Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja perdagangan Indonesia dengan Iran dan Israel terbilang kecil. Keduanya bukan merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Diketahui, konflik antara Iran dan Israel tengah memanas di kawasan Timur Tengah tersebut. Kondisi ini dikhawatirkan berpengaruh pada kinerja perdagangan bagi negara-negara yang menjalin kerja sama.
Advertisement
Mengacu pada kinerja perdagangan Indonesia dengan Iran dan Israel sepanjang 2023, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan rasionya cukup kecil dibandingkan dengan ekspor-impor secara keseluruhan.
"Yang ingin saya garis bawahi disini adalah secara umum dapat disimpulkan bahwa nilai perdagangan barang Indonesia dengan Iran dan Israel relatif kecil. Keduanya bukan merupakan mitra dagang utama indonesia di kawasan Timur Tengah," tegas Amalia dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Dia turut merinci kinerja ekspor Indonesia dengan Iran sepanjang 2023 lalu. Nilai ekspor Indonesia ke Iran tercatat sebesar USD 195,13 juta atau sekitar 2,51 persen terhasap total ekspor Indonesia ke Timur Tengah.
Sementara itu, nilai impor Indonesia dari Iran mencapai USD 11,72 juta atau kira-kira 0,12 persen terhadap total impor dari Timur Tengah. Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan Iran sekitar USD 183,41 juta.
"3 komoditas utama yang diekspor Indonesia ke Iran antara lain buah-buahan, kendaraan dan bagiannya dan produk kimia. Sedangkan komoditas utama yang kita impor dari Iran adalah buah-buahan, bahan bakar mineral serta bahan kimia organik," urainya.
Sementara itu nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai USD 165,77 juta atau mencakup hanya 1,83 persen dari total ekspor ke Timur Tengah. Sementara nilai impornya hanya sebesar USD 21,93 juta atau hanya sebesar 0,22 persen dari total impor Indonesia dari Timur Tengah.
"Dengan demikian Indonesia juga mengalami surplus neraca perdagangan barang dengan Israel," kata Amalia.
Neraca Perdagangan Indonesia Surplus 47 Bulan Beruntun, Maret 2024 Capai USD 4,47 Miliar
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kondisi neraca perdagangan barang Indonesia pada Maret 2024 mengalamu surplus sebesar USD 4,47 miliar. Catatan ini memperpanjang tren surplus neraca perdagangan selama 47 bulan secara berturut-turut.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan surplus neraca perdagangan Maret 2024 mengalami kenaikan sebesar USD 2,65 miliar dari bulan sebelumnya.
"Pada maret 2024 neraca perdagangan barang mencatat surplus sebesar USD 4,47 miliar. Naik sebesar USD 2,65 miliar secara bulanan," kata Amalia dalam Konferensi Pers, di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Amalia juga mencatat tren surplus ini memperpanjang capaian positif sejak Mei 2020 lalu.
"Dengan demikian emraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 47 bulan berturut sejak Mei 2020," ucapnya.
Dia menjelaskan, surplus neraca perdagangan Maret 2024 lebih ditopang oleh surplus pada komoditss non migas sebesar USD 6,51 miliar. beberapa komoditas penyumbang surplus yang utama berasal dari bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewan nabati (HS 15), serta besi dan baja HS 72.
"Surplus neraca perdagangan non migas maret 2024, ini saya sampaikan lebih besar jika kita bandingkan dengan bulan lalu, dan juga dibansingkan pada bulan maret tahun lalu. Pada saat yang sama Neraca perdagangan migas tercatat defisit sebesar USD 2,04 miliar. Tentunya defisit ini disumbang oleh hasil minyak maupun minyak mentah," bebernya.
Advertisement
Nilai Ekspor-Impor
Surplus neraca perdagangan itu dilihat juga dari besaran ekspor dan impor barang yang dilakukan Indonesi.
Pada maret 2024 nilai ekspor Indonesia mencapai USD 22,43 miliar atau mengalami kenaikan 16,40 secara bulanan. Sementara itu secara tahunan nilai ekspor pada Maret 2024 mengalami penurunan 4,19 persen.
Penyumbang utama kenaikan ekspor secara bulanan adalah eknaikan ekspor industir pengolahan, logam dasar mulia, sawit.
Sementara penurunan nilai ekspor secara tahunan utamanya disumbang oleh oenurunan ekspor komoditas pertambangan dan lainnya.
Nilai impor mencapai USD 17,96 miliar. Ini mengalami penurunan baik scr bulanan maupun tahunan yang masing-masing sebesar 2,60 persen dan 12,76 persen.
"Penyumbang utama penurunan nilai impor secara bulannan dan tahunan adalah nilai impor barang modal," pungkasnya.