Berkaca Tragedi Kapal Sewol Tenggelam Tewaskan 304 Penumpang, Sekolah di Korea Selatan Ajari Renang Bertahan Hidup

Keluarga korban tragedi Kapal Sewol masih dihantui trauma dan rasa bersalah karena merasa tidak bisa menjaga anak mereka.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 17 Apr 2024, 19:40 WIB
Bangkai kapal sewol yang berhasil diangkat di pulau barat daya Jindo, Korea Selatan (26/3). Upaya pengangkatan telah berlangsung sejak Rabu kemarin. (HANDOUT / SOUTH KOREAN MARITIME MINISTRY / AFP)

Liputan6.com, Seoul - Sekolah-sekolah di Korea Selatan menawarkan kelas berenang kepada siswa sekolah guna membekali mereka dengan kemampuan untuk menyelamatkan diri di air. Hal ini dilakukan setelah salah satu bencana maritim terburuk di negara itu, yakni tragedi tenggelamnya Kapal Sewol yang menewaskan 304 orang.

Kursus berenang ini diwajibkan bagi siswa sekolah dasar.

Dilansir CNA, Rabu (17/4/2024), pada 16 April 2014, kapal feri Sewol terbalik dalam perjalanan dari Incheon menuju Pulau Jeju. Dari 476 orang di dalamnya, 304 orang meninggal, dan sebagian besar adalah pelajar yang sedang dalam perjalanan sekolah.

Kapal feri itu kelebihan muatan dan strukturnya tidak sehat ketika tenggelam.

Sepuluh tahun kemudian, tragedi Kapal Sewol masih segar dalam ingatan banyak warga Korea Selatan. Negara ini telah mengambil berbagai langkah untuk memastikan tragedi serupa tidak terulang kembali.

Di beberapa sekolah, kelas-kelas ini ditawarkan kepada semua siswanya.

Salah satu pelatih renang, Park Cheol-soon, mengatakan bencana tersebut telah menyoroti pentingnya pelajaran berenang untuk bertahan hidup.

"Untuk siswa kelas satu dan dua, kami fokus mengajari mereka mengenal air," kata Park.

"Kemudian untuk siswa kelas tiga dan empat, kami mengajari mereka cara bertahan hidup dan berlatih bertahan di air. Dan untuk siswa kelas lima dan enam yang lebih tua, mereka belajar lebih banyak tentang teknik bertahan hidup dan juga bagaimana membantu satu sama lain."

 


Para Siswa Mengaku Pelajaran Berenang Berguna

Sebuah gambar yang menggambarkan kapal feri Sewol dengan tulisan yang diterjemahkan sebagai "Saya harap kesalahan yang sama tidak akan terjadi lagi di lain waktu", di sebuah pelabuhan di Mokpo, Provinsi Jeolla Selatan, pada tanggal 16 April 2024. (ANTHONY WALLACE/AFP)

Para siswa yang mengikuti pelajaran tersebut mengaku bahwa apa yang diajarkan kepadanya akan berguna jika dirinya mengalami situasi darurat.

"Kalau-kalau ada situasi di mana saya dalam bahaya, saya rasa saya bisa menggunakan apa yang saya pelajari," kata salah satu siswa.

"Jika saya tenggelam, saya rasa saya tahu apa yang harus dilakukan sampai bantuan datang," kata yang lainnya.


Tragedi yang Mengejutkan Bangsa

Ketika itu, kapal feri Sewol tenggelam dalam pelayaran dari Incheon menuju pulau wisata Jeju. (ANTHONY WALLACE/AFP)

Sejak tragedi tersebut, perjalanan feri antara Incheon dan Pulau Jeju segera dihentikan dan membutuhkan waktu tujuh tahun sebelum operasi dilanjutkan lagi. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena layanan kembali dihentikan pada bulan April tahun lalu.

Lee Sung-no, pengelola toko serba ada di terminal pelabuhan Incheon, yakin bahwa warga Korea Selatan tidak bisa mengambil rute feri yang sama setelah tragedi tersebut, yang membuat warganya berkabung selama berbulan-bulan.

"Bencana tersebut menimbulkan trauma yang sangat besar. Masyarakat bahkan tidak mau mengucapkan kata ‘Jeju’ di sekitar sini," ujarnya.

"Setelah beberapa saat, bisnis (kapal feri) kembali berjalan, namun tidak berjalan dengan baik. Dan dari apa yang saya dengar, dalam waktu sekitar satu tahun, terjadi insiden kerusakan mesin, sering terjadi kerusakan, dan hampir tidak ada pelanggan, bisnisnya gulung tikar," lanjut dia.


Peringatan Tragedi Sewol

16 April 2014 menjadi catatan hitam dan lembaran kelam bagi sejarah transportasi Korea Selatan. (ANTHONY WALLACE/AFP)

Belum lama ini, keluarga korban menggelar peringatan 10 tahun tragedi Sewol. Mereka mengatakan pentingnya untuk menjaga kenangan para korban tetap hidup, dalam upaya menjadikan Korea Selatan negara yang lebih aman.

Park Jung-hwa, yang kehilangan putrinya yang berusia 17 tahun dalam bencana tersebut, mengatakan orang tua dari korban seperti dia merasa bersalah karena tidak dapat melindungi anak-anak mereka. Dia menambahkan bahwa banyaknya korban dalam insiden Halloween yang mematikan di Itaewon pada tahun 2022 memunculkan kembali rasa bersalah ini.

"Kami, para orang tua, benar-benar melakukan perjalanan ke mana-mana untuk mendapatkan tanda tangan (untuk petisi) guna meningkatkan kesadaran, memastikan anak-anak tidak menjadi korban lagi," kata Park.

"Kami pikir kami bisa membantu menjadikan negara ini lebih aman bagi anak-anak kami. Dan kemudian, tragedi Itaewon terjadi. Kami menyadari ini masih belum aman, jadi kami perlu bekerja lebih keras."

Infografis Tenggelamnya Kapal Sewol.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya