Liputan6.com, Jakarta Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama, mengungkapkan perhatiannya terhadap 2.716 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang mengalami gejala depresi. Menurutnya, penting untuk segera menangani depresi pada calon dokter spesialis tersebut.
"Untuk mereka yang depresi maka tentu perlu ditangani segera," kata Tjandra Yoga kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis pada Selasa, 16 April 2024.
Advertisement
Informasi mengenai jumlah 2.716 mahasiswa yang mengalami gejala depresi diungkapkan sebelumnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), hasil dari skrining kesehatan jiwa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024.
Total peserta skrining dari seluruh rumah sakit adalah 12.121 PPDS dan metodenya menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Hasilnya, sebanyak 22,4 persen (2.716) mahasiswa program pendidikan dokter spesialis terdeteksi mengalami gejala depresi.
Bahkan, tiga persen di antaranya mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun, seperti mengutip unggahan Instagram @pandemictalks.
Melihat hal ini, Tjandra menganggap bahwa skrining serupa dapat pula dilakukan untuk peserta pendidikan lain, contohnya di sekolah tinggi dan universitas ternama.
"Mungkin termasuk STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi," katanya.
Dengan adanya pembanding, dapat terlihat apakah masalah depresi ini hanya banyak ditemukan di lingkungan pendidikan kedokteran atau juga di dunia pendidikan secara umum.
"Kalau ada pembanding maka kita tahu apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang dunia pendidikan pada umumnya," kata Tjandra.
Skrining untuk Mengetahui Gejala Depresi di Masyarakat Umum
Bahkan, Tjandra menyarankan agar skrining serupa juga dilakukan pada masyarakat umum.
"Bahkan akan baik kalau metode penilaian depresi yang sama juga dilakukan pada masyarakat umum. Berita tentang tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat mungkin akan memberi gambaran depresi pula," katanya.
"Dan, bukan tidak mungkin data pada peserta program pendidikan dokter spesialis adalah menggambarkan data pada populasi secara umum," tambahnya.
Jika depresi ternyata juga terjadi di berbagai program pendidikan lain atau bahkan masyarakat umum, maka bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi.
Advertisement
Perlu Analisis Kualitatif untuk Lihat Faktor Penyebab
Dengan ditemukannya gambaran depresi seperti hasil evaluasi Kementerian Kesehatan ini, tentu tidak dan jangan berhenti dengan angka deskriptif, lanjut Tjandra. Perlu dilakukan analisis kualitatif untuk melihat faktor penyebabnya.
“Analisa kualitatif dan rinci ini amat penting agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang, apa hal utama, apa penunjangnya, apa faktor lain terkait dan lain-lain.”
“Dengan melakukan hal ini (perluasan skrining) maka baru kita akan dapat suatu data yang ‘evidence based’ untuk keputusan tindak lanjutnya.”
Rincian Tingkat Gejala Depresi PPDS
Dalam data Kemenkes ditunjukkan rincian tingkat gejala depresi dari 22,4 persen PPDS yang bergejala yakni:
- Sebanyak 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat
- Sebanyak 1,5 persen dengan depresi sedang-berat
- Sebanyak 4 persen depresi sedang
- Sebanyak 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.
Sementara, angka 2.716 atau 22,4 persen ini datang dari calon dokter yang sedang menempuh berbagai pendidikan spesialisasi. Dengan rincian terbanyak ditemukan pada calon dokter spesialis yang sedang menjalani:
- Pendidikan spesialis 1 anak: 381 (14 persen).
- Pendidikan spesialis 1 penyakit dalam: 350 (12.9 persen).
- Anestesiologi: 248 (9,1 persen).
- Neurologi: 164 (6 persen).
- Obgyn: 153 (5,6 persen).
Tak hanya di Indonesia, gejala depresi juga ditemukan pada PPDS di berbagai negara lain dengan persentase beragam.
“Depresi pada PPDS di luar negeri rata-rata 28.8 persen dengan kisaran antara 20.9 persen sampai 43.2 persen, ini berdasar berbagai penelitian PPDS di berbagai tempat di luar negeri,” tutup Tjandra.
Advertisement