Liputan6.com, Gaza - Korban tewas di Gaza akibat perang Israel Vs Hamas mencapai 34.000 jiwa hingga Sabtu (20/4/2024), dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.
Menurut otoritas kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, hampir 77.000 orang mengalami luka-luka. Angka tersebut tidak termasuk puluhan ribu orang tewas yang diyakini terkubur di reruntuhan rumah, toko, tempat berlindung dan bangunan lainnya yang dibom.
Advertisement
Tonggak sejarah suram terbaru ini terjadi ketika harapan akan gencatan senjata semakin memudar, dan perhatian global telah beralih pada serangan rudal dan drone yang berbahaya antara Iran dan Israel.
Dilansir The Guardian, Minggu (21/4), dengan terhentinya perundingan, Israel telah mengisyaratkan rencananya untuk melanjutkan operasi darat di Rafah selatan, satu-satunya wilayah Gaza yang belum mengirim pasukan. Serangan udara terus berlanjut di sana, dan serangan pada Jumat malam menghantam sebuah rumah di lingkungan barat Tel al-Sultan, menewaskan sembilan orang.
Sekutu internasional Israel dan organisasi kemanusiaan yang bekerja di Gaza telah memperingatkan bahwa serangan darat skala penuh di kota yang dipenuhi pengungsi dari utara Gaza akan menimbulkan dampak yang menghancurkan.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyebut bahwa Israel tidak boleh memasuki Rafah tanpa rencana yang kredibel untuk melindungi warga sipil, dan para menteri luar negeri dari negara-negara G7 mengatakan pada hari Jumat bahwa mereka menentang operasi militer skala penuh dengan alasan tindakan tersebut akan menimbulkan bencana besar bagi orang-orang yang berlindung di sana.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan empat brigade pejuang Hamas bersembunyi di sana dan harus diatasi. Pemerintahannya telah berjanji untuk “menghancurkan” kelompok tersebut, setelah serangan lintas perbatasan pada tanggal 7 Oktober ketika militan membunuh sekitar 1.200 orang di Israel dan menyandera 250 orang.
Peran Qatar sebagai Mediator
Qatar, negara Teluk yang menjadi perantara utama dalam pembicaraan antara Hamas dan Israel, sedang mempertimbangkan kembali perannya sebagai mediator karena pekerjaannya telah menjadi sasaran “eksploitasi politik”. Hal ini diungkap oleh perdana menterinya, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, pekan lalu.
Negara ini sering dikritik karena hubungannya dengan Hamas dan mengizinkan para pemimpin kelompok tersebut untuk mendirikan basis di Doha, meskipun hal itu dilakukan satu dekade lalu atas permintaan AS.
Wall Street Journal melaporkan bahwa kepemimpinan Hamas sekarang sedang mempertimbangkan untuk pindah ke tempat lain. Hal ini kemungkinan akan semakin mengganggu perundingan mengenai kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran di Gaza dan membebaskan sandera, meskipun penderitaan di wilayah kantong tersebut semakin dalam dari hari ke hari.
Advertisement
Krisis Bantuan Kemanusiaan
Kelaparan akan segera terjadi, yang diperparah dengan kekurangan tempat berlindung, obat-obatan dan air bersih. Hampir semua orang di wilayah kantong tersebut kini bergantung pada sumbangan makanan, setelah lebih dari enam bulan perang menghancurkan rumah-rumah dan menghancurkan perekonomian Gaza.
Pengiriman bantuan harian juga masih belum mencapai setengah dari jumlah minimum yang menurut PBB diperlukan untuk menjaga lebih dari dua juta orang tetap hidup.
Pihak berwenang Israel, AS, dan organisasi-organisasi kemanusiaan semuanya mengatakan bahwa pengiriman bantuan harus kembali ke tingkat sebelum perang, yakni sekitar 500 truk penuh bantuan setiap hari. Pada hari Jumat, hanya 250 truk yang memasuki wilayah kantong tersebut, dan menurut data PBB, jumlah tersebut merupakan yang tertinggi pada bulan April.
Tekanan Internasional Terkait Bantuan
Pada bulan Maret, terdapat peningkatan tekanan internasional terhadap Israel untuk mengirimkan lebih banyak makanan dan pasokan lainnya ke Gaza, termasuk dari Biden yang tampak frustrasi.
Namun ketika serangan rudal Israel terhadap kompleks diplomatik Iran di Damaskus awal bulan ini memicu siklus eskalasi yang berbahaya dengan Iran, fokus diplomatik tiba-tiba beralih ke perlindungan Israel dan upaya menghindari penyebaran konflik.
Serangkaian langkah Israel yang dijanjikan untuk memperlancar aliran bantuan terhenti, termasuk akses langsung ke Gaza utara dan sistem baru bagi militer untuk berkoordinasi dengan kelompok kemanusiaan guna memastikan keselamatan mereka, setelah tujuh pekerja World Central Kitchen tewas dalam serangan udara.
Beberapa truk telah diizinkan masuk ke Gaza utara melalui penyeberangan baru, namun truk tersebut belum dibuka untuk PBB, yang menyediakan sebagian besar bantuan makanan di sana.
Advertisement