Liputan6.com, Jakarta Harga emas sempat naik, seiring dengan memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah beberapa waktu lalu. Namun kenaikan harga minyak telah mereda dari lonjakan baru-baru ini, menyusul redanya eskalasi Iran-Israel baru-baru ini yang mendorong penurunan harga minyak.
"Kami yakin ketidakpastian masih sangat tinggi dan sulit untuk memprediksi kelanjutan ketegangan antara Iran dan Israel. Akibat situasi ini, harga minyak mengalami volatilitas tinggi dan aset-aset safe-haven seperti dolar dan emas telah mengalami peningkatan yang signifikan," kata Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto ditulis, Rabu (23/4/2024).
Advertisement
Harga emas dunia turun lebih dari 2% ke level terendah dalam satu pekan pada perdagangan hari senin. Pelemahan harga emas ini terjadi karena kekhawatiran atas konflik timur tengah sudah mereda. Dengan begitu, investor mengurangi perdagangan aset safe-haven seperti emas dan dolar AS dan memilih aset-aset berisiko seperti saham.
Harga Emas
Melansir pemberitaan Liputan6.com sebelumnya, harga emas di pasar spot turun 2,6% menjadi USD 2.328,6335 per ounce pada Selasa 23 April 2024, siap untuk menandai penurunan harian terbesar dalam lebih dari setahun. Sedangkan harga emas berjangka AS turun 2,9% menjadi USD 2.343,00 per ounce.
"Emas volatilitasnya besar. Beberapa waktu terakhir naik karena ketidakpastian politik. Kalau situasi geopolitik mereda, emas akan sedikit turun. Tapi dalam jangka pajang harusnya kalau kondisi normal masih bisa (naik) gradual," imbuh Rully.
Peluang Harga Emas
Dalam kesempatan berbeda, Investment Analyst Stockbit Hendriko Gani mengatakan jika tensi geopolitik di Timur Tengah terus meningkat, harga emas dan minyak berpotensi diperdagangkan pada level yang lebih tinggi.
Kenaikan emas memberikan sentimen positif jangka pendek pada emiten produsen emas seperti ARCI, BRMS, MDKA, PSAB, ANTM, dan SQMI.
"Selain dipengaruhi tensi geopolitik dan pembelian masif oleh bank sentral, rally harga emas dan perak berpotensi untuk terus berlanjut seiring dengan meningkatnya ketidakpastian terkait prospek ekonomi, inflasi, dan potensi kebijakan moneter AS ke depan," kata dia.
Advertisement