OPINI: Saling Serang Israel-Iran Saat Ini Hanya "Appetizer", "Main Course" Menunggu Hasil Pilpres AS 2024

Setelah terlibat dalam proxy war selama lebih dari 35 tahun, Iran dan Israel mulai melakukan perang terbuka.

Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat. (Dok. Pribadi)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah terlibat dalam proxy war selama lebih dari 35 tahun, Iran dan Israel mulai melakukan perang terbuka. Pada 13 April lalu, Iran menyerang Israel dengan 300 drone dan rudal yang menyasar pangkalan militer negara Yahudi ini.

Hampir semua drone dan rudal Iran tersebut berhasil dirontokkan oleh Israel dengan dibantu oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Yordania. Iran berdalih serangan tersebut merupakan aksi pembalasan atas tindakan Israel menyerang komplek konsulat Iran di Syiria yang menewaskan dua jendral dan lima perwira militer Iran.

Konfrontasi langsung Iran dan Israel ini menjungkirbalikkan keyakinan banyak pengamat bahwa hal ini mustahil akan terjadi. Dalam wawancaranya dengan Deutsche Welle belum lama ini, pakar hubungan Iran-Israel dari Tel Aviv University, Abed Kanaaneh, misalnya, mengatakan Iran tidak akan pernah mengarahkan senjata langsung ke Israel karena hal ini akan memicu perang regional atau bahkan lebih besar. 

Serangan Iran ke Wilayah Israel Didesain untuk Gagal

Keputusan Iran melancarkan serangan drone dan rudal ke Israel secara langsung dipertanyakan sejumlah pihak. Terutama karena jarak terdekat dari Iran ke Israel mencapai lebih dari 1.700 km, melebihi jarak dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa yang mencapai 1.316 km. Mantan foreign editor dan chief diplomatic correspondent Newsweek, Michael Hirsh, dalam komentarnya di Politico bahkan mensinyalir serangan Iran tersebut memang sengaja didesain untuk gagal.

Serangan drone dan rudal yang dilakukan militer Iran sepertinya lebih untuk merespons seruan pimpinan tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, agar Israel dihukum atas serangan terhadap konsulat Iran di Suriah, dan sengaja didesain agar tidak menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang berarti.

Menurut Hirsh, yang mengutip Ali Vaez dari The International Crisis Group, dengan serangan drone dan rudal tersebut, Iran menginginkan sesuatu yang spektakuler tapi tidak fatal. Jika serius, Iran tentu akan menghujani Israel dengan proyektil, drone dan rudal yang jauh lebih banyak sehingga sistem pertahanan udara Israel tidak mampu mengatasinya. Atau Iran bisa saja melontarkan rudal hipersonik baru yang jauh lebih canggih.

Hal ini juga diamini kolumnis The Washington Post sekaligus senior fellow di The Council on Foreign Relations, Max Booth. Menurutnya serangan Iran tersebut hanyalah tindakan pamer kekuatan untuk "membuat pernyataaan, bukan untuk menimbulkan korban massal." Jika Iran serius, lanjut Boot, Iran bisa menggunakan tangan Hezbollah di Lebanon yang berbatasan dengan Israel untuk menghujani Israel dengan 150.000 rudal yang dimilikinya saat ini.

 


Respons Israel

Yang menjadi masalah, Israel menanggapi serangan Iran yang terkesan ‘asal-asalan’ tersebut secara serius. Juru bicara pemerintah Israel, Avi Hayman, dalam wawancaranya dengan Mika Brzezinski di MSNBC mengatakan bahwa Iran tidak bisa menggunakan dalih serangan balasan karena yang Israel serang di Damaskus bukan kedutaan besar, konsulat atau misi diplomatik, melainkan pusat kegiatan terorisme Iran di seluruh dunia, termasuk yang mendanai Hamas dan proxy Iran di Lebanon, Suriah dan Yaman yang kerap menyerang Israel.

Hayman menambahkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan rudal dan drone tersebut akan menimbulkan dampak yang sangat besar (kastropik) jika tidak berhasil dilumpuhkan.

Jadi ketika misi Iran ke PBB dalam cuitannya di X mengatakan, "the matter can be deemed concluded," seorang pejabat senior Israel yang diwawancari editor dan kolumnis The Washington Post, David Ignatius justru menyerukan: "The story is not over." Dijelaskan, jika Iran memborbardir Israel dengan serangan rudal masif dengan dalih serangan balasan lalu Israel hanya tinggal diam, maka hal tersebut akan memperkuat narasi balas dendam tersebut.

Seorang pejabat Israel lainnya mengatakan kepada The Washington Post bahwa semua orang di pemerintahan Israel sepakat untuk merespon tindakan Iran. Namun mereka belum memutuskan tindakan yang akan diambil dan waktu pelaksanaannya. Tapi tindakan yang kemungkinan besar akan dilakukan Israel dalam waktu dekat adalah aksi militer yang tidak menimbulkan korban jiwa, seperti serangan siber atau penyerangan terhadap fasilitas-fasilitas milik Iran.

Serangan drone dan rudal yang dilakukan Israel di Isfahan pada hari Jumat menjadi jawaban dari teka-teki aksi balasan Israel terhadap Iran. Seperti yang diperkirakan, serangan Israel tersebut tidak menimbulkan kerusakan berarti. Juga tidak ada fasilitas nuklir Iran yang menjadi sasaran serangan.

Tapi melihat aksi militer besar-besaran Israel di Gaza yang menewaskan lebih dari 30.000 warga Palestina, setelah Hamas membunuh 1.200 warga Israel dan menculik 250 warga lainnya, tindakan Israel sepertinya tidak akan berhenti disitu. Salah satunya karena instalasi nuklir Iran yang dicurigai sebagai tempat pengembangan senjata nuklir belum tersentuh, karena lokasinya yang tersembunyi di dalam bunker dan sulit ditembus oleh rudal atau bom konvensional yang dimiliki Israel saat ini.

Untuk tindakan "mission impossible" tersebut Israel akan membutuhkan bom semacam GBU-57 yang dikenal dengan nama "Massive Ordnance Penetrator". Bom yang bisa menembus bunker terkuat inidibawa dengan pesawat tempur sekaliber B-52 yang memiliki kemampuan sangat tinggi, bisa membawa muatan bom sangat besar dan menempuh jarak yang sangat jauh. Sayangnya hanya AS yang memiliki kedua peralatan super ampuh tersebut dan presiden Biden sudah terang-terangan mengatakan kepada Netanyahu bahwa pihaknya tidak akan membantu Israel melakukan serangan balasan terhadap Iran.


Perubahan Rezim di AS Akan Menjadi Penentu

Hal paling realistis bagi Israel untuk melakukan aksi militer yang lebih besar terhadap Iran, yakni menghancurkan instalasi pengembangan senjata nuklir Iran—seperti yang dilakukan Israel ketika mengebom reaktor nuklir Irak pada 1981 dan reaktor nuklir Suriah pada 2007 yang dicurigai digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir—adalah menunggu perubahan rezim di AS.

Seperti diketahui, pada 5 November 2024 AS akan menggelar pilpres yang akan mempertarungkan Joe Biden sebagai capres petahana dari Partai Demokrat dengan Donald Trump, penantangnya dari Partai Republik. Meski sama-sama mengklaim Israel adalah BFF (best friend forever) AS dan menggelontorkan miliaran dolar bantuan setiap tahun, Biden dan Trump memiliki pendekatan yang berbeda terhadap konflik Israel-Iran.

Sebagai mantan wakil presiden Barack Obama selama dua periode, Biden ingin melanjutkan kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang diprakarasi AS dan negara besar lain pada 2015 sebagai bentuk upaya mencegah Iran membangun kemampuan senjata nuklir, dengan kompensasi berupa pengurangan sanksi. Biden juga enggan terlibat dalam aksi militer Israel di Timur Tengah termasuk perseteruan dengan Iran dan akhir-akhir ini mengecam aksi militer yang berlebihan di Gaza.

Sebaliknya Trump yang kerap sesumbar "No President has done more for Israel than I have," terkesan selalu mengikuti kemauan Israel.

Pada 2018, Trump memerintahkan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, karena Israel sangat menentang kebijakan ini. Pada awal 2020, Trump memerintahkan serangan drone AS yang menewaskan Jend. Qassem Soleimani, Kepala Pasukan Elit Quds Iran. Tindakan pro-Israel Trump yang paling dramatis adalah normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab yang mencakup Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko melalui kesepakatan The Abraham Accords. Menurut Lembaga think thank George C. Marshall European Center for Security Studies, The Abraham Accords secara geopolitik “memperkuat aliansi informal anti-Iran, meningkatkan tekanan terhadap Teheran dan mempererat ikatan AS dengan sekutu-sekutu pentingnya di Timur Tengah.”

Poling publik di Israel memang menunjukkan harapan besar warga Israel agar Trump kembali terpilih menjadi presiden.  Dilansir oleh The Times of Israel pada 12 Maret lalu, poling yang dipublikasikan stasiun TV Israel, Channel 12, sebanyak 44% warga Israel menginginkan Trump kembali menjadi presiden dan hanya 30% yang mengharapkan Biden terpilih kembali. Untuk responden dari pendukung partai koalisi pemerintahan Netanyahu, dukungan terhadap kembalinya Trump ke Gedung Putih mencapai 72% dan hanya 8% yang menghendaki Biden terpilih lagi.

Harapan Netanyahu dan mayoritas warga Israel akan berkuasanya kembali Trump mungkin bisa menjadi kenyataan. Menurut poling rata-rata RealClearPolitics, jika pilpres AS digelar hari ini, Trump akan unggul terhadap Biden sebesar +0,4% secara nasional dan antara +1% hingga +4.5% di enam swing states terpenting. Berdasarkan agregat poling RealClearPolitics, Trump akan menang dengan 293 suara elektoral vs Biden 245 suara elektoral.

Jadi, dengan adanya keterkaitan antara konflik Israel-Iran dan dinamika politik dalam negeri AS, konfrontasi militer terbuka Iran-Israel sepertinya tidak akan berakhir dengan aksi saling serang rudal dan drone yang saat ini terjadi.

Hasil pilpres AS pada 5 November nanti akan menjadi penentu apakah konflik militer antara dua kekuatan besar di Timur Tengah ini akan mereda atau akan semakin membara.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya