Liputan6.com, Jakarta Hari Bumi yang diperingati setiap 22 April menjadi momen refleksi untuk menyadari peran penting masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga alam.
Sayangnya, sebagai pelindung hutan dan biodiversitas, belum semua mendapat pengakuan dasar atas wilayah adatnya.
Advertisement
Padahal, semakin besar wilayah adat yang teregistrasi dan diakui, maka area biodiversitas dan ekosistem hutan yang terjaga akan semakin luas.
“Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat adat dan komunitas lokal telah menerapkan tata kelola pelestarian dan konservasi alam. Upaya yang berlandaskan pada kearifan lokal ini terbukti efektif dalam praktik pengelolaan sumber daya sekaligus melindungi alam dan keanekaragaman hayati di dalamnya,“ kata Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo dalam keterangan pers, Senin, 22 April 2024.
Widodo menambahkan, penerapan kearifan lokal pada wilayah adat mencakup pada area tanah, hutan, dan air beserta isinya. Masyarakat adat melindungi alam dengan berbagai cara seperti:
- Penggunaan sumber daya alam dilakukan berdasarkan tata kelola yang diatur oleh hukum adat.
- Praktik pengelolaan wilayah perairan yang baik.
- Larangan penggunaan alat tangkap yang merusak.
- Melakukan rotasi tanam dan diversifikasi tanaman pada wilayah perladangan untuk memulihkan unsur hara.
“Peringatan Hari Bumi dapat menjadi momen bagi semua pihak untuk terus mendukung upaya pengakuan masyarakat adat dan komunitas lokal untuk menjaga dan mengelola wilayah adatnya,” ujar Widodo.
Menjaga Peran Masyarakat Adat Tetap Optimal
Pengakuan dasar atas wilayah adat dapat membuat peran masyarakat adat sebagai penjaga bumi tetap optimal. Peran konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan tradisi dan budaya dapat terus berlangsung dengan adanya pengakuan tersebut.
Guna mengupayakan pengakuan dasar wilayah adat, lembaga filantropi yang berfokus pada keadilan iklim bagi masyarakat adat, Ford Foundation, mendukung Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) untuk melakukan proses registrasi.
Registrasi diperlukan untuk memitigasi penyusutan area 82 juta hektar hutan di Indonesia. Salah satu implementasi programnya adalah proses registrasi wilayah adat seluas 186 ribu hektar di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
“Sejak tahun 2010 hingga Maret 2024, BRWA telah berhasil meregistrasikan 28,2 juta hektar wilayah adat, di mana 72 persen di antaranya merupakan ekosistem penting yang harus dijaga yaitu mangrove, karst, areal koridor satwa, dan area kunci biodiversitas,” kata Widodo.
“Kerja sama dengan Ford Foundation dan juga beberapa pihak lainnya diharapkan dapat mengakselerasi proses capaian perlindungan hutan teregistrasi, terverifikasi, dan tersertifikasi di Tapanuli Utara dan Luwu Utara,” tambahnya.
Advertisement
Hari Bumi Jadi Pengingat Pentingnya Jaga Alam
Dalam keterangan yang sama, Direktur Regional Ford Foundation Indonesia, Alexander Irwan, memandang peringatan Hari Bumi dapat menjadi tonggak untuk kembali memastikan pentingnya menjaga alam. Salah satunya untuk mencegah bencana hidrometeorologi sebagai dampak perubahan iklim.
“Kerja sama kami dengan BRWA di kedua kabupaten diharapkan dapat melindungi dampak perubahan iklim yang terjadi di wilayah tersebut yang mengakibatkan bencana banjir dan longsor, seperti yang terjadi di Tapanuli Utara pada Desember 2023 dan Luwu Utara menjelang Hari Raya Idul Fitri pada April 2024,” papar pria yang akrab disapa Alex.
“Kerugian akibat bencana alam yang harus ditanggung oleh masyarakat setempat baik dalam bentuk materiil dan nonmaterial akan sangat besar dibandingkan dengan upaya dalam mendukung peran masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam dengan baik,” tuturnya.
Bantu Masyarakat Adat Dapatkan Hak Kelola Wilayah Adat
Lebih lanjut, Alex menyatakan ke depannya upaya pemberian akses yang memadai bagi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memperoleh hak mengelola wilayah adat perlu terus didukung oleh semua pihak.
Melalui pengakuan atas kesetaraan dan keadilan, harapannya program Ford Foundation dan para mitra implementer, termasuk BRWA dapat berkontribusi dalam mitigasi krisis iklim yang kian mendesak.
Implementasi program BRWA yang didukung Ford Foundation selama enam bulan terakhir juga didukung oleh berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, media, pihak swasta dan masyarakat.
Semuanya terlibat dalam berbagai aksi nyata. Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mendukung pengakuan wilayah adat, seperti:
- Melakukan persiapan dokumen yang dibutuhkan dalam proses verifikasi.
- Mengadakan lokakarya kepada pihak-pihak terkait.
- Menyelenggarakan rapat koordinasi antara Ditjen Bangda (Bina Pembangunan Daerah) Kemendagri, Direktorat Penyelesaian Konflik Tenurial dan Hutan Adat - Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), dan Kementerian LHK.
Kerja kolaboratif ini terbukti mampu mengatasi berbagai tantangan yang terjadi selama proses administrasi dan registrasi, khususnya di Tapanuli Utara.
Advertisement
Peran Pemerintah Tapanuli Utara
Kadis Lingkungan Hidup Tapanuli Utara, Heber Tambunan, mengakui bahwa sinergi semua pihak mampu mengatasi tantangan atas keterbatasan waktu, pendanaan, dan terbatasnya kapasitas serta pemenuhan informasi bagi seluruh masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Bupati Tapanuli Utara dan seluruh jajaran pemerintah daerah mempunyai perhatian khusus dalam pengakuan yang adil atas wilayah adat yang menjadi tempat hidup dan menggantungkan aktivitas ekonomi masyarakat. Sayangnya, area ini kerap masuk dalam kawasan hutan.”
“Oleh karena itu, kami terus memperjuangkan hak-hak mereka agar wilayah adat yang sudah dikelola selama turun-temurun tetap berada dalam kedaulatan mereka,” ujar Heber.
Kepedulian ini dituangkan dalam penetapan kebijakan formal daerah berbentuk Surat Keputusan (SK) Bupati Tapanuli Utara tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat untuk 10 Komunitas di Kabupaten Tapanuli Utara.
Sementara, dalam bentuk pendanaan, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tapanuli Utara telah menganggarkan lebih dari Rp200 juta dalam rangka keseluruhan proses pemenuhan hak kelompok masyarakat adat di 6 wilayah.