Ekonomi Indonesia Dinilai Masih Kuat Hadapi Ancaman Krisis di Timteng

Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie menegaskan, kondisi fundamental perekonomian Indonesia cukup kuat menghadapi ancaman dampak krisis di Timur Tengah (Timteng).

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 18 Apr 2024, 14:52 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie bersama Sekretaris Jenderal Kadin Internasional (International Chamber of Commerce/ICC), John Denton (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie menegaskan, kondisi fundamental perekonomian Indonesia cukup kuat menghadapi ancaman dampak krisis di Timur Tengah (Timteng). Menurut dia, kondisi ekonomi makro Indonesia memiliki daya tahan dalam menghadapi ancaman krisis, baik yang disebabkan eskalasi geo-politik maupun geo-ekonomi global.

“Kepada Sekjen International Chamber of Commerce (ICC), saya menyampaikan optimisme bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi tekanan dan ancaman krisis akibat meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, seperti tekanan yang dialami nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pekan ini,” kata Anindya saat bertemu Sekjen ICC John Denton, di Kantor Pusat ICC, Paris, Prancis, seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (18/4/2024).

Anindya Merinci, terdapat sejumlah indikator yang menunjukkan kekuatan ekonomi makro, antara lain Indonesia masih mampu mencatat pertumbuhan di atas 5 persen di saat ekonomi global hanya tumbuh rata-rata 2 persen.

“Kita (Indonesia) dan segelintir negara, seperti India dan Tiongkok, yang mampu tumbuh di atas 5 persen,” jelas dia.

Anindya menambahkan, indikator lainnya adalah laju inflasi yang terkendali, jauh di bawah negara maju anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) lainnya. Diketahui, laju inflasi Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret lalu sebesar 3,05 persen secara tahunan.

Meski begitu, soal penurunan nilai tukad rupiah yang menembus level psikologis Rp 16.000 per dolar AS, Anindya memastikan hal itu bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada April 2020, kurs rupiah juga pernah bernasib sama.

“Pelemahan nilai tukar tidak hanya dialami rupiah, tetapi juga mata uang regional lainnya. Ini disebabkan oleh ketidakpastikan kondisi geopolitik akibat memanasnya Timur Tengah. Belum lagi perang dagang yang meruncing antara AS dan Tiongkok,” ungkap dia.


Rupiah Diyakini Mampu Bangkit

Anindya menegaskan, pemerintah dan Bank Indonesia sudah memiliki pengalaman menghadapi situasi tekanan seperti yang terjadi saat ini. Karena itu, dia meyakini yang terpenting adalah komunikasi dengan dunia usaha bisa terus dijaga, agar dapat diambil kebijakan yang tepat sasaran.

Dia menambahkan, indikator rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga dalam rentang yang aman, yakni di bawah 40 persen. Padahal jika bandingkan dengan negara lain, tidak sedikit pasca-Covid rasio utangnya masih tinggi bahkan di atas 100 persen.

 


Transisi Kepemimpinan Indonesia Dinilai Berjalan Baik

Soal transisi kepemimpinan, Anindya meyakini kondisi demokrasi di Tanah Air juga mendukung situasi ekonomi tetap kondusif. Demokrasi di Indonesia dilihat dari proses transisi kepemimpinan nasional saat ini dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto, menyusul terselenggaranya pemilu pada Februari lalu.

“Sebanyak 82 persen penduduk ikut memilih, dan lebih dari setengahnya merupakan pemilih muda atau pemula. Ini penting karena setenga dari penduduk dunia tahun ini juga menghadapi pemilu,” jelas dia kepada Sekjen ICC John Denton.

Terkait hal tersebut, Anindya menyampaikan, Indonesia bukan saja pemimpin ekonomi di ASEAN, tetapi juga satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20. Lebih dari itu, saat ini Indonesia tengah dalam proses aksesi menjadi anggota OECD.

“Dalam konteks global, Indonesia merupakan Middle Force dari “Global South”,” dia menandasi.

Menanggapi hal tersebut, John Denton menyambut baik posisi Indonesia sebagai harapan untuk dapat menopang pertumbuhan ekonomi dunia. Selain itu, Indonesia juga diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang geopolitik dunia.

“Apalagi, posisi Indonesia di di Indo Pacific sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar,” ujar Sekjen ICC tersebut.

Diketahui, ICC adalah lembaga yang mempromosikan sistem perdagangan dan investasi internasional. ICC memiliki jaringan yang menjangkau lebih dari 170 negara, mencakup lebih dari 45 juta bisnis mulai dari UKM hingga perusahaan multinasional besar.

INFOGRAFIS: Deretan Prestasi Mendunia Artis Korea (Liputan6.com / Abdillah)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya