Perang Iran Vs Israel Picu Krisis Energi? Ini Ramalan Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar

Adanya konflik yang berhubungan dengan harga energi bukanlah hal yang baru. Melainkan, permasalahan harga minyak dunia yang terkerek naik seringkali dipicu oleh konflik, utamanya di Timur Tengah.

oleh Tira Santia diperbarui 17 Apr 2024, 08:30 WIB
Mantan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (16/4/2024). (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, turut menyoroti terkait dampak serangan Iran kepada Israel terhadap harga energi dunia.

Arcandra menjelaskan, adanya konflik yang berhubungan dengan harga energi bukanlah hal yang baru. Melainkan, permasalahan harga minyak dunia yang terkerek naik seringkali dipicu oleh konflik, utamanya di Timur Tengah.

"Peristiwa ini sudah ada sebelumnya. Pada 70-an-80-an pun terjadi krisis energi karena terganggunya suplai. Jadi dari tahun-tahun sebelumnya kita juga sudah memahami bahwa ini akan terjadi selalu," kata Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (17/4/2024).

Bahkan, saat ini berbagai negara sudah fokus memikirkan cara mengantisipasi dari adanya konflik dibanding memikirkan dampak yang ditimbulkan terhadap harga energi.

Lebih lanjut, Arcandra menilai konflik yang terjadi di Timur Tengah berpotensi mengerek kenaikan harga minyak. Sebab wilayah itu merupakan salah satu eksportir terbesar minyak mentah di dunia

Namun, pihaknya belum bisa memproyeksikan berapa kenaikan pasti dari harga minyak dampak konflik Iran vs Israel ini.

 

"Nah sekarang terjadinya peristiwa konflik ini ada kemungkinan naik? Ada," ujarnya.

 

Harga Minyak Indonesia Bakal Tertekan

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, memproyeksikan Indonesian Crude Oil Price akan mengalami tekanan imbas dari konflik antara Iran dengan Israel.

Menurutnya, konflik tersebut berpotensi dapat mendorong ICP naik dikisaran USD 5 - 10 per barel. Sehingga, kemungkinan potensi harga ICP tembus USD 100 per barel bisa terjadi.

"Jadi, ini masih pendapat dan kajian dari kami. Jadi, kalau harga minyak (ICP) dugaan kami akan ada tekanan untuk naik dan tekanan untuk naik itu diwujudkan dalam premium resiko itu kalau menurut pendapat kami 5-10 USD per barel. Jadi, kalau sekarang kan USD 90 per barel,jadi kalau menurut kami memang untuk naik mendekati USD 100 per barel kayaknya bisa terjadi," pungkas Tutuka.


Menko Airlangga Beberkan Sederet Risiko Global Perang Iran Vs Israel

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Liputan6.com/Natasha K)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan, pihaknya terus memantau perkembangan dunia, salah satunya ketegangan Iran dan Israel di Timur Tengah.

“(Kami menggelar) rapat untuk mempersiapkan terkait dengan global shock akibat (ketegangan) Iran dan Israel dan tentu kami berharap terjadi deeskalasi,” ungkap Airlangga dalam pidato di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (16/4/2024).

Sebagai Kementerian yang bertanggung jawab di perekonomian, Menko Airlangga mengatakan, ia terus mempersiapakan berbagai hal mengingat situasi dunia yang masih dihantui berbagai guncangan geopolitik.

“Dunia cannot afford another war (tidak bisa menghadapi perang lain lagi), jadi pesan dengan berbagai pihak minta mengendalikan diri, terutama negara-negara yang bertikai di Timur Tengah,” ujarnya.

Adapun berbagai tantangan di dalam negeri, terutama terkait dengan subsidi, di mana Airlangga menekankan harus dilakukannya kalibrasi anggaran yang digunakan.

“Karena dalam sitausi seperti ini 3 hal menjadi isu utama. Pertama, interest rate global. Kedua harga minyak. Ketiga harga logsitik, dan tingkat suku bunga,” paparnya.

Kita melihat ekonomi dan inflasi Amerika Serikat sudah lebih baik, tidak serendah yang dipresdiksi sehingga banyak memperkirakan suku bunga AS akan higher for longer. Kita juga harus menjaga capital sehingga modal dapat terus dipertahankan,” tambahnya. 


Serang Israel, Iran Bakal Hadapi Risiko Pembatasan Perdagangan

Rudal Khaibar-buster diluncurkan dari lokasi yang dirahasiakan di Iran, 10 Februari 2022. Iran meluncurkan rudal baru dengan jangkauan yang akan memungkinkannya mencapai pangkalan AS di wilayah tersebut serta target di dalam musuh bebuyutannya, Israel. (IMA Media via AP)

Serangan rudal dan drone besar-besaran Iran ke wilayah Israel pada Sabtu, 13 April 2024 memberikan risiko terhadap ekonomi Iran. Iran terancam risiko pembatasan perdagangan dan diplomatik.

"Perkembangan ini menandai serangan langsung pertama terhadap Israel dari wilayah Iran, dan Teheran kini menghadapi risiko terkena pembatasan perdagangan dan diplomatik lebih lanjut," tulis CNBC.com dikutip Selasa (16/4/2024).

Serangan balasan itu juga membuat mata uang Iran, Rial, anjlok ke rekor terendah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar tidak resmi.

Menurut data dari situs pemantauan valuta asing Bonbast, nilai tukar berada pada 705.000 rial/USD di pasar terbuka sekitar pukul 10.30 waktu setempat pada Minggu, 14 April 2024.

Penurunan nilai Rial terjadi beberapa jam setelah Iran mengerahkan serangan drone dan rudal besar-besaran terhadap Israel, sebagai tanggapan atas dugaan serangan Israel yang menewaskan beberapa komandan penting Iran di Damaskus awal bulan ini. Adapun, Pemerintah Iran menetapkan nilai tukar resmi sebesar 42.000 rial/USD pada 2018.

Sebelumnya, mata uang Rial Iran sudah menghadapi tekanan dari inflasi yang sangat tinggi yang dipicu oleh sanksi AS yang diterapkan pada masa pemerintahan Donald Trump. Sanksi AS tersebut mengurangi penjualan beberapa ekspor utama Teheran – minyak mentah dan produk minyak.

Selain itu, Israel telah menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB mengenai serangan Sabtu, 13 April 2024, sementara Biden telah meminta untuk mengadakan pertemuan G7 pada Minggu.

  

Infografis Perbandingan Persenjataan Iran Vs Israel. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya