21 April 2019: 8 Bom Meledak di Sri Lanka Saat Perayaan Hari Paskah, 207 Orang Tewas

13 tersangka berhasil ditangkap setelah serangkaian pengeboman gereja dan hotel di Sri Lanka yang menewaskan 207 orang dan melukai 450 orang pada hari Minggu 21 April 2019, tepat pada Perayaan Hari Paskah.

oleh Najma Ramadhanya diperbarui 21 Apr 2024, 06:16 WIB
Ilustrasi ledakan bom di gereja, hotel dan rumah di Sri Lanka. (Freepik/Standret)

Liputan6.com, Colombo - Serangkaian serangan bom yang terkoordinasi melanda gereja-gereja dan juga hotel di Sri Lanka pada Hari Perayaan Paskah, Minggu 21 April 2019.

Seperti dilansir dari Al Jazeera, Minggu (21/4/2024), serangan bom tepat lima tahun lalu ini menewaskan 207 orang dan merupakan serangan terburuk di Sri Lanka sejak berakhirnya perang saudara 15 tahun silam.

Setidaknya 450 orang terluka setelah negara ini dilanda total delapan ledakan bom, kata polisi, dan menambahkan bahwa beberapa serangan yang merupakan bom bunuh diri.

Sebagian besar korban merupakan warga Sri Lanka yang tewas di tiga gereja tempat jemaat menghadiri ibadah Minggu Paskah. Tiga ledakan lainnya melanda hotel-hotel mewah seperti Cinnamon Grand, Kingsbury, dan Shangri-La, yang terletak di pusat ibu kota Colombo, dan menewaskan setidaknya 35 orang asing.

Orang asing yang tewas di antaranya adalah wisatawan Jepang, Belanda, Tiongkok, Inggris, Amerika, dan Portugal.

"Orang-orang ditarik keluar," jelas Bhanuka Harischandra dari Colombo, seorang pendiri perusahaan pemasaran teknologi berusia 24 tahun yang berada di Hotel Shangri-La untuk suatu pertemuan ketika terjadi ledakan.

"Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi. Semua orang panik. Darah ada di mana-mana," tambahnya.

Tidak ada klaim tanggung jawab langsung atas pembantaian di negara  yang berperang selama puluhan tahun dengan separatis Tamil sampai 2009, pada masa di mana ledakan bom di Colombo dan tempat lainnya umum terjadi,

Yasmin Christina Rodrigo, yang berumur 31 tahun pada waktu itu, kembali ke rumah untuk liburan Paskah bersama keluarganya. Ia berada di St Anthony's Shrine di Colombo untuk beribadah ketika bom meledak.

"Saya duduk di salah satu baris tengah dan mendadak mendengar suara. Saya merasa mati rasa saat potongan kecil bata dan jelaga menutupi tubuh saya. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan tangisan. Aula itu tercium bau terbakar, dan orang-orang berteriak serta berdesak-desakan keluar. Saya berhasil bangun dari bangku, dan melihat tumpukan orang tergeletak di lantai yang terendam darah dan jelaga," kata Rodrigo kepada Al Jazeera.


Kecaman dari PM Ranil Wickremesinghe

Ilustrasi Teroris. (Freepik/Senivpetro)

Perdana Menteri saat itu, Ranil Wickremesinghe mengecam serangan tersebut sebagai "upaya untuk membuat negara dan ekonominya tidak stabil".

Ia akhirnya mengadakan pertemuan darurat dengan pejabat militer teratas Dewan Keamanan Nasional negara dan memanggil pertemuan darurat pada hari Senin keesokannya.

"Saya mengecam serangan-serangan ini yang menargetkan tempat-tempat ibadah dan beberapa hotel. Kita semua harus bergandengan tangan untuk melindungi ketertiban dan hukum," ucap Wickremesinghe.

13 orang ditangkap terkait ledakan bom mematikan ini, kata polisi.

"Sejauh ini nama-nama yang muncul adalah dari dalam negeri," tetapi penyelidik akan menyelidiki apakah para penyerang memiliki "hubungan luar negeri," kata Wickremesinghe.

Adapun ledakan ketujuh terjadi di sebuah hotel dekat kebun binatang nasional di ibu kota, menewaskan dua orang, ungkap polisi, sementara yang kedelapan menghantam pinggiran Orugodawatta, utara Colombo, ketika petugas masuk ke sebuah rumah untuk melakukan penyelidikan.

Ledakan tersebut membuat lantai atas rumah tersebut roboh hingga menewaskan tiga polisi, kata salah satu sumber polisi yang berbicara dengan syarat anonimitas.

