Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street merosot selama sepekan seiring kekhawatiran inflasi yang tinggi dapat mencegah bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) memangkas suku bunga.
Dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Selasa (16/4/2024), pada pekan lalu, indeks Nasdaq turun 0,6 persen. Indeks S&P 500 terpangkas lebih dari 1,6 persen. Indeks Dow Jones merosot hampir 2,5 persen yang didorong kemerosotan saham bank pada Jumat pekan lalu. Hal itu seiring laporan laba bank yang gagal mengesankan investor.
Advertisement
Pada pekan ini, investor akan hadapi sejumlah rilis laporan keuangan perusahaan Amerika Serikat. Bank of America, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley akan merilis laporan keuangan. Demikian juga United Airlines dan Netflix menyampaikan laporan keuangan pekan ini.
Sementara itu, dari data ekonomi, pembaruan penjualan Maret dijadwalkan pada Senin pekan ini.
Pekan lalu pasar hadapi data pasar tenaga kerja yang lebih kuat dari perkiraan membuat semakin banyak ekonom yang mempertanyakan apakah the Federal Reserve (the Fed) akan menurunkan suku bunga pada Juni.
Setelah data inflasi selama sepekan menunjukkan kenaikan harga yang tidak menurun secepat yang diharapkan banyak orang, ekonom kini melihat the Fed pertahankan suku bunga acuan stabil hingga musim guhur.
Tim ekonom Bank of America dan Deutsche Bank yang sebelumnya melihat pelonggaran pada awal musim panas, kini yakin the Fed bakal pangkas suku bunga untuk pertama kalinya pada Desember. Hal ini berarti pemangkasan suku bunga hanya satu kali pada 2024.
Ekonom Bank of America, Michael Gapen menuturkan, pihaknya tidak lagi melihat pengambil kebijakan akan mendapatkan kepercayaan diri yang diperlukan untuk mulai memangkas suku bunga pada Juni.
Inflasi Bakal Tetap Kuat
“Kami memperkirakan inflasi akan relatif tetap kuat dalam waktu dekat. Kami perkirakan 0,25 persen m/m untuk inflasi inti pada Maret dan April. Hal ini akan membuat penurunan pada awal Juni atau September tidak mungkin terjadi tanpa adanya tanda-tanda jelas dari kemunduran pasar tenaga kerja,” kata Gapen.
Berdasarkan data Bloomberg, konsensus kini prediksi dua kali penurunan suku bunga pada 2024. Ekonom Deutsche Matthew Luzzetti mencatat, perkraan kebijakan moneter yang lebih ketat itu mungkin tidak akan membuahkan hasil pada 2024.
““Data inflasi yang lebih mengecewakan atau hasil pemilu yang memberikan stimulus fiskal dan/atau kebijakan yang dapat mengangkat inflasi (misalnya, kebijakan perdagangan atau imigrasi) akan menjadi alasan untuk tidak adanya penurunan suku bunga pada tahun ini dan memasuki tahun 2025,” tulis Luzzetti.
Advertisement
Penutupan Wall Street Pekan Lalu
Sebelumnya diberitakan, aksi jual saham pada perdagangan Jumat, 12 April 2024 seiring kekhawatiran inflasi dan geopolitik kembali melemahkan sentimen investor di wall street.
Selain itu, koreksi saham bank juga bebani pasar. Dikutip dari CNBC, Sabtu (13/4/2024), pada penutupan perdagangan wall street Jumat pekan ini, indeks Dow Jones merosot 475,84 poin atau 1,24 persen ke posisi 37.983,24. Indeks S&P 500 anjlok 1,46 persen ke posisi 5.123,41. Indeks Nasdaq merosot 1,6 persen ke posisi 16.175,09.
Pada sesi perdagangan, indeks Dow Jones sempat turun hampir 582 poin atau 1,51 persen. Indeks S&P 500 tergelincir 1,75 persen. Selama sepekan, indeks S&P 500 turun 1,56 persen. Indeks Dow Jones terpangkas 2,37 persen. Indeks Nasdaq melemah 0,45 persen.
Adapun saham JPMorgan Chase merosot lebih dari 6 persen setelah melaporkan kinerja kuartal pertama. JPMorgan Chase mengatakan, net interest income atau pendapatan bunga bersih akan lebih kecil pada 2024. CEO Jamie Dimon juga memperingatkan inflasi yang tinggi masih bebani ekonomi.
Selain itu, saham Wells Fargo turun 0,4 persen setelah melaporkan kinerja kuartalan terakhir. Saham Citigroup merosot 1,7 persen meski melaporkan pendapatan yang kalahkan prediksi.
Di sisi lain, harga minyak terus menguat di tengah Israel dilaporkan mempersiapkan serangan langsung ke Iran pekan ini. Hal itu akan menjadi ketegangan terbesar sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada Oktober. Harga minyak Amerika Serikat berada di posisi USD 85,66 per barel usai menguat di posisi USD 87.
Hal ini ditambah dengan data impor AS yang baru menambah kekhawatiran terhadap inflasi yang telah memberikan tekanan pada pasar.
Dibayangi Data Inflasi
“Kami mendapatkan sentimen risk-off lebih lanjut menjelang akhir pekan. Anda melihat adanya peralihan ke perdagangan yang lebih aman, dengan dolar AS yang lebih kuat dan kita melihat aksi jual saham,” ujar US Bank Wealth Management Senior Investment Management, Rob Haworth.
Ia menambahkan, hal ini terjadi setelah data inflasi menunjukkan ekonomi masih cukup panas dan inflasi masih stabil.
"Itulah yang membuat investor benar-benar menyesuaikan ekspektasi terhadap the Fed. Itulah beberapa alasan mengapa mereka bersikap hati-hati menjelang akhir pekan,” kata Haworth.
Konsumen juga semakin khawatir terhadap inflasi yang tinggi masih berlanjut. Indeks sentimen konsumen pada April berada di posisi 77,9 di bawah estimasi konsensus Dow Jones sebesar 79,9, menurut the University of Michigan’s Surveys of Consumers. Inflasi diprediksi meningkat pada 2025 dan dalam jangka panjang.
Advertisement