Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini menyoroti potensi penyalahgunaan aset kripto untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Presiden Jokowi menilai pola baru berbasis teknologi dalam TPPU, seperti cryptocurrency dan NFT perlu diwaspadai.
Berdasarkan data Crypto Crime Report menemukan ada indikasi pencucian uang melalui aset kripto ini sebesar USD 8,6 miliar pada 2022, ini setara dengan Rp139 triliun secara global.
Advertisement
Menanggapi Wakil Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO) serta CEO Tokocrypto, Yudhono Rawis, tak memungkiri aset kripto seringkali dikaitkan dengan TPPU.
Namun, menurut dia, teknologi blockchain yang mendasarinya justru memungkinkan transparansi yang lebih besar dan kemudahan dalam pelacakan transaksi yang mencurigakan. Penting untuk diingat teknologi apa pun, termasuk aset kripto, memiliki potensi penyalahgunaan.
"Blockchain menawarkan potensi besar untuk memajukan dunia keuangan dan ekonomi. Transparansi dan akuntabilitas yang dimilikinya dapat membantu memerangi kejahatan keuangan dan membangun sistem keuangan yang lebih adil," kata Yudhono, Sabtu (20/4/2024).
Kendati begitu, ia menegaskan perlu juga harus waspada terhadap potensi penyalahgunaannya. Dengan kolaborasi dan langkah-langkah yang tepat, dapat dipastikan blockchain dapat digunakan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak.
Yudhono pun mengapresiasi terbitnya Keppres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Satgas Anti Pencucian Uang.
Adapun terkait encegahan TPPU di industri Kripto Indonesia. Menurut dia, Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam memperketat regulasi dan pengawasan industri kripto.
Bappebti dan PPATK, sebagai lembaga pengawas, telah menerapkan berbagai kebijakan seperti proses Know Your Customer (KYC), Travel Rule, dan audit transaksi harian yang diwajibkan bagi semua pelaku usaha exchange kripto yang terdaftar. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meminimalkan kemungkinan penyalahgunaan aset kripto untuk TPPU.
"Kemajuan regulasi dan pengawasan industri kripto di Indonesia patut diapresiasi. Penerapan KYC yang ketat telah membantu mengidentifikasi dan mencegah transaksi mencurigakan. Travel Rule juga memungkinkan pelacakan transaksi antar exchange kripto, sehingga memudahkan penegakan hukum dalam kasus TPPU," pungkasnya.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Atasi Kasus Ilegal Kripto, China Revisi UU Pencucian Uang
Sebelumnya diberitakan, China akan segera menerapkan revisi terhadap Undang-Undang Anti Pencucian Uang (AML) yang sudah ketinggalan zaman, sebuah langkah yang dilihat oleh para ahli hukum sebagai cara untuk mengatasi meningkatnya risiko yang terkait dengan aset virtual.
Dilansir dari Yahoo Finance, Jumat (16/2/2024), rancangan amandemen terhadap undang-undang AML yang ada, disahkan pada 2006 dan mulai berlaku pada 2007, dibahas pada pertemuan Dewan Negara yang dipimpin oleh Perdana Menteri China Li Qiang, dan akan diserahkan untuk ditinjau oleh badan legislatif nasional.
Meskipun teks lengkap dari rancangan amandemen tersebut belum dipublikasikan, tujuan spesifik dari usulan revisi tersebut adalah untuk memerangi pencucian uang dengan aset virtual.
Firektur eksekutif di Pusat Studi Anti-Pencucian Uang China di Universitas Fudan di Shanghai, Yan Lixin mengatakan pencucian uang terkait dengan penggunaan aset virtual saat ini merupakan masalah yang paling mendesak dan paling perlu untuk ditangani pada tingkat hukum.
Inisiatif anti-pencucian uang terbaru dari Beijing mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengimbangi perkembangan Web3 seperti token yang tidak dapat dipertukarkan dan aset virtual lainnya.
China masih tetap berpegang teguh pada larangan kejam negara tersebut terhadap operasi mata uang kripto termasuk penambangan dan perdagangan kripto.
Advertisement
Aturan Baru Disahkan 2025
Usulan amandemen undang-undang AML, yang diperkirakan akan disahkan tahun depan, akan mengatasi jenis risiko pencucian uang yang baru. Pihak berwenang China telah meningkatkan pengawasan mereka terhadap kasus pencucian uang terkait kripto dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2022, polisi di Daerah Otonomi Mongolia Dalam bagian utara menangkap 63 orang karena pencucian uang USD 1,7 miliar atau setara Rp 26,6 triliun menggunakan mata uang kripto.
Atasi Risiko
Mitra di firma hukum King & Wood Mallesons di Hong Kong, Andrew Fei menuturkan revisi undang-undang AML di China untuk mengatasi risiko terkait aset virtual telah berkembang secara signifikan.
“Undang-undang AML di China belum mengalami revisi besar sejak pertama kali diberlakukan lebih dari 17 tahun lalu. Dunia kini berada di tempat yang sangat berbeda. Misalnya, bitcoin bahkan belum ditemukan ketika undang-undang AML Tiongkok pertama kali berlaku,” jelas Fei.
Satuan Tugas Aksi Keuangan (FATF), sebuah badan pengawas pencucian uang dan pendanaan teroris antar pemerintah yang berbasis di Paris, telah menetapkan rekomendasi rinci untuk mengatasi aset virtual dalam usulan amandemen undang-undang AML.
Jaksa Venezuela Ungkap Dugaan Pencucian Uang, Beli Minyak Pakai Kripto
Sebelumnya, Jaksa Agung Venezuela, Tarek William Saab, pada 9 April mengumumkan penahanan gelombang kedua terkait skema penggelapan uang, yang melibatkan penjualan minyak yang dibayar tunai dan mata uang kripto, dan pencucian uang lainnya dengan menggunakan metode berbeda.
Melansir Bitcoin.com, Sabtu (13/4/2024) dugaan skema tersebut dilakukan bersama oleh mantan pemimpin perusahaan minyak milik pemerintah Venezuela PDVSA, Tareck El Aissami, dan mantan kepala pengawas mata uang kripto Sunacrip Joselit Ramirez.
Keduanya diduga terlibat penugasan dan likuidasi minyak mentah dalam jumlah yang tidak ditentukan menggunakan transaksi digital dan uang tunai.
Saab mengutip sebuah informan yang mengungkapkan bahwa El Aissami dan Ramirez menggunakan pemberlakuan sanksi terhadap pemerintah Venezuela sebagai dalih untuk menghindari prosedur standar.
Para informan menyatakan bahwa, suatu kali, uang senilai USD 35 juta diterima di rekening bank sebuah perusahaan, dan kemudian sebagian dari uang ini diubah menjadi aset kripto.
Meskipun Saab tidak membagikan angka-angka yang terkait dengan dugaan tersebut, laporan sebelumnya menunjukkan bahwa angka kerugian mencapai sekitar USD 20 miliar atau setara Rp. 322,4 triliun, karena penjualan tidak terdaftar yang kemudian dicuci menggunakan pembelian mata uang kripto dan metode lainnya.
Keterlibatan aset mata uang kripto, menurut Saab, menjadi salah satu faktor yang membuat kasus ini sulit diselidiki.
"Orang-orang ini menggunakan sistem keuangan paling modern, yaitu mata uang digital. Teknologi keuangan digital digunakan untuk menutupi dan menghindari tanggung jawab," bebernya.
Advertisement