"Selama 30 tahun perang saudara kita sering mengalami banyak ledakan di Colombo. Kita terbiasa dengan bandara yang meledak dan bank sentral, hal-hal seperti itu. Tapi sudah 10 tahun damai dan kita terbiasa dengan itu. Itulah sebabnya hal ini sangat mengejutkan," kata penduduk Colombo, Mangala Karunaratne.


Adanya Intimidasi Antar Komunitas Agama

Ilustrasi keberagaman agama. (Image by rawpixel.com on Freepik)

Kelompok-kelompok Kristen lokal mengatakan bahwa merekaa sempat menghadapi intimidasi yang meningkat dari beberapa biksu Buddha dalam beberapa tahun terakhir sebelum bom diledakkan.

Tahun 2018, terjadi bentrokan antara komunitas Buddha mayoritas Sinhala dan minoritas Muslim, dengan beberapa kelompok Buddha yang menuduh Muslim memaksa orang untuk berpindah agama menjadi Islam.

Tokoh Katolik senior Sri Lanka meminta pemerintah untuk menemukan para pelaku dibalik ledakan mematikan itu.

"Saya juga ingin meminta pemerintah untuk melakukan penyelidikan yang sangat impartial dan kuat dan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas tindakan ini dan juga untuk menghukum mereka tanpa belas kasihan, karena hanya binatang yang bisa berperilaku seperti itu," ucap Kardinal Malcolm Ranjirh, uskup agung Kolombo, kepada para wartawan.

86 kejadian diskriminasi, ancaman, dan kekerasan terhadap umat Kristen yang terverifikasi juga terjadi setahun sebelum tragedi bom ini terjadi, menurut Aliansi Injil Kristen Nasional Sri Lanka.

Jubir kepolisian Ruwan Gunasekera mengatakan para korban sedang dievakuasi sementara pasukan keamanan memagari daerah-daerah tersebut dan operasi pencarian sedang dilakukan.

Foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan atap satu gereja hampir sepenuhnya terlepas dalam ledakan itu. Lantainya dipenuhi dengan genteng atap yang hancur, kayu pecah, dan juga darah.

Beberapa orang terlihat bersimbah darah, sejumlah lainnya mencoba membantu mereka yang terluka parah.


Tindakan Pemerintah Sri Lanka

Ilustrasi Bendera Sri Lanka (Unsplash/Chathura Anuradha Subasinghe)

Pemerintah Sri Lanka mengumumkan jam malam di seluruh negeri dengan segera, kata Menteri Pertahanan Ruwan Wijewardene.

Pejabat pemerintah juga mengatakan jaringan utama media sosial dan aplikasi pesan, termasuk Facebook dan WhatsApp, diblokir di dalam negeri untuk mencegah penyebaran hoax dan desas-desus.

"Ini hanya tindakan sementara," kata Udaya R Seneviratne, sekretaris presiden, dalam sebuah pernyataan.

Minelle Fernandez dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Colombo, mengatakan krisis itu tampaknya sudah berakhir pada Minggu (21/4/2019) malam.

"Kami mendengar bahwa rumah sakit nasional Colombo masih menerima korban yang dibawa dari beberapa lokasi. Dalam hal penegakan hukum, kami mendengar bahwa semua acara telah dibatalkan, dan keamanan di sekitar kota telah diperketat," kata Fernandez.

Mantan anggota parlemen Sri Lanka, Rajiva Wijesinha, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sifat koordinasi dari serangan-serangan itu mengguncang negaranya.

"Ini sungguh mengerikan. Kami belum pernah mengalami sesuatu seperti ini sebelumnya. Sri Lanka memiliki masa sulit dibawah terorisme Tamil Tiger selama sekitar 25 tahun, dan kemudian ada rasa lega yang besar, yang sayangnya Barat berperang kembali dengan kami, ketika kami berhasil mengalahkan teroris Tiger," kata Ravija.

"Tetapi teroris Tiger tidak pernah terorganisir dengan baik dan tidak pernah sebrilian ini dalam sinkronisasi, dan ini jelas merupakan sesuatu dalam skala yang jauh lebih besar, yang sejujurnya sangat menakutkan," tambahnya.

"Rentang rangkaian serangan ini pada gereja-gereja Kristen yang disusul dengan hotel-hotel menunjukkan bahwa kita berurusan dengan sesuatu yang benar-benar mengerikan."

INFOGRAFIS: Deretan Kasus Ledakan Bom di Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya