Liputan6.com, Yogyakarta - Masyarakat Jawa memiliki tradisi trobosan yang menjadi salah satu rangkaian upacara kematian. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk jenazah.
Mengutip dari berbagai sumber, brobosan berarti menerobos. Sesuai namanya, tradisi ini dilakukan degan berjalan menerobos secara bergantian sebanyak tiga kali di bawah keranda atau peti jenazah yang sedang diangkat tinggi-tinggi.
Proses menerobos itu dimulai dari sebelah kanan, ke sebelah kiri, ke depan, hingga kembali ke sebelah kanan. Hal ini juga dilakukan agar keluarga yang ditinggalkan dapat melupakan kesedihan yang mendalam. Seluruh anggota keluarga akan berkumpul dan melakukan ritual ini sebagai perpisahan terakhir sebelum jenazah dimakamkan.
Baca Juga
Advertisement
Selain sebagai penghormatan terakhir untuk jenazah, tradisi ini juga dilakukan untuk leluhur yang sudah meninggal lebih dulu. Masyarakat Jawa percaya, jika ritual ini dilakukan maka akan mendapat berkah atau tuah dari orang yang meninggal.
Biasanya, upacara brobosan dilakukan di halaman depan rumah orang yang meninggal. Ritual ini dilakukan sesaat sebelum jenazah diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir.
Konon, jika seseorang yang meninggal memiliki umur panjang, maka umur panjang tersebut akan memengaruhi umur keluarga dan saudaranya. Kemudian jika seseorang yang meninggal berilmu tinggi, maka ilmunya akan menurun kepada orang yang ikut melakukan tradisi brobosan.
Ritual brobosan hanya dilakukan pada jenazah orang tua yang diluhurkan. Brobosan tidak dilakukan pada jenazah anak-anak atau remaja. Selain itu, jika yang meninggal adalah jenazah perempuan, maka yang boleh berjalan menerobos hanya orang terdekatnya saja.
Hingga kini, tradisi brobosan masih dilakukan oleh beberapa masyarakat Jawa. Tradisi ini terus dilestarikan dan dijaga sebagai tradisi lokal.
(Resla)