Liputan6.com, Jakarta Seperti banyak orang bilang, hasil tidak akan mengkhianati proses, demikian pula yang terjadi dengan Retno Marsudi. Puluhan tahun menjadi diplomat dan bertugas di banyak negara dengan penilaian positif, membuat publik mengamini ketika Retno diserahi tanggung jawab sebagai Menteri Luar Negeri RI di penghujung 2014.
Lahir di Semarang, Jawa Tengah, 27 November 1962, wanita bernama lengkap Retno Lestari Priansari Marsudi ini sejak awal sudah memasang target menjadi diplomat. Lihat saja, lulus dari SMA Negeri 3 Semarang, Retno masuk ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan meraih gelar sarjana S-1 Ilmu Hubungan Internasional pada 1985.
Advertisement
Yang harus dicatat, pada tahun terakhir di UGM, Retno lolos seleksi beasiswa dari Kementerian Luar Negeri. Dia pun mengambil beberapa program studi, yaitu Undang-Undang Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Den Haag dan Studi Hak Asasi Manusia di Universitas Oslo.
Usai menamatkan studinya, karier Retno sebagai diplomat pun dimulai. Tak tanggung-tanggung, dia langsung ditugaskan ke Australia untuk membicarakan isu yang memojokkan Indonesia karena pembantaian warga Timor Leste di Santa Cruz, Dili. Jabatan sebagai Third Secretary Penerangan pada KBRI Canberra dipegang Retno selama periode 1990–1994.
Retno kemudian berturut-turut menjabat sebagai Sekretaris Bidang Ekonomi pada KBRI Den Haag (1997–2001), Deputi Direktur Kerja Sama Ekonomi Multilateral (2001), Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika dan Eropa (2002–2003), dan Direktur Eropa Barat (2003–2005).
Nama Retno yang makin menonjol sebagai diplomat menjadikan dia diberi tugas sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Eslandia (2005-2008). Ketika itu dia masih berusia 43 tahun.
Selanjutnya Retno menempati posisi Direktur Jenderal Amerika dan Eropa pada Kementerian Luar Negeri RI yang bertanggung jawab mengawasi hubungan Indonesia dengan 82 negara di Eropa dan Amerika (2008–2012).
Setelah itu, Retno kembali ke tempat dulu dia menuntut ilmu dan bertugas di Den Haag setelah dipilih sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda (2012–2014). Selain itu, dia juga pernah memimpin berbagai negosiasi multilateral dan konsultasi bilateral dengan Uni Eropa, ASEM (Asia-Europe Meeting) dan FEALAC (Forum for East Asia-Latin America Cooperation).
Puncaknya adalah ketika Presiden Joko Widodo melantik Retno sebagai Menteri Luar Negeri RI pada 27 Oktober 2014. Perempuan pertama yang menjadi Menlu RI ini kemudian kembali dipercaya dan dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Luar Negeri untuk Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019.
Sejak menjabat sebagai Menlu RI, tugas berat Indonesia di kancah internasional menjadi tanggung jawab diplomat asal Semarang ini. Selama hampir 10 tahun mengemban jabatan itu, Retno dianggap mampu memainkan peran Indonesia di pecaturan dunia. Ditambah lagi dia adalah diplomat karier yang selama puluhan tahun sudah berkecimpung di Kemenlu RI.
Sejumlah penghargaan dari dunia internasional membuktikan bahwa Presiden Jokowi tak salah menunjuk Retno menjadi salah seorang pembantunya. Penghargaan The Order of Merit (Grand Officer–the Second Highest Decoration) didapat dari Pemerintah Norwegia pada Desember 2011.
Kemudian ada The Ridder Grootkruis di de Orde van Oranje-Nassau dari Pemerintah Belanda pada 12 Januari 2015. Penghargaan Agen Perubahan dari PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) pada 21 September 2017. Penghargaan "El Sol del Peru" (Matahari Peru) dari Pemerintah Peru pada 24 Mei 2018 dan Malalai Medal of Honor dari President Ashraf Ghani of Afghanistan pada Maret 2020.
Retno menikah dengan seorang arsitek bernama Agus Marsudi dan dikaruniai dua orang anak yaitu Dyota Marsudi dan Bagas Marsudi.
Lantas, bagaimana Retno menggambarkan perjalanan pengabdian dia selama menjadi diplomat ulung di Kemenlu RI?
Berikut petikan wawancara Retno Marsudi dengan Teddy Tri Setio Berty dalam program Bincang Liputan6.
Prioritas Politik Luar Negeri Indonesia
Bagaimana Ibu menceritakan serta merangkum perjalanan diplomasi Indonesia selama hampir 10 tahun terakhir?
Agak susah juga ya merangkum apa yang kita kerjakan hampir 10 tahun dalam waktu hitungan beberapa menit. Tapi saya ingin mencoba untuk menggambarkannya. Pada saat kita berangkat di 2014, kita sampaikan bahwa prioritas politik luar negeri Indonesia itu 4+1.
Empat itu pertama adalah diplomasi ekonomi. Kemudian yang kedua adalah pelindungan warga negara Indonesia. Yang ketiga adalah diplomasi kedaulatan, bagaimana kita mempertahankan kedaulatan kita.
Kemudian yang keempat, yang merupakan juga amanat dari konstitusi adalah kontribusi kita kepada perdamaian dunia dan yang plus satunya itu lebih internal, dalam arti kita dari waktu ke waktu berusaha untuk memperkokoh infrastruktur diplomasi.
Karena, sekali lagi kita tidak akan dapat berkinerja dengan baik kalau infrastruktur diplomasinya tidak kita perkuat terus-menerus. Jadi kayak misalnya orang mau dagang cepat tapi jalannya rusak, kan enggak bisa. Jadi infrastruktur itu penting sekali.
Prioritas 4+1 itu bisa dijabarkan lagi, Bu?
Saya ingin sedikit menggambarkan 4+1 dalam waktu yang singkat. Intinya begini, secara keseluruhan memang ada sebuah perubahan mindset dari para diplomat Indonesia. Perubahan mindset yang pertama adalah kita sekarang bekerja semuanya dengan orientasi result.
Jadi kita tahu target kita apa, terutama di bidang ekonomi, di situlah kita mencoba untuk mendukung. Kita tidak ada yang langsung, tetapi ada yang dalam bentuk dukungan. Tetapi intinya adalah bagaimana ekonomi Indonesia bisa lebih maju dan kita menggunakan tools diplomasi untuk mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Jadi diplomasi Indonesia sangat kuat di dalam waktu hampir 10 tahun ini.
Yang kedua adalah mempertebal keberpihakan kita untuk isu pelindungan warga negara Indonesia, karena dari waktu ke waktu jumlah warga negara Indonesia yang ada di luar negeri untuk bekerja, untuk menetap dan sebagainya, lebih besar lagi, kasus yang terjadi juga lebih banyak.
TPPO, perdagangan manusia semakin marak, termasuk yang online, sehingga saya patut bersyukur dan bangga masalah pelindungan WNI ini sudah dimulai sejak dari Pak Hassan, Menlu Hassan Wirajuda. Sekarang kita pertebal, kita perkuat, dan itu sudah menjadi bagian dari DNA setiap diplomat Indonesia.
Jadi kalau kita bicara dengan diplomat Indonesia, saya sudah bisa pastikan bahwa di dalam tubuhnya itu sudah muncul DNA untuk pelindungan.
Sejauh mana Kemenlu memberikan pelindungan bagai WNI yang ada di luar negeri?
Di pelindungan ini besar sekali. Saya kasih contoh ya, dalam waktu hampir 10 tahun terakhir kasus yang kita selesaikan itu 224.141. Itu besar sekali. Dan kalau saya bagi per tahunnya, per tahunnya itu 24.904 kasus. Kalau saya bagi per bulan, dalam satu bulan itu kita menyelesaikan 2.075 kasus, which is itu banyak sekali. Dan sekarang tambah marak dengan adanya online scam.
Tadi salah satu contohnya adalah jumlah kasus yang kita selesaikan plus misalnya kita juga berhasil mengembalikan hak-hak keuangan para WNI kita yang misalnya pekerja migran kita enggak dibayar dan sebagainya. Jadi dalam 9 tahun terakhir ini kita sudah dapat mengembalikan lebih dari Rp1 triliun hak-hak keuangan para pekerja migran kita.
Mengenai diplomasi kedaulatan, banyak sekali negosiasi perbatasan yang sudah dapat kita lakukan. Yang keempat, mengenai kontribusi kita kepada perdamaian dunia. Banyak banget yang dapat saya ceritakan. Misalnya, bagaimana keaktifan diplomasi kita untuk membela Palestina. Bagaimana kita berkontribusi bagi para perempuan di Afganistan, belum lagi G20, belum lagi ASEAN, dan sebaginya dan sebagainya. Jadi itu adalah gambaran yang singkat mengenai kinerja kita dalam waktu hampir 10 tahun ini.
Bagaimana Ibu menjalankan politik luar negeri Indonesia melalui kebijakan yang dikeluarkan?
Jadi politik luar negeri kita itu kental dengan dua hal. Yang pertama adalah isu, jadi politik luar negeri yang kental dengan isu perdamaian, diplomasi perdamaian. Yang kedua kental dengan isu kemanusiaan atau diplomasi kemanusiaan. Jadi kalau kita lihat dari semua isu tadi, itu pasti berujung pada dua, perdamaian dan kemanusiaan.
Dan dalam pelaksanaan politik luar negeri, walaupun itu sifatnya tidak statis ya, semuanya tergantung pada keadaan sehingga kita harus adaptif. Kita juga harus dapat menyesuaikan dengan cepat, tetapi ada prinsip dasar yang tidak boleh berubah, yaitu adalah bahwa kita selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan nilai-nilai. Nilai-nilai termasuk hukum internasional.
Advertisement
Tidak Tergiur Tawaran Normalisasi dengan Israel
Bagaimana dengan diplomasi RI di negara konflik, apakah masih konsisten?
Bisa dibayangkan kalau diplomasi kita tidak konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip, pasti kita akan terombang-ambing enggak karuan. Karena pasti hal-hal yang bersifat transaksional jangka pendek itu sangat menggiurkan.
Nah, kalau kita tergiur pada hal yang sifatnya sangat jangka pendek, maka yang dapat saya pastikan adalah kepentingan jauh kita, kepentingan long term kita, yang betul-betul merupakan kepentingan bangsa pasti akan dikorbankan.
Saya ingin kasih contoh misalnya mengenai masalah Palestina. Indonesia ini merupakan satu dari sejumlah negara yang terus konsisten untuk membantu perjuangan bangsa Palestina. Tadi saya bicara mengenai diplomasi perdamaian, diplomasi kemanusiaan. Dua hal ini juga berlaku untuk Palestina.
Kita ingin situasi Palestina yang semakin hari semakin buruk itu kembali dirembukkan supaya perdamaian tercipta dan end goal-nya adalah kemerdekaan. Dan kemerdekaan Palestina ini juga masuk di dalam Undang-Undang Dasar kita. Jadi membela perjuangan bangsa Palestina ini merupakan amanah dari konstitusi.
Kemudian diplomasi kemanusiaannya dari waktu ke waktu kita berikan bantuan kemanusiaan dan lain-lain. Dengan demikian, kalau kita tadi saya bicara, kalau kita tergiur pada tawaran-tawaran jangka pendek, beberapa negara melakukan itu, terus terang. Karena dengan adanya tawaran jangka pendek transaksional, nanti kalau kamu menormalisasi hubungan dengan Israel, maka kamu akan diberi 1, 2, 3, dan sebagainya.
Kalau kita tergiur pada hal yang ini saja, maka semua bangunan prinsip-prinsip kita, dignity kita sebagai bangsa dan sebagainya itu akan rontok semuanya. Untungnya Indonesia enggak melakukan itu. Kita konsisten berada di garis paling depan untuk membela bangsa Palestina.
Dan untungnya lagi, sikap pemerintah ini didukung penuh oleh masyarakat Indonesia. Jadi bukan hanya perjuangan pemerintah, tetapi ini sudah merupakan perjuangan bangsa Indonesia. Itu hanya sebagai salah satu contohnya saja.
Ada opini publik yang menganggap lebih penting mengurus masalah domestik daripada memikirkan urusan negara lain, bagaimana Ibu menanggapi opini seperti itu?
Saya selalu sampaikan begini, pelaksanaan politik luar negeri kita itu ada dua ujungnya. Yang pertama adalah memperjuangkan kepentingan nasional, yang kedua adalah berkontribusi bagi perdamaian dunia dan ini merupakan amanah dari konstitusi. Jadi sekali lagi ini amanah dari konstitusi.
Nah, memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia itu hal utama. Jadi dalam semua pelaksanaan diplomasi kita, ya memang sebagian besar ujung-ujungnya adalah memperjuangkan kepentingan kita. Jadi kalau misalnya ada yang mengatakan, Bu urusin dulu dong urusan Indonesia. Saya selalu mengatakan, I do and I will always do that. Karena itu adalah amanah utama kita.
Politik luar negeri, diplomasi hanya merupakan alat untuk memperjuangkan kepentingan nasional kita pada saat vis-à-vis atau berhadapan dengan negara lain. Jadi jangan khawatir kepentingan nasional kita akan terlalaikan dengan kita berkontribusi. Tetapi jangan pernah lupa juga bahwa masalah kontribusi ini amanah dari konstitusi kita.
Bisa dibayangkan, saya selalu mencoba untuk menggambarkannya simple. Misalnya di suatu kampung atau gang. Bisa dibayangkan enggak kalau setiap rumah hanya memikirkan rumahnya sendiri? Jadi misalnya ada jalan rusak. Enggak, pokoknya rumah saya, depan rumah saya, jalan saya masih bagus. Perkara jalan rusak di tempat orang lain bodo amat.
Misalnya kemudian ada wabah di tetangga. Dia cuma nutup pintunya saja, tapi tidak berusaha untuk membantu tetangga tersebut mengatasi penyakitnya. Apakah kampung itu, yang kemudian dalam konteks ini adalah dunia, apakah kampung itu akan menjadi kampung yang nyaman, aman bagi penduduknya? Kan enggak.
Jadi, sekali lagi, memperjuangkan kepentingan nasional kita penting, sangat penting, tetapi berkontribusi tidak kalah pentingnya. Karena kita unfortunately planet kita cuma satu. Kita share planet, maka kita harus saling tolong-menolong.
Peran Diplomat Perempuan Semakin Meningkat
Ibu kerap menyuarakan isu perempuan di berbagai forum, kenapa isu perempuan ini menjadi bagian penting dari diplomasi Indonesia?
Kenapa isu perempuan itu penting? Kalau kita lihat dari sisi demografi, jumlah perempuan, penduduk perempuan dunia berbanding dengan jumlah penduduk laki-laki, kita itu sudah hampir sama, dalam artian kita ambil bulatannya saja. 50 persen penduduk dunia itu adalah perempuan.
Jadi dapat dibayangkan apabila perempuan ini tidak diberdayakan, maka apa yang terjadi dengan dunia? Jadi ini merupakan sebuah konsekuensi logis juga kenapa kita perlu memberdayakan perempuan. Karena kita ingin dunia yang lebih baik bagi semua. Ada isu inklusivitas di situ, ada isu gender equality di situ, tetapi intinya konsekuensi logika mengatakan bahwa kalau kamu ingin mengubah dunia, ya bantulah perempuan tersebut.
Nah, ini kemudian kita terjemahkan atau kita tarik di dalam pelaksanaan diplomasi kita. Tadi benar sekali bahwa isu perempuan kita berusaha untuk mainstream-kan, kita arus utamakan di dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia. Kita termasuk salah satu negara yang sangat aktif dalam isu women, peace, and security.
Ada contoh konkretnya?
Misalnya, kita buatkan network untuk para negosiator dan mediator perempuan di Asia Tenggara. Jadi untuk network mediator negosiator di Asia Tenggara untuk perempuan itu yang mendirikan atau menginisiasikan adalah kita, Indonesia.
Yang kedua, jumlah peace keepers perempuan. Kita berusaha untuk tingkatkan, termasuk peace keepers dari Indonesia yang perempuan yang jumlahnya terus meningkat. Kemudian dengan PBB kita mencoba untuk membuat policy-policy yang sifatnya mempermudah tugas perempuan pada saat dia bertugas sebagai peace keepers. Belum lagi isu yang terkait dengan Afganistan.
Bagaimana negara bisa maju kalau kaum perempuannya tidak dididik? Di Indonesia untung kita punya Raden Ajeng Kartini ya, yang dari sejak awal dia sudah memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Ternyata di era yang sudah sangat modern yang orang sudah pergi ke bulan, ada juga negara yang masih membatasi akses perempuan terhadap pendidikan.
Dan pendidikan adalah awal mula dari semuanya. Jadi kita tidak akan bisa maju tanpa pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, saya juga berada di garis paling depan untuk terus menyuarakan dan mendukung equal access bagi para perempuan Afganistan untuk pendidikan.
Jadi sekali lagi, kalau kita ingin melihat sebuah dunia yang lebih baik bagi semua, enggak mungkin enggak akan tercipta kalau kita tidak memberdayakan kaum perempuan. Jadi kita harus, harus memberdayakan kaum perempuan.
Di Kemenlu sendiri bagaimana Ibu melihat peran kaum perempuan, khususnya yang berprofesi sebagai diplomat?
Saya 38 tahun yang lalu masuk ke Kementerian Luar Negeri dengan menjadi diplomat. Pada saat itu komposisi angkatan saya, angkatan diplomat saya, itu hanya 10 persen perempuannya. Itu pun di dalam perjalanannya juga mengalami pengurangan karena ada beberapa rekan saya yang memutuskan untuk mundur atau keluar dari Kementerian Luar Negeri.
Nah, 10 persen itu adalah angka rata-rata pada saat itu. Sekarang kalau ditanya berapa jumlah perempuan dan laki-laki, itu kalau dari sisi persentase sudah 41-59. 41 adalah perempuannya, 59 adalah laki-lakinya. Itu rata-rata. Tetapi kalau dilihat per-angkatan dalam beberapa tahun terakhir ini, maka jumlah perempuan laki-laki itu sudah imbang.
Bahkan di beberapa angkatan diplomat, itu angka perempuannya sudah semakin lebih tinggi daripada angka laki-laki. Jadi dari sisi persentase sudah jauh lebih baik dan hampir berimbang. Nah, memang yang masih menjadi tantangan adalah bagaimana situasi berimbang yang menyangkut partisipasi.
Partisipasi dalam arti dia menjadi diplomat itu bisa dapat diseimbangkan juga di level pengambil keputusan. Ini tantangan di semua bidang. Pada saat kita bicara mengenai level pengambil keputusan, maka angka perempuan masih minoritas. Nah, ini yang terus kita perjuangkan.
Oleh karena itu, kalau tadi ditanya pesan apa yang dapat saya sampaikan kepada para diplomat perempuan kita, saya selalu mengatakan kesempatan untuk menjadi diplomat perempuan jauh lebih besar. Saya enggak tahu berapa kali jauh lebih besarnya, tapi dapat dipastikan jauh lebih besar daripada diplomat laki-laki.
Dan saya paling gampang kan mengambil contoh saya kan. Saya menikah, saya punya anak, saya punya cucu. Sekarang saya berkarier kalau sebagai diplomat hitungannya sudah 38 tahun. Di sana-sini memang harus ada kompromi sedikit-sedikitlah dikompromikan karena enggak mungkin semua itu bisa jalan bareng kalau tidak ada kompromi, fleksibilitas, dukungan dari keluarga, macam-macamlah.
Jadi ramuannya tuh macam-macam. Tetapi message saya kepada kaum perempuan diplomat Indonesia, kamu bisa juga seperti saya.
Advertisement
Negosiasi Vaksin yang Tak Terlupakan
Boleh diceritakan salah satu pengalaman tak terlupakan selama Ibu menjabat Menlu RI?
Banyak momen yang enggak terlupakan, dalam artian setiap masa, masa menjalankan pekerjaan atau profesi sebagai diplomat itu setiap masa ada tantangannya. Pada saat saya masih muda, saya tentunya secara struktur masih ada di bawah. Tantangan kita itu betul-betul antara bagaimana bekerja dengan baik, sama ngurus anak-anak kecil dan sebagainya.
Dan itu sangat enggak gampang. Sangat enggak gampang, karena saya adalah perempuan. Sampai tantangan yang sudah pada saat kita menjadi dirjen, menjadi menteri, itu tantangannya berbeda juga. Bagaimana kita bisa mengambil sebuah keputusan yang tepat. Enggak gampang juga.
Jadi pengalaman yang paling gampang itu adalah yang paling terakhir. Misalnya seperti pada saat kita menjadi Presiden G20. Karena tidak ada satu pun pihak yang pada saat itu memprediksikan bahwa Indonesia akan berhasil.
Sudahlah enggak, Indonesia enggak bakalan. Dia bukan negara superpower yang bisa katakanlah mengatur semuanya. Indonesia adalah middle power. Perseteruan di antara G20 begitu hebatnya. Jadi semua orang prediksinya G20 akan akan bubar dan tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ini konteksnya waktu itu 2022 sedang ada Covid19 dan juga perang Ukraina-Rusia ya, Bu?
Ya, jadi Covid 2020 terus kemudian perseteruan atau perang di Ukraina. Jadi kita tuh meyakinkan diri insyaAllah kita bisa. Dan kerja kerasnya sudah enggak bisa dibayangkan. Jadi saya harus datang ke satu capital ke capital lain, mendengarkan apa yang mereka inginkan, dan lesson learned lagi. Dan itu diperlukan upaya yang sangat luar biasa.
Tetapi sekali lagi, kalau saya bilang itu mukjizat. Itu tangannya Gusti Allah, tangannya Gusti Allah membantu kita mempermudah prosesnya sehingga di akhir presidensi kita, G20 masih bisa bekerja, masih utuh, enggak bubaran, dan menghasilkan deklarasi serta menghasilkan proyek-proyek yang bermanfaat bagi dunia.
Di Bali waktu itu Ibu sempat sakit kalau tidak salah?
Saya kena Covid itu. Sekali-sekalinya saya kena Covid sudah dalam kondisi yang sangat exhausted. Mungkin karena capek ya, jadi daya tahan tubuh juga menurun. Jadi bisa kebayang selama 3 hari saya demam tinggi. Tapi saya disiplin, saya pakai masker terus, setiap 4 jam saya minum obat.
Saya tuh minum obat supaya saya enggak tumbang. Sampai Pak Luhut waktu itu datang khusus ke saya, dia bilang gini, 'lo enggak boleh sakit, lo enggak boleh sakit. Lo sama gue enggak boleh sakit. Lo sakit, tumbang semuanya'. Jadi itu yang menjadi penguat saya. Saya enggak boleh sakit, saya enggak boleh sakit.
Jadi saya kalau sudah mulai meriang cepat-cepat minum obat, terus minum obat terus. Dan setiap kali saya mau keluar dari kamar hotel saya, pagi itu dokter masuk untuk ngecek semuanya. Tapi alhamdulillah semuanya berakhir.
Kita juga tahu ketika pandemi Covid-19 soal penyediaan vaksin juga membuat Ibu bekerja keras, bagaimana ceritanya, Bu?
Pada saat pandemi Covid-19 terjadi, tidak ada satu pun negara yang siap. Bahkan negara maju pun pada saat itu tidak siap karena datangnya cepat sekali dan berdampak pada banyak orang. Nah, di situlah pada saat kita pertama-pertama sudah mulai ada kasus di Indonesia dan sebagainya, kita sudah mulai berhitung bahwa ini akan jadi isu dunia.
Oleh karena itu dengan perhitungan-perhitungan yang sangat masak, akhirnya pada saat itu Bapak Presiden memanggil beberapa menteri untuk mengatakan kita harus mendapatkan vaksin. Di titik itu barangnya enggak ada, masih dikembangkan. Sementara kebutuhan banyak sekali, negara-negara berebut.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya kita bisa mendapatkan alokasi vaksin yang sampai selesai pandemi itu jumlah yang berhasil kita amankan sekitar 516 juta vaksin. 516 juta vaksin dan lebih dari 25% persen di antaranya kita bisa peroleh dengan gratis, yang berarti kita dapat menghemat APBN kita untuk membayar vaksin tersebut.
Nah, kenapa kita bisa berhasil? Pertama, kita gunakan semua networking kita agar kita dapat memperolehnya. Jadi istilah gampangnya begini, atau message-nya begini: Bertemanlah sebaik mungkin dengan sebanyak mungkin orang. Pada suatu saat, pertemanan itu yang akan menyelamatkan kita.
Dan it happened, it happened pada saat kita berusaha untuk mendapatkan vaksin. Alhamdulillah teman kita banyak. Jadi kadang-kadang, bagi dong. Dan pada saat itu rasa kemanusiaan memang sedang muncul ya.
Selain vaksin juga ada APD waktu itu?
Termasuk waktu itu APD. Waktu itu saya ingat banget bahwa dokter dan tenaga medis kita sudah jatuh satu per satu karena mereka tidak terproteksi dengan baik, enggak ada APD. Maka waktu itu Presiden mengatakan cari APD, dan kita tahu ada APD yang dijahit, ini sebenarnya proyeknya Korea Selatan, kerja sama Korea Selatan dengan Indonesia.
Jadi intinya gini, Korea Selatan kan membutuhkan APD, ini sebelum pandemi, jauh sebelum pandemi. Dia punya bahan mentah, bahan bakunya dibawa ke sini, dijahit oleh Indonesia. Kemudian APD ini dikembalikan ke Korea Selatan untuk keperluan rumah sakit-rumah sakit mereka.
Nah, waktu itu ada 220.000 APD yang sedang dalam proses penyelesaian di Indonesia oleh Korea Selatan. Ini barangnya Korea Selatan lho, bukan barang kita. Akhirnya saya bicara dengan Menlu Korea Selatan, waktu itu perempuan, sahabat baik saya namanya Menlu Kyung-hwa.
Saya bilang, bisa enggak kamu bagi sebagian APD untuk kami? Dokter-dokter kami sudah pada berjatuhan. Dia bilang, Retno kami di sana juga butuh sekarang dan sebagainya dan sebagainya. Terus akhirnya kita negosiasi 3 hari 3 malam untuk mendapatkan APD. Akhirnya dia mengatakan, you are my good friend, jadi kita bagi. Kita bagi separuh-separuh.
Maka angka 110.000 itu adalah jumlah APD pertama dalam jumlah yang besar, yang pertama dapat diperoleh Indonesia untuk menyelamatkan tenaga-tenaga medis tersebut. Jadi sekali lagi, moral story dari cerita ini adalah bertemanlah sebaik mungkin dengan sebanyak mungkin orang, karena itu akan membantu kita.
Nah, kemudian yang kedua, kita juga enggak egois, maka kita juga berkontribusi pada dunia. Saya duduk sebagai salah satu, katakanlah pengurus dari Covax yang tujuannya adalah bagaimana membantu negara-negara yang kurang mampu untuk dapat memperoleh vaksin. Jadi mempersempit gap antara perolehan vaksin dari negara maju dengan perolehan vaksin dari negara-negara yang kurang maju.
Karena begini, misalnya negara-negara yang kurang maju di Afrika, mereka untuk menyimpan vaksin saja, cold storage-nya saja mereka enggak mampu. Maka itu kemudian kita berdayakan. Jadi saya termasuk panitia dari distribusi vaksin dunia untuk membantu sekali lagi negara-negara yang kurang mampu agar mereka memiliki akses yang kurang lebih sama terhadap vaksin.
Jadi intinya begitu, kita enggak boleh juga egois, buat gua, gua yang utama, masyarakat gua. Tapi jangan lupa, kita punya tanggung jawab internasional yang harus kita jalankan.
Siap Pensiun Setelah Tak Lagi Jadi Menteri
Selain sebagai Menlu RI, Ibu juga seorang istri dan orangtua dari dua orang anak, bagaimana cara Ibu membagi waktu untuk semua peran itu?
Saya sudah terlatih dari kecil ya. Karena ya itu, pada saat saya jadi diplomat kemudian saya punya anak. Jadi penempatan saya pertama di Australia itu saya membawa anak kecil umur 1,5 tahun, kemudian pulang dari Australia saya membawa anak kecil lagi 1,5 tahun. Kemudian saya penempatan ke Belanda yang kedua, itu saya bawa anak-anak kecil yang masih pada bersekolah.
Ya macam-macam lah tantangannya waktu itu. Jadi itu pengalaman yang sangat luar biasa yang akhirnya mendidik saya untuk dapat me-manage antara rumah dan kantor yang sejauh ini so far so good. Jadi untungnya punya latihan, punya masa latihan di masa lalu pada saat anak-anak masih kecil. Jadi so far oke sih.
Jadi sudah pahamlah bagaimana repotnya mengasuh anak yang masih bayi ya, Bu?
Iya, misalnya kalau lagi panas, anak kecil kan sering kemudian sakit dan sebagainya. Terus kalau panas itu berarti malam itu kita enggak tidur. Kita harus dekap dia supaya panasnya dipindahkan ke kita, dan sebagainya dan sebagainya. Pokoknya kalau cerita seorang perempuan pekerja itu pasti seru. Pasti lebih seru daripada cerita mengenai laki-laki pekerja.
Tapi sekarang mereka itu adalah pelipur lelah saya, khususnya cucu-cucu saya. Kalau sedang mumet, cucu tak panggil semua. Sudah ayo sekarang semuanya kumpul ke rumahnya Eyang Ti. Sudah main sama mereka, main lagu-lagu mereka, ikut mereka dan sebagainya, sudah hilang.
Jadi ikut menjadi anak kecil. Akhirnya lupa bahwa ada beban dan sebagainya. Ada tanggung jawab yang memang harus diselesaikan, yang rumit dan sebagainya. Jadi kalau sekarang itu obat saya ya cucu-cucu saya.
Tahun ini Ibu akan mengakhiri masa tugas sebagai Menlu, apa kira-kira rencana Ibu ke depan?
Pensiun.
Pensiun?
Pensiun kan? Semua itu ada akhirnya. Ada awal, pasti ada akhir. Dan kita, saya selalu bilang, kita harus mendisiplinkan diri kita sendiri bahwa perjalanan apa pun, sekuat apa pun kita, pasti ada titik akhir. Dan kita harus siap dengan titik akhir itu, seperti hidup kita.
Mau kita orang kaya, mau kita orang berpengaruh, kita tahu bahwa di satu titik itu adalah akhir kita. Sama saja dengan jabatan. Saya sih jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah menyebut jabatan. Saya menyebut tanggung jawab.
Saya ingat Ibu saya. Beliau selalu mengatakan jangan pernah menikmati jabatan, karena kalau kita menikmati jabatan pasti kita akan terlena. Tapi tunaikan tanggung jawab kamu dengan sebaik-baiknya. Eling itu kata Ibu saya. Jadi saya sudah terus bicara dengan diri sendiri karena ini adalah tanggung jawab yang dititipkan.
Dalam hal ini kan tentunya saya diangkat oleh Presiden, ya kan? Jadi diberi tanggung jawab, dan tanggung jawab ini pasti akan ada selesainya. Dan kalau sudah selesai banyak sekali yang sekarang orang tanya ke saya, Ibu mau jadi apa? Ya jadi Retno. Karena saya adalah Retno.
10 tahun ini kebetulan yang namanya Retno Marsudi ini diberi tanggung jawab sebagai Menlu. Pada saat tanggung jawabnya ini sudah selesai, ia menjadi Retno. Enggak apa-apa, saya lahir nama saya Retno. Jadi apa susahnya?
Apa kira-kira pesan Bu Retno untuk masyarakat Indonesia secara luas, terutama generasi muda dan anak-anak remaja di luar sana, perempuan khususnya?
Kalau untuk perempuan, saya sangat konsisten. Saya selalu bilang be brave, never give up. Jadi kita memang harus berani. Kita harus berani bukan berarti terus kemudian kita protes sana, protes sini, enggak. Kita harus berani memperjuangkan mimpi-mimpi kita. Dan untuk mengejar mimpi-mimpi kita sudah dapat dipastikan jalannya akan sulit.
Tapi jangan pernah menyerah. Kalau kamu jatuh, jatuh, nikmati, bangkit lagi. Jatuh sekali, bangkit lagi, jatuh dua kali, bangkit lagi, sampai mimpi kamu bisa tercapai.
Dan saya kira ini juga berlaku bagi anak-anak muda laki-laki. Jalan kamu panjang, jalan kamu mungkin akan terjal dan sulit, tapi never give up. Ingat, kalau anak-anak muda kan for sure dia akan menjadi bagian dari mimpi emas 2045. Jadi anak-anak ini, anak-anak kita ini yang akan menjadi bagian pelaku dari mewujudkan mimpi 2045. Dan jangan korupsi.***
Advertisement