Prospek 5 Mata Uang Asia Ini Negatif Imbas Penundaan Penurunan Bunga Fed, Rupiah Masuk?

BofA menjelaskan, hal itu karena banyak mata uang Asia yang terkena dampak tertundanya siklus pelonggaran Federal Reserve dan penguatan dolar AS (USD) yang berkelanjutan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Apr 2024, 17:00 WIB
Petugas menghitung uang pecahan 100 Yuan, Jakarta, Kamis (13/8/2015). Biang kerok keterpurukan kurs rupiah dan sejumlah mata uang negara lain adalah kebijakan China yang sengaja melemahkan (devaluasi) mata uang Yuan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Bank of America (BofA) mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki prospek negatif terhadap sejumlah mata uang Asia, yang tampaknya terkena dampak penundaan penurunan suku bunga Federal Reserve.

"Kami tidak optimis terhadap mata uang apa pun di Asia," kata Bank of America dalam laporannya baru-baru ini, dikutip dari CNBC International, Rabu (24/4/2024).

BofA menjelaskan, hal itu karena banyak mata uang Asia yang terkena dampak tertundanya siklus pelonggaran Federal Reserve dan penguatan dolar AS (USD) yang berkelanjutan.

Bank investasi itu menyebutkan, Yuan China, Won Korea Selatan, Dolar Taiwan, Baht Thailand dan Dong Vietnam memasuki kategori bearish atau tren pelemahan.

Sementara itu, di antara daftar mata uang netral adalah Dolar Hong Kong, Rupiah Indonesia, Rupee India, Ringgit Malaysia, Peso Filipina dan Dolar Singapura.

Yuan China

BofA memperkirakan Yuan China akan diperdagangkan pada 7,35 terhadap USD pada kuartal kedua 2024 ini dan melemah menjadi 7,45 pada kuartal ketiga dan keempat.

Sebelumnya, Bank Dunia telah memperkirakan tekanan depresiasi Yuan akan terus berlanjut hingga paruh kedua tahun ini, karena tertundanya pelonggaran kebijakan The Fed, disinflasi China yang memperparah kesenjangan imbal hasil (yield gap) dengan AS, dan lemahnya neraca keuangan sebagai akibat dari memburuknya investasi asing langsung (foreign direct investment).

Won Korea Selatan

BofA melihat, prospek Won Korea Selatan berubah secara signifikan setelah The Fed menunda waktu penurunan suku bunga dan risiko geopolitik Timur Tengah menjadi hambatan utama.

"Sejak tahun ini, kami telah melihat arus masuk yang besar ke ekuitas Korea, namun arus masuk ini mulai berbalik arah karena ekuitas global mulai beralih dari dua risiko yang disebutkan di atas," tulis para ekonom BofA.

Won Korea Selatan baru-baru ini merosot ke level terendah dalam 18 bulan di 1,389.5 terhadap USD. Kepala Bank of Korea mengakui terjadi volatilitas Won yang bberlebihan dan mengatakan akan melakukan intervensi jika diperlukan.

Won terakhir diperdagangkan pada 1.347,3 terhadap dolar AS. Ekonom BofA mengatakan Won saat ini dinilai terlalu tinggi dibandingkan dengan nilai wajarnya sebesar 1,417.

 

 


Dolar Taiwan

Warga memakai masker untuk melindungi dari penyebaran COVID-19 saat melewati Gedung Taipei 101 di Taipei, Taiwan, Sabtu (15/5/2021). Taiwan yang membuat iri dalam menahan COVID-19 memberlakukan pembatasan baru di ibu kota saat memerangi wabah terburuk sejak pandemi. (AP Photo/Chiang Ying-ying)

BofA juga tetap negatif terhadap dolar Taiwan karena arus keluar ekuitas yang kuat dan pembatalan tambahan lindung nilai ke depan yang tidak dapat diserahkan oleh perusahaan asuransi jiwa.

Dolar Taiwan saat ini diperdagangkan pada 32,6 per USD.

Dong Vietnam

Dong Vietnam diperdagangkan pada 25.450 per USD, melemah hampir 5% sepanjang tahun ini.

Menurut BofA, yang memperparah dampak penundaan pemotongan suku bunga The Fed adalah ketidakstabilan politik di Vietnam setelah pengunduran diri presiden yang kedua dalam dua tahun serta kesulitan di sektor properti.

 Hambatan tersebut mendorong permintaan domestik terhadap dolar AS dan emas, kata BofA.

"Kami merevisi perkiraan kami untuk mengantisipasi tekanan depresiasi VND lebih lanjut menjadi 25.600 pada akhir kuartal kedua dan pada akhirnya USD/VND pada 25.700 pada akhir tahun," jelas bank tersebut.

 


Baht Thailand

Mata Uang Baht. (Foto: Lillian Suwanrumpha / AFP Photo)

BofA mengatakan, Baht Thailand juga masih rentan terhadap ketegangan geopolitik akibat kenaikan harga minyak dan biaya pengiriman.

Mereka merevisi perkiraan mata uangnya menjadi 37 terhadap greenback pada akhir tahun.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya