuk lebih ketat dalam membatasi akses permainan ini. Namun yang terutama tetap kontrol dan pengawasan orang tua," tambah Fabiola.

"Banyak sekali saya jumpai, orang tua pun sibuk dengan gadget-nya dan menjadikan gadget sebagai jalan pintas supaya anak-anaknya tenang. Yang sering saya sampaikan ke orang tua anak-anak adalah yang dibutuhkan anak-anak bukanlah mainan atau gim. Mainan dan gim ini hanyalah media. Yang anak-anak ini butuhkan adalah interaksi antara orang tua dan anak,” tutupnya.

Infografis dampak bermain video game berlebihan (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya