Liputan6.com, Jakarta - Isu pencabutan ekstrakurikuler wajib pendidikan kepramukaan (EWPK) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sempat jadi perbincangan.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, mengonfirmasi bahwa hal ini tidak benar. Menurutnya, setiap sekolah hingga jenjang pendidikan menengah wajib menyediakan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka.
Advertisement
“Permendikbudristek 12/2024 tidak mengubah ketentuan bahwa Pramuka adalah ekstrakurikuler yang wajib disediakan sekolah. Sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka,” ujar Anindito di Jakarta, Senin 1 April 2024.
Dia menambahkan, sejak awal, Kemendikbudristek tidak memiliki gagasan untuk meniadakan Pramuka. Adapun Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 justru menguatkan peraturan perundangan dalam menempatkan pentingnya kegiatan ekstrakurikuler di satuan pendidikan.
Isu ini pun mendapat tanggapan berbagai pihak salah satunya pusat pemberdayaan disabilitas di Malang, Lingkar Sosial atau LINKSOS.
Ketua Pembina LINKSOS, Ken Kerta, mengatakan bahwa pihaknya melihat hal ini sebagai kesempatan Pramuka untuk berbenah. Mengingat dalam praktiknya, kegiatan kepramukaan belum inklusif bagi penyandang disabilitas.
“Selama ini kebijakan EWPK belum menyertakan support system bagi penyandang disabilitas. Akibatnya, Pramuka dengan disabilitas terpinggirkan,” kata Ken dalam keterangan tertulis di laman resmi LINKSOS dikutip Jumat, 12 April 2024.
Dia menambahkan, regulasi Pramuka terlebih dahulu harus menyesuaikan UU RI nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Realitas saat ini, seluruh regulasi dan kebijakan Gerakan Pramuka masih mengacu pada UU RI Nomor 4 Tahun 1997, sedangkan UU tersebut sudah tidak berlaku.
Pramuka Disabilitas Masih Terpinggirkan
Ken menjelaskan, LINKSOS bekerja sama dengan Pramuka sejak tahun 2021. Beberapa anggota LINKSOS dari unit Difabel Pecinta Alam (Difpala), bahkan mengikuti Kursus Pembina Pramuka Mahir Dasar (KMD) dan berhasil lulus dengan baik.
LINKSOS menilai, implementasi EWPK selama ini belum menyertakan support system yang memadai bagi Pramuka penyandang disabilitas. Hal ini menyebabkan Pramuka disabilitas terpinggirkan.
“Konkretnya adalah persoalan kepramukaan di sekolah luar biasa (SLB) dan persoalan kepramukaan penyandang disabilitas di Gudep Wilayah.”
Evaluasi terhadap implementasi ini, kemudian menjadi dasar LINKSOS memberikan pandangan terhadap polemik keputusan Kemendikbudristek terkait EWPK.
Advertisement
Persoalan Pramuka di SLB
Di sekolah luar biasa, lanjut Ken, sulit mendapatkan pembina Pramuka untuk anak-anak spesial. Alasannya, sangat minim pembina dan pelatih pramuka yang memiliki dasar pengetahuan tentang disabilitas.
Sudah ada upaya SLB untuk memenuhi kebutuhan Pembina Pramuka. Para guru SLB siap mendampingi pembina yang akan melatih di sekolah luar biasa. Sayangnya, para pembina belum siap untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
Merespons persoalan ini, LINKSOS bekerja sama dengan Pelatih Pramuka yang peduli dengan isu disabilitas, mengadakan pembinaan guru SLB agar siap menjadi pembina Pramuka. Pilot projectnya adalah SLB BC Kepanjen melalui kesepakatan kerja sama pada Oktober 2023.
Upaya LINKSOS Ciptakan Pramuka Inklusif
Sebagai upaya mendukung kegiatan kepramukaan bagi penyandang disabilitas, baik di sekolah formal, non formal, maupun komunitas, LINKSOS melakukan dua langkah penting.
Pertama, merintis Satuan Komunitas Pramuka (Sako) bersama Kwarran Lawang di bidang inklusi disabilitas pada Agustus 2022.
Kedua, LINKSOS membentuk gudep inklusif melalui musyawarah gugus depan bersama Kwarran Lawang pada Agustus 2023. Gudep persiapan itu bernama Mpu Tantular dan Wedwawedan.
Sayangnya, sejak Agustus 2023 hingga saat ini (April 2024), permohonan pendaftaran gugus depan belum disetujui sehingga nomor gugus belum juga turun. Artinya gudep inklusif pangkalan Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) belum mendapatkan pengakuan.
“Mengapa demikian? Nampaknya, ada dinamika internal dalam tubuh Kwarran Lawang dan Kwarcab Malang. Di antaranya tentang perbedaan pendapat, bolehkah yayasan disabilitas non pendidikan atau komunitas membentuk gugus depan. Ya, selama ini ada paradigma yang salah. Bahwa kegiatan kepramukaan hanya melekat di lembaga pendidikan,” kata Ken.
Advertisement