Liputan6.com, Jakarta - Hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menunjukkan bahwa ada 2.716 calon dokter spesialis yang mengalami gejala depresi.
Angka 2.716 atau 22,4 persen ini datang dari calon dokter yang sedang menempuh berbagai pendidikan spesialisasi. Dengan rincian terbanyak ditemukan pada calon dokter spesialis yang sedang menjalani:
Advertisement
- Pendidikan spesialis 1 anak: 381 (14 persen).
- Pendidikan spesialis 1 penyakit dalam: 350 (12.9 persen).
- Anestesiologi: 248 (9,1 persen).
- Neurologi: 164 (6 persen).
- Obgyn: 153 (5,6 persen).
Rincian Tingkat Gejala Depresi PPDS
Sementara, rincian tingkat depresi dari 22,4 persen PPDS yang bergejala yakni:
- Sebanyak 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat.
- Sebanyak 1,5 persen dengan depresi sedang-berat.
- Sebanyak 4 persen depresi sedang.
- Sebanyak 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.
Bahkan, sekitar tiga persen di antaranya mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan berbagai cara, seperti mengutip unggahan Instagram @pandemictalks, Selasa, 16 April 2024.
Sebelumnya, disampaikan bahwa skrining depresi dilakukan Kementerian Kesehatan pada total 12.121 calon dokter spesialis per 21, 22, dan 24 Maret 2024.
Penapisan dilakukan di 28 rumah sakit vertikal menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Rumah Sakit dengan PPDS Gejala Depresi Terbanyak
Laporan Kemenkes RI turut menunjukkan rincian rumah sakit penyelenggara PPDS dengan calon dokter spesialis yang mengalami depresi terbanyak.
Dari 22,4 persen calon dokter spesialis yang mengalami depresi, terbanyak ditemukan di:
- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM): 614 (22,6 persen).
- Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS): 350 (12,9 persen).
- RS Sardjito: 326 (12 persen).
- RS Ngoerah: 284 (10,5 persen).
- RSUP Wahidin Sudirohusodo: 240 (8,8 persen).
PPDS Alami Gejala Depresi, 4 Hal yang Perlu Jadi Perhatian
Hasil skrining ini mendapat tanggapan dari dokter senior yakni Prof. Tjandra Yoga Aditama.
“Sehubungan data Kementerian Kesehatan tentang depresi (bahkan ada keinginan bunuh diri dan lain-lain) pada Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RS Vertikal Kemenkes yang banyak dapat komentar kalangan kesehatan dan pendidikan, maka setidaknya ada empat hal yang perlu jadi perhatian,” kata Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI kepada Health Liputan6.com lewat pesan tertulis, Selasa (16/4/2024).
Skrining Pembanding pada Peserta Pendidikan Lain
Pertama, kata Tjandra, akan baik kalau ada pembanding. Maksudnya, metode yang sama dilakukan juga pada para peserta pendidikan yang lain.
“Mungkin termasuk STPDN (sekolah tinggi pemerintahan dalam negeri), universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi. Kalau ada pembanding maka kita tahu apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang dunia pendidikan pada umumnya.”
Advertisement
Skrining Depresi pada Masyarakat Umum
Kedua, lanjut Tjandra, bahkan akan baik kalau metode penilaian depresi yang sama juga dilakukan pada masyarakat umum.
Berita tentang tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat mungkin akan memberi gambaran depresi pula. Dan bukan tidak mungkin data pada peserta program pendidikan dokter spesialis adalah menggambarkan data pada populasi secara umum.
Analisis Kualitatif
Ketiga, dengan ditemukannya gambaran depresi seperti hasil evaluasi Kementerian Kesehatan ini, tentu tidak dan jangan berhenti dengan angka deskriptif, perlu dilakukan analisa kualitatif untuk melihat faktor penyebabnya.
“Analisa kualitatif dan rinci ini amat penting agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang, apa hal utama, apa penunjangnya, apa faktor lain terkait dan lain-lain. Dengan melakukan hal pertama, kedua dan ketiga ini maka baru kita akan dapat suatu data yang ‘evidence based’ untuk keputusan tindak lanjutnya.”
Perlu Ditangani Segera
Keempat, untuk mereka yang depresi maka tentu perlu ditangani segera. Kalau depresi ternyata juga terjadi di berbagai Program Pendidikan lain, atau bahkan masyarakat umum, maka bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi, tutup Tjandra.
Advertisement