Liputan6.com, Ankara - Mohammad Faris, yang dikenal sebagai "Armstrong daro Dunia Arab" dan satu-satunya astronot Suriah, meninggal pada usia 72 tahun di pengasingannya di Kota Gaziantep, Turki, pada hari Jumat (19/4/2024), akibat komplikasi serangan jantung yang dideritanya sebulan lalu. Hal tersebut disampaikan seorang teman dekatnya kepada CNN via telepon.
Pada tahun 1987, Faris yang merupakan seorang pilot di Angkatan Udara Suriah, menghabiskan delapan hari di angkasa luar melalui program penerbangan angkasa luar Uni Soviet, Interkosmos. Faris terbang bersama kru Uni Soviet ke stasiun angkasa luar Mir dan menjadi astronot Suriah pertama dan satu-satunya serta astronot Arab kedua yang berhasil mencapai angkasa luar.
Advertisement
Warga Suriah berkumpul untuk menyaksikan momen ketika mantan Presiden Suriah Hafez al-Assad, ayah dari presiden saat ini, Bashar al-Bashar, berbicara dengan Faris melalui panggilan telepon yang disiarkan langsung di TV pemerintah, saat Faris berada di angkasa luar. Saat itu Hafez bertanya kepada Faris apa yang bisa dia lihat.
Seperti dilansir CNN, Senin (22/4), Faris pun menjawab, "Saya melihat negara saya tercinta, saya melihatnya luar biasa dan indah sebagaimana adanya."
Dalam film dokumenter tahun 2023 yang ditayangkan di jaringan Al Jazeera, Faris mengungkapkan dia memilih untuk tidak membaca pidato yang telah ditulis sebelumnya selama panggilan telepon langsung dengan Hafez dan sebagai gantinya melakukan ad-lib (pidato tanpa persiapan), langkah yang dilaporkan membuat kesal diktator Suriah yang tidak terbiasa berbagi pusat perhatian dengan orang Suriah lainnya.
Sekembalinya ke Suriah, Faris dirayakan sebagai pahlawan nasional oleh puluhan ribu warga Suriah. Namun, Hafez mengambil pandangan berbeda. Saat upacara penyerahan medali, yang protokolnya presiden akan mengalungkan medali di leher penerima, medali untuk Faris malah diberikan di dalam kotak.
Mengkritik Rusia
Semasa akhir hidupnya, Faris menjalani kehidupan yang tenang di Aleppo. Pasca kematian Hafez dan naiknya Bashar al-Assad ke kursi kepresidenan, Faris mendukung Revolusi Suriah yang dimulai pada tahun 2011. Pada tahun 2012, dia memutuskan untuk membelot dan secara terbuka menentang rezim Suriah, sehingga membahayakan keluarga dan dirinya sendiri.
"Ketika kami memutuskan meninggalkan Suriah, saya menyebarkan anak-anak saya di berbagai lingkungan di Aleppo untuk bertemu di titik tertentu. Kami pergi dengan mobil bersama orang yang membantu kami melarikan diri," kata Faris kepada Al Jazeera pada tahun 2023.
"Ada helikopter di atas, tapi begitu kami memasuki kota di mana Tentara Pembebasan Suriah mempunyai senapan mesin, mereka mundur."
Beberapa hari kemudian, Faris pindah ke Turki untuk hidup sebagai pengungsi. Dia menjadi sangat populer di kalangan komunitas pengungsi Suriah di Istanbul. Pada tahun 2020, seperti dilaporkan oleh media Turki TRT, Faris diberikan kewarganegaraan Turki.
Faris, yang pernah tinggal di Rusia antara tahun 1985-1987 untuk pelatihan di Star City yang tertutup di wilayah Moskow sebelum melakukan perjalanan angkasa luar dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Uni Soviet, turut mengkritik dukungan Rusia terhadap rezim Suriah.
Dalam wawancara dengan AP pada Maret 2016, Faris mengatakan bahwa dia menyesalkan sikap Rusia yang mendukung kediktatoran di Suriah.
"Saya sangat menyesal atas campur tangan Rusia, yang berpihak pada diktator Bashar al-Assad, dan mulai membunuh rakyat Suriah dengan pesawat mereka."
Advertisement