Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan antara Iran dan Israel di Timur Tengah mendorong kekhawatiran akan lonjakan harga minyak dunia hingga ke angka USD 100 per barel.
Seperti diketahui, Iran dikenal luas sebagai lokasi sumber daya minyak yang sangat besar dan merupakan produsen minyak terbesar ketiga di organisasi OPEC.
Advertisement
Analis mengingatkan, gangguan pada kapasitas minyak dari negara itu untuk memasok pasar global dapat menyebabkan harga minyak naik lebih tinggi.
"Setiap serangan terhadap fasilitas produksi atau ekspor minyak di Iran akan mendorong harga minyak mentah Brent menjadi USD 100, dan penutupan Selat Hormuz akan menyebabkan harga berada pada kisaran USD 120 hingga USD 130," kata Andy Lipow, presiden Lipow Oil Associates, dikutip dari CNBC International, Senin (15/4/2024).
Melihat Kapasitas dan Negara Pembeli Minyak Terbesar dari Iran
Pada 2023 lalu, ekspor minyak mentah Iran tumbuh sekitar 50% ke level tertinggi dalam lima tahun terakhir, yaitu sekitar 1,29 juta barel per hari, dengan sebagian besar dikirim ke China.
Mengutip Nikkei Asia, Badan Energi Internasional (IEA) mencatat bahwa Iran memproduksi 2,99 juta barel minyak per hari di 2023 lalu, 440.000 barel lebih banyak dibandingkan tahun 2022
IEA memperkirakan Iran akan mencapai kenaikan produksi minyak lebih lanjut sebesar 160.000 barel pada tahun 2024.
Peningkatan ini diperkirakan berkontribusi pada berkurangnya pasar yang ketat, seiring dengan peningkatan yang dilakukan di AS dan Brasil.
Sedangkan secara global, pasokan minyak diperkirakan meningkat sebesar 1,5 juta barel per hari tahun ini.
China Beli 1 Juta Minyak dari Iran di 2023
Tingginya permintaan Tiongkok mendorong Iran untuk meningkatkan produksi. Data dari perusahaan riset Eropa Kpler menunjukkan bahwa sekitar 90% ekspor minyak mentah Iran ditujukan ke China.
Pada 2023 lalu, China membeli hingga sekitar 1 juta barel minyak dari Iran, Kpler mencatat.
Meskipun para anggota OPEC dan Rusia telah mengoordinasikan pengurangan produksi, Iran tidak dikenakan kuota meskipun menjadi bagian dari blok tersebut, karena kesulitan ekonomi yang dipicu oleh sanksi.
Advertisement
Ada Sanksi Lebih Lanjut dari AS?
Robert McNally, presiden Rapidan Energy Group dan mantan pejabat senior kebijakan Gedung Putih, menyebutkan dua alasan mengapa dia tidak memperkirakan Pemerintahan Presiden AS Joe Biden akan memberikan sanksi lebih lanjut pada Iran.
"Pertama, dia memprioritaskan harga minyak yang rendah terutama pada tahun pemilu,” kata McNally.
Kedua, dia memprediksi sanksi minyak yang lunak akan memoderasi perilaku Iran sehubungan dengan kegiatan pengayaan nuklir.
Selain itu, juga masih ada ruang bagi geopolitik untuk menaikkan harga.
"Jika (Biden) melakukan tindakan keras, hal ini akan berdampak pada keseimbangan dan harga global, terutama jika Iran membalas dengan arus produksi dan ekspor Teluk,” beber McNally.