Pemprov Jabar Bangga Kirim 16 Ton RDF, Aktivis Lingkungan: Cuma Solusi Semu

Ada senyawa kimia hasil pembakaran tidak sempurna yang dapat timbul dan membahayakan lingkungan di sekitarnya, menghasilkan emisi yang akan berdampak pada lingkungan, manusia dan juga mahluk hidup.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 26 Apr 2024, 23:00 WIB
Wanggi Hoed menggelar aksi pantomim di persimpangan Jalan Cikapayang, Kota Bandung, Kamis (22/4/2021). (Liputan6.com/ Dikdik Ripaldi)

Liputan6.com, Bandung - Pj Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin melepas pengiriman 16 ton RDF sampah dari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Santiong, Kota Cimahi, pada 22 April 2024 lalu. Pengiriman untuk pabrik semen PT Indocement itu dilakukan persis pada peringatan Hari Bumi Internasional.

Bey mengklaim, pengiriman tersebut adalah bagian langkah nyata Pemprov Jabar untuk menyelamatkan bumi. Hasil RDF juga akan didorong agar dimanfaatkan oleh industri-industri yang ada di Kota Cimahi.

"Hari ini pengelolaan sampah yang baik itu telah ditunjukkan oleh TPST Santiong, dan telah menjadi pusat inovasi pengelolaan sampah dengan teknologi canggih dan pengolahan berkelanjutan," kata Bey dalam keterangan, Senin (22/4/2024)

Apa yang dipandang Bey sebagai langkah menyelamatkan bumi tersebut berbanding terbalik dengan pandangan kalangan aktivis lingkungan. RDF selama ini dipandang jadi solusi semu dalam pengelolaan sampah. RDF dinilai bukan sebagai solusi.


Pandangan AZWI

Menurut penilaian Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), pengelolaan sampah melalui metode termal, seperti insinerator atau konversi menjadi bahan bakar (RDF), tidak menghilangkan sampah tetapi hanya mengubahnya menjadi bentuk abu dan gas, tanpa secara efektif menyelesaikan permasalahan sampah. Menurut AZWI, penanganan sampah lewat RDF hanyalah solusi semu.

Menurut amatan AZWI, ada senyawa kimia hasil pembakaran tidak sempurna yang dapat timbul dan membahayakan lingkungan di sekitarnya, menghasilkan emisi yang akan berdampak pada lingkungan, manusia dan juga mahluk hidup lainnya. Emisi adalah biang kerok yang mempercepat laju krisis iklim. Selain itu, dengan membakar sampah akan menghasilkan timbal, logam berat, merkuri. Dan yang paling kami khawatirkan itu adalah dioxin dan furan.

Dioksin dan Furan merupakan bahan kimia berbahaya yang dihasilkan secara tidak sengaja pada proses pembakaran tidak sempurna dari bahan yang mengandung zat berklorinasi seperti limbah plastik, proses manufaktur pestisida atau zat berklorinasi lainnya. Dalam aplikasinya, dioksin furan dapat terlepas pada saat proses pembakaran limbah rumah sakit, limbah perkotaan, limbah B3, emisi dari kendaraan bermotor, gambut, batubara dan kayu.

Paparan dioksin dan furan dapat menimbulkan dampak berbahaya terhadap lingkungan termasuk manusia dan mahkluk hidup lainnya dengan tingkat toksisitas tertinggi (TEQ level 1) dibandingkan bahan pencemar lainnya yang ada saat ini. Media udara merupakan media dimana bahan pencemar dapat terdispersi ke lingkungan dengan mudah dengan cakupan yang luas.

Melalui proses rantai makanan, manusia yang berada pada posisi tertinggi dalam piramida makanan, akan berpotensi menjadi tempat akumulasi akhir dan merusak sistem hormonal (endocrin disrupted compound) serta pemicu penyakit kanker.

Permasalahan tersebut menyebabkan dioksin furan secara internasional telah diatur melalui Konvensi Stockholm dan Indonesia telah meratifikasi melalui UU No.19/2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention Tentang POPs.

 


Kritikan Walhi Jabar

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) memandang, teknologi Refuse-Derived-Fuel (RDF) tidak akan menyelesaikan masalah sampah di Kota Bandung. Salah satu problem yang dinilai Walhi adalah tidak adanya pemilahan sampah pada proses RDF.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin Iwang, dalam keterangan tertulis di Bandung, dikutip Minggu, 21 April 2024.

"Sikap Walhi selama ini tidak pernah mendukung menyikapi persoalan sampah dengan cara dibakar, pemanfaatan sampah menjadi RDF tidak pernah kami benarkan. Cara tersebut tidak ada mekanisme pemilahan pada saat memproses serta memadatkan sampah yang campur menjadi RDF," katanya

Ketika sampah tersebut sudah dipadatkan dan selanjutnya dibakar, lanjut Iwang, maka zat berbahaya yang terkandung pada RDF tersebut akan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia serta menimbulkan pencemaran yang memperburuk kualitas udara.

"Sampah malah di jadikan RDF dan di jadikan bahan baku pembakaran untuk industri, saat ini pemerintah telah mendistribusikan RDF ke beberapa industri salah satunya PLTU serta industri semen, hal tersebut yang kami anggap sebagai solusi palsu," imbuh Iwang.

Walhi Jawa Barat beranggapan, masalah sampah harus diurai mulai dari sumbernya dan dengan cara menerapkan 3R.

Reuse (memanfaatkan kembali sampah yang masih bisa digunakan atau bisa berfungsi lain), reduce (mengurangi produksi sampah), dan recycle (mendaur ulang sampah jadi produk atau barang yang bermanfaat).

"Pemerintah selama ini dalam mengatasi sampah salah satunya terus memaksakan rencana pengadaan tekhnologi PLTSa serta PSEL, hal ini tidak mencerminkan mandat Undang-Undang Pengelolaan sampah No.18 tahun 2008 dengan mendorong serta mengelola sampah dari sumber dan minimasi sampah dengan baik," kata Iwang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya