Liputan6.com, Jakarta - Situasi geopolitik di Timur Tengah belum mereda. Iran dan Israel masih terus saling memberikan serangan balasan. Dampak ekonomi terhadap situasi ini tidak hanya terjadi di dua negara tersebut tetapi hingga ekonomi dunia.
Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menjelaskan, konflik antarnegara yang semakin memanas akan memberikan derita secara ekonomi dan menambah panjang daftar scaring effect pasca pandemi yang dalam tahap pemulihan.
Advertisement
"Dampak secara global ini juga akan memberikan pengaruh trickle down effect terhadap ekonomi nasional," jelas dia kepada Liputan6.com seperti ditulis, Senin (22/4/2025).
Dalam konteks ekonomi Indonesia, perlu dicermati dengan baik dan dimitigasi resiko yang membawa dampak secara langsung, karena bersamaan dengan konflik politik global ini, rupiah juga terus mengalami penurunan.
Tercatat rupiah Masih ditutup melemah 81 poin dalam perdagangan Jumat 19/ April 2024 sore. Rupiah ditutup di level 16.260 per dolar AS dibandingkan dengan penutupan sebelumnya di level 16.179 per dolar AS.
Kondisi konflik geopolitik dan ketidakstabilan ekonomi global, menimbulkan paling tidak dua hal yang harus dimitigasi.
Ratai Pasok
Pertama, terganggunya rantai pasok ekonomi, yang akan mengakibatkan kenaikan harga atas komoditas impor, termasuk bahan baku, minyak, maupun ongkos logistik.
"Hal ini akan memicu kenaikan HPP (Harga Pokok Penjualan) sehingga akan mengeskalasi inflasi," jelas Ajib.
Sepanjang 2023, inflasi di Indonesia masih dalam rentang kendali sesuai dengan kerangka ekonomi makro yang disusun, dan secara agregat di akhir tahun 2023 hanya di kisaran 2,6%. Inflasi sepanjang tahun 2024 diproyeksikan 2,5% plus minus 1%, artinya inflasi masih bisa ditoleransi sampai dengan 3,5%. Kondisi kenaikan harga komoditas impor akan memberikan sentimen negatif dalam inflasi.
Kebijakan Ekonomi AS
Hal kedua, adalah kebijakan ekonomi Amerika imbas kondisi geopolitik yang ada, yaitu cenderung akan menahan tingkat suku bunga The Fed. Sebelumnya pasar mempunyai ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan. Kebijakan moneter Bank Sentral Amerika ini menjadi patron dominan BI (Bank Indonesia) dalam membuat kebijakan moneter nasional.
Ketika tingkat suku bunga The Fed tinggi, akan terjadi potensi crowding out atau capital outflow sehingga semakin memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Di sisi lain, tingkat suku bunga tinggi, akan mengurangi likuiditas keuangan di kegiatan perekonomian. Kondisi yang dilematis dari sisi moneter.
4 yang Perlu Diperhatikan
Selanjutnya perlu dilihat indikator-indikator ekonomi makro Indonesia, untuk mengukur ketahanan dalam mengahadapi ketidakpastian global ini. Paling tidak ada 4 empat hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, tren pertumbuhan ekonomi. Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup agresif pasca pandemi, bahkan diatas 5%. Tahun 2023 mencapai angka 5,05% dan diproyeksikan akan mencapai kisaran 5,2% secara agregat di akhir tahun 2024.
Kedua, Inflasi. Dengan selisih ekspor-impor yang masih positif, potensi eskalasi inflasi akibat bahan baku impor, diprediksi masih akan dalam rentang daya tahan inflasi, dan sampai akhir tahun 2024 tidak melebihi 3,5%.
Ketiga, PDB (Produk Domestik Bruto) perkapita. pada Tahun 2023 Indonesia mempunyai PDB sebesar Rp 20.892,4 triliun yang merupakan nomor 16 besar dunia dan jumlah penduduk sekitar 280 juta orang atau nomor 4 besar dunia, sehingga PDB perkapita Indonesia mencapai Rp 75 juta atau setara USD 4.919. Dengan PDB yang masih nomor 16, sedangkan jumlah penduduk nomor 4, maka potensi ekonominya masih sangat besar.
Keempat, keseimbangan primer keuangan negara. kondisi neraca keuangan negara masih dalam keseimbangan primer yang positif, artinya total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran hutang, masih positif.
"Hanya, yang perlu dicermati adalah, ketika pemerintah membuat proyeksi nilai tukar rupiah dalam kisaran 15.000 per dolar AS, maka pembayaran hutang luar negeri akan mengalami kenaikan, ketika rupiah terus melemah dibandingkan dolar," kata Ajib.
Advertisement
Pemerintah Harus Fokus
Selanjutnya, pemerintah perlu fokus dalam tiga hal utama untuk penguatan ekonomi dalam negeri. Yaitu: hilirisasi, orientasi ekspor dan substitusi impor, serta peningkatan kualitas investasi yang bisa lebih menyerap tenaga kerja. Sebenarnya program ini sudah menjadi bagian program asta cita Prabowo Subianto yang menjadi presiden terpilih.
Dengan beberapa indikator yang ada, ekonomi nasional masih cenderung bagus dan bertahan positif dalam ketidakpastian global, sepanjang pemerintah konsisten mendorong program-program yang pro dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.