Syailendra Capital: Dampak Konflik Iran-Israel Hanya Sementara ke IHSG

Syailendra Capital melihat, koreksi IHSG lebih didorong nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ketimbang konflik Israel-Iran.

oleh Agustina Melani diperbarui 22 Apr 2024, 15:15 WIB
Ketegangan konflik Iran-Israel yang meningkat dinilai tidak terlalu berdampak ke pasar saham, obligasi dan harga minyak. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan konflik Iran-Israel yang meningkat dinilai tidak terlalu berdampak ke pasar saham, obligasi dan harga minyak.

Dalam riset Syailendra Capital, ditulis Senin (22/4/2024), tensi Israel-Iran disebut dapat berpotensi tidak terlalu meluas. Sebelumnya, Israel juga tak melakukan eskalasi militer saat Gulf War 1991 ketika Iran melakukan serangan.

Syailendra Capital melihat data historis menunjukkan perang di Timur Tengah tak pernah berlangsung lebih dari satu tahun. “Tekanan ke pasar saham dan obligasi maupun kenaikan harga minyak bersifat temporer,” demikian mengutip dari laporan tersebut.

Syailendra menyatakan, durasi perang juga tak berpengaruh terhadap besaran koreksi suatu aset. Contohnya ketika terkadi Persian Gulf selama 6,9 bulan, koreksi IHSG mencapai 38,5 persen.

Sebaliknya, ketika perang Irak selama 8,84 bulan, IHSG hanya melemah -0,2 persen. Syailendra juga menyebutkan, IHSG hanya melemah tiga hari saat perang Irak dan 25 hari saat konflik Israel-Hamas.

"Hal ini menunjukkan koreksi yang terjadi di IHSG bersifat temporer dan tidak dipengaruhi lamanya perang,” demikian dikutip dari riset Syailendra Capital.

Koreksi juga terjadi indeks S&P 500 saat terjadi perang dan lebih dalam dibandingkan IHSG saat perang Iran dan Israel-Palestina.

Seperti IHSG, indeks S&P 500 hanya melemah sementara selama 11 hari saat perang Irak dan 22 hari saat konflik Israel-Hamas meningkat.

“Data historis ini menunjukkan tekanan dari perang terhadap aset saham bersifat temporer,” demikian mengutip dari riset itu.


Koreksi IHSG Didorong Tekanan Rupiah

Pengunjung tengah melintasi layar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Syailendra menyebutkan dampak serangan balik Israel ke Iran pada Jumat, 19 April 2024 atas tembakan ke Iran ke Israel pada Sabtu, 13 April 2024 sangat terbatas.

Di sisi lain, IHSG melemah 2,74 persen pada 16-19 April 2024 dengan aliran dana investor asing yang keluar mencapai Rp 7,9 triliun. Selain itu, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 7,04 persen dari 6,65 persen dan aliran dana investasing yang keluar dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 9,8 triliun. Syailendra menilai, IHSG yang melemah ini karena nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga ke 16.200.

"Penguatan USD didorong oleh ekonomi AS yang lebih baik dari pada estimasi,” tulis Syailendra.

Seiring ketegangan konflik Israel-Iran yang meningkat turut mendorong kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak Brent naik menjadi USD 87 per barel dan West Texas Intermediate (WTI) menguat menajdi USD 83 per barel.

"Namun, level ini masih lebih rendah dibandingkan posisi oil saat tensi Rusia vs Ukraina yang menyentuh USD 120 per barel,”


Dampak Terhadap Kenaikan Harga Minyak Terbatas

Ilustrasi Harga Minyak Dunia Hari Ini. Foto: AFP

Selain itu, Syailendra Capital juga melihat komoditas minyak cukup sensitif tiap kali terjadi perang dan cenderung menguat tiap terjadi perang.

Syailendra mencontohkan, kenaikan terbesar terjadi saat Persian Gulf War naik 82,9 persen dalam waktu singkat hanya 24 bulan.

"Makin tinggi lonjakan harga minyak, tekanan ke pasar saham makin besar,” demikian dikutip dari laporan Syailendra.

Syailendra Capital juga melihat konflik Iran-Israel terhadap kenaikan harga minyak Brent relatif minim yakni menjadi USD 87 per barel (0,26 persen MoM) dan West Texas Intermediate (WTI) menjadi USD 82 per barel atau naik 1,19 persen MoM. Seiring data tersebut, tekanan ke IHSG diprediksi terbatas.

Lalu bagaimana dampak geopolitik terhadap obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS)?

Syailendra Capital melihat, ketika perang dimulai, imbal hasil obligasi pemerintah cenderung naik yang menandakan tekanan pada pasar obligasi.

“Namun, tekanan ke aset obligasi sifatnya hanya temporer. Tekanan paling minim terjadi saat konflik Israel-Palestina,” demikian dikutip dari laporan Syailendra Capital.

Dalam riset Syailendra Capital menyebutkan, saat konflik Israel-Iran, imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun naik dari 4,5 persen pada Sabtu, 13 April 2024 menjadi 4,6 persen pada Jumat, 19 April 2024.

 


Pendorong Indeks Dolar AS

Teller tengah menghitung mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun telah resli sejak awal April dari 4,2 persen yang didorong oleh rilis berbagai data ekonomi AS yang melebihi harapan.

Lalu bagaimana dengan indeks dolar AS?

Syailendra menyebutkan, transmisi risiko perang terhadap pergerakan indeks dolar AS sangat minim. Indeks dolar AS telah naik 4,6 persen sejak awal 2024. Hal itu didorong karena sejumlah faktor. Pertama, ekonomi AS lebih baik dari pada perkiraan investor (employment, retail consumption dan lainnya).

Kedua, perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dari 2,1 persen menajdi 2,7 persen pada 2024. Ketiga, harapan pemangkasan suku bunga bank sentral AS atau the Federal Reserve yang dimulai 2024. Namun, pemangkasan suku bunga hanya dua kali pada 2024 dari sebelumnya diprediksi tujuh kali.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya