Liputan6.com, Jakarta - Mas kawin alias mahar merupakan salah satu komponen wajib dalam pernikahan. Lazimnya, mahar berupa barang berharga atau memiliki nilai dan atau semacamnya.
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Jika si lelaki masuk kepada si wanita, maka si wanita berhak meneriman mahar atas apa yang telah dihalalkan padanya, yaitu farji-nya” (HR. At Tirmidzi 1102, ia berkata: “hasan”)
Namun, tak menutup kemungkinan mahar akan berupa lainnya. Sebab, nabi sendiri menganjurkan agar mahar bukan sesuatu yang memberatkan.
Baru-baru ini beredar video viral pernikahan di mana mempelai pria memberi mahal berupa janji tidak minum-minuman keras atau minum miras.
Dilihat di akun Instagram,@tualmalra_info, terlihat sepasang pengantin duduk di hadapan penghulu untuk siap dinikahkan. Disebutkan dalam video tersebut, mempelai pengantin laki-laki bernama Sadam sementara mempelai perempuan bernama Misna.
“Saya wakil wali, saya nikahkan engkau dengan Misna dengan maskawinnya berupa berhenti meminum minuman keras,” kata pria yang bertugas sebagai penghulu.
Tak perlu menunggu lama, dibalas oleh Sadam, “Saya terima nikahnya dengan mas kawin berhenti meminum minuman keras,” kata Sadam membalas ucapan penghulu. Video pernikahan bermahar unik ini langsung menjadi sorotan netizen yang ramai-ramai meninggalkan komentar.
Dalam video tersebut tidak dijelaskan, kapan terjadi dan di mana lokasi kejadian tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Pertanyaannya kemudian, bagaimana pandangan Islam mengenai mahar dengan janji tidak minum minuman keras tersebut?
Simak Video Pilihan Ini:
Penyebab Penggunaan Mahar Tak Lazim?
Apa yang menjadi latar belakang mahar tersebut juga tidak dijelaskan. Semenjak marak HP android, begitu marak mahar-mahar tak lazim. Apakah ini juga berkaiatn dengan konten? Cari popularitas atau ada alasan lain?
Sebut saja, ada yang viral menikah dengan mahar sandal jepit, air puti satu gelas, uang Rp500, ada juga yang menggunakan mahar ular sanca.
Menukil kalsel.kemenag.go.id, telah terjadi pergeseran makna mahar dari sebuah pemberian ikhlas dan penghormatan dari suami kepada istri, menjadi bahan lelucon menebar sensasi. Bagaimana sesungguhnya aturan tentang mahar pernikahan.
Sepertinya, semakin unik semakin murah dan semaki heboh suatu mahar, semakin diminati karena akan mendapat perhatian luas.
Fenomena inilah yang membuat banyak pasangan milenial memberikan mahar yang aneh, sama seperti nekatnya youtobers menantang bermacam risiko sekadar untuk mendapatkan momen video atau foto yang unik agar viwernya semakin banyak.
Pemberian mahar yang tidak lazim, hanya untuk mendapatkan perhatian. Artinya, telah terjadi pergeseran makna mahar di kalangan calon pengantin ; dari pemberian penuh keikhlasan untuk memuliakan wanita yang dinikahi, menjadi bahan candaan untuk popolaritas dan kesenangan mendapatkan perhatian.
Advertisement
Persoalan Mahar Menurut Ulama
Mahar atau maskawin adalah harta yang wajib diberikan suami kepada istri dengan sebab akad nikah, hukumnya wajib, (Musthafa al Bugha, Alfiqh al Manhaj ‘ala Madzhab al Imam al Sfafi’i juz IV halaman 75).
Walaupun suami istri sepakat meniadakan mahar, maka kesepakatan itu batal dan mahar tetap wajib diberikan. Firman Allah ; “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan.” (QS. An Nisa :4). Syekh Muhammad Bin Qasim dalam Fathul Qarib halaman 234, menyatakan hukum menyebut mahar dalam akad nikah adalah sunnat.
Tujuan pemberian mahar tidak lain sebagai bentuk kesungguhan (shidq) suami dalam menikahi istrinya. Mahar adalah wujud penghormatan terhadap istri dan bukti betapa Islam sangat memuliakan wanita dengan memberinya hak memiliki harta.
Mahar yang sudah disepakati jenis dan jumlahnya serta disebut dalam ijab qabul adalah mahar musamma, sedang yang belum disepakati atau tidak diucapkan dalam ijab qabul disebut mahar mitsil. Mahar boleh dibayar tunai atau berhutang. Namun bila istri sudah dicampuri, suami wajib segera membayar maharnya. Firman Allah ; (“Istri- istri yang kamu camputi diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban” .QS. An Nisa : 24).
Syekh Muhammad Bin Qasim berpendapat, apapun dapat dijadikan mahar asalkan halal ditransaksikan (secara jual beli atau sewa menyewa), baik berupa uang, barang ataupun jasa dan tidak ada pembatasan jumlah. Hanya, disunatkan antara 10 sampai 500 dirham sebagai standar layak (Fathul Qarib,235). Bila dirupiahkan dengan kurs saat ini berkisar antara Rp39.000,- hingga Rp19,5 juta. Kurang dari 10 dirham dianggap terlalu murah dan bila lebih dari 500 dirham dinilai menunjukkan kearoganan.
Penggunaan jasa sebagai mahar, dalam kitab Albayan fi Mazhab al-Imam asy-Syafi’i hal. 374 s.d 376 dinyatakan sah. Ditegaskan, apa saja yang dapat ditransaksikan secara sewa menyewa seperti tenaga binatang, sewa tanah, tempat tinggal, jasa menjahit pakaian, membangunkan rumah, mengajari membaca Al-Qur’an dan yang semisalnya, sah dijadikan mahar.
Kalangan Mazhab Malik dan Hambali pada umumnya berpendapat sama dengan Imam Syafi’i, menganggap sah jasa sebagai mahar, tetapi keduaya menghukumi makruh, sedang Abu Hanifah menghukumi tidak sah.
Iman Syafi’i berdalil pada Surah al-Qashas ayat 27 : “Dan Syu`aib berkata ; sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun”. Juga Baginda Rasulullah SAW pernah mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang meminangnya dengan apa yang ada padanya dari Al-Qur’an. Maksudnya : untuk mengajari (istrinya) Al-Qur’an. Namun menjadikan kitab Al-Qur’an sebagai mahar, para ulama sepakat melarangnya.
Berdasar kedua dalil tersebut, maka setiap manfa’at dari (jasa) yang boleh menerima bayaran dengan sebab sewa- menyewa, boleh dijadikan mahar pernikahan.
Janji Tidak Bisa Dijadikan Mahar
Adapun janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tidak bisa dijadikan mahar. Janji disamakan dengan akad nikah yang tidak menyebutkan mahar atau tidak bermahar. Akad nikahnya sah, tetapi suami wajib membayar mahar mitsil. Yaitu, mahar yang standar jenis dan jumlahnya mengikuti apa yang pernah diterima saudaranya atau keluarganya dengan mempertimbangkan status sosial, pendidikan, kecantikan, umur, kecakapan dan juga apakah ia perawan atau janda.
Mahar berupa binatang atau benda yang haram seperti minuman keras, anjing, babi, kotoran, sesuatu yang tidak diketahui, sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum dimiliki, dan manfa’at-manfa’at yang tidak dapat ditransaksikan dengan sewa menyewa, menurut Syekh Yusuf Al-Ardabily dalam Kitab Al-Anwar li A’maalil Abrar hal 435, tidak sah, karena sesungguhnya mahar adalah ‘iwadh (pengganti) dalam sebuah transaksi seperti jual beli dan ijarah (sewa).
Tentu juga tidak sah menjadilan mahar barang yang bukan milik sendiri atau sesuatu yang tidak bernilai dan tidak bisa diperjualbelikan seperti sebutir gandum atau kuda yang belum pernah dilihat seperti apa keadaanya. Jika tetap dijadikan mahar, suami wajib membayar mahar mitsil.
Secara umum apakah ular tergolong binatang haram dan buas walaupun terlihat jinak? Dalam hal ini Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya memasukkan ular dalam salah satu dari lima jenis binatang yang boleh dibunuh walaupun di Tanah Haram (Burung gagak, elang, kalajengking, tikus, anjing yang suka menggigit dan ular) dalam riwayat lainnya : binatang buas pada umumnya.”
Agar penggunaan mahar yang aneh tidak semakin meluas, penghulu harus lebih sering memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang layak dan tidak layak dijadikan mahar. Gejala pemberian mahar yang bermotif sensasi tentu sudah terdeteksi pada saat calon pengantin mendaftarkan kehendak nikahnya.
Memang, penggunaan mahar yang tidak lazim tidaklah sampai mengakibatkan pernikahan tidak sah. Paling berat, maharnya dihukumkan haram. Suami sebagai pemberi mahar tidak mendapat pahala malah berdosa dan wajib memberikan mahar mitsil, yang nilainya justru lebih besar.
Penting sekali menyadarkan calon pengantin tentang hakekat pernikahan sebagai sesuatu yang sakral, yang seharusnya diniatkan untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal serta diridhai Allah. Mahar sebagai pemberian wajib seorang suami dengan penuh keikhlasan dan untuk memuliakan istri, jangan malah dijadikan candaan. Na’uzubilahi min zalik.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul
Advertisement