Liputan6.com, Jakarta Ketegangan terbaru antara Iran dan Israel meningkat setelah Iran melancarkan serangan drone ke Israel sebagai balasan atas serangan di Damaskus. Konflik ini telah memicu kekhawatiran global, dengan banyak orang khawatir hal ini bisa menjadi tanda awal Perang Dunia III.
IDF menyatakan Iran meluncurkan drone "dari dalam wilayahnya menuju Israel."
Advertisement
"IDF dalam keadaan siaga tinggi dan terus memantau situasi operasional," sebut IDF seperti dilansir CBS News.
Dibalik ketegangan Israel dan Iran ini, kondisi ekonomi kedua negara turut jadi sorotan. Lantas bagaimana ekonomi Iran dan Israel selama ini, berikut ulasannya dikutip dari tradingeconomis.com
Ekonomi Iran
Pertumbuhan PDB Iran tercatat mencapai 5,1% pada akhir 2023 lalu, di mana PDB per Kapita Iran sebesar USD 5.508 pada akhir 2022. Untuk tingkat inflasi Iran tembus 35,8% per Februari 2024.
Sedangkan nilai utang pemerintah dibandingkan dengan PDB mencapai 30,6% pada akhir 2023 lalu. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) minus yaitu -5,5% dari PDB. Tingkat pengangguran Iran mencapai 7,6% pada akhir 2023. Utang luar negeri sebesar USD 6,2 miliar.
Ekonomi Israel
Pertumbuhan PDB Israel tercatat mencapai -4% pada akhir 2023 lalu, di mana PDB per Kapita Israel sebesar USD 42.711 pada akhir 2022. Untuk tingkat inflasi Israel sebesar 2.7% per Maret 2024.
Sedangkan nilai utang pemerintah dibandingkan dengan PDB mencapai 60.7% pada akhir 2022 lalu. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga minus yaitu -4,2% dari PDB Cadangan devisa Israel sebesar USD 213 miliar. dengan utang luar negeri sebesar USD 154 miliar pada akhir 2023. Tingkat pengangguran Israel mencapai 3,3% per Maret 2024.
Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5% Sulit Tercapai Jika Perang Iran dan Israel Meluas
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Bambang Beodjonegoro mengingatkan bahwa target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% akan sulit dicapai, jika ketegangan di Timur Tengah antara Iran dan Israel meluas atau berlangsung lama.
“Kalau eskalasi ini (Iran dan Israel) menjadi lebih besar atau lebih lama dan menimbulkan kekhawatiran bagi banyak pihak, mungkin akan challenging ya target (pertumbuhan ekonomi) 5%, mungkin bisa terdorong ke bawah ke 4,6% atau 4,8%,” ungkap Bambang dalam diskusi daring bertajuk Ngobrol Seru Konflik Iran-Israel, dikutip Senin (15/4/2024).
Bambang menjelaskan, risiko itu didorong oleh gangguan dari keseimbangan eksternal ditambah dengan potensi kenaikan inflasi.
Seperti diketahui, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada konsumsi dalam negeri.Maka satu-satunya agar pertumbuhan ekonomi masih bisa 5%, menurut Bambang, adalah dampak dari Pilkada.
“Tapi kalau melihat dampak dari Pemilu kemarin agak berbeda sama pemilu yang terakhir, karena saat ini sebagian besar orang (mengikuti kegiatan Pemilu) di media sosial, jadi tidak banyak dapat konsumsi yang di luar konsumsi data atau internet.Sedangkan Pilkada Kemungkinan tidak akan beda jauh,” bebernya.
Advertisement
Keseimbangan Eksternal
Terkait keseimbangan eksternal, Bambang menyoroti masa sebelum pecahnya ketegangan Israel dengan Hamas, di mana Indonesia melihat neraca perdagangan selalu surplus selama 2 tahun.
Namun saat ini, meski melanjutkan surplus, angka neraca perdagangan Indonesia sudah dibawah USD 1 miliar.
“Jadi ini sebenarnya sudah mulai lampu kuning, jangan-jangan kita tidak bisa lagi melanjutkan surplus di neraca perdagangan. Kenapa ini kritis ? karena kinerja kita secara eksternal akan dilihat dari keseimbangan neraca berjalan yang merupakan gabungan dari neraca perdagangan barang dan jasa,” tukasnya.
“Nah kalau melihat kondisi saat ini, agak sulit kita membayangkan neraca perdagangan barang kita akan membaik,” sambungnya.
Kemudian mengenai inflasi, dampak yang perlu diwaspadai di Indonesia saat ini adalah angka inflasi yang masih di atas target, terutama pada harga pangan
“Di 2022 kita itu pernah mengalami inflasi di atas 5% yang di atas rata-rata, karena pada waktu itu perang antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak di atas USD 100,” Bambang menyoroti.