Liputan6.com, Jakarta - Masih ada orang-orang atau bahkan kita sendiri yang dalam ibadahnya terjebak dalam perangkap riya. Secara sederhana, riya merupakan kesombongan karena ingin dipuji atau dilihat baik di mata orang lain.
Dalam Islam, riya dianggap sebagai dosa yang sangat serius karena menghamburkan nilai spiritualitas dan tujuan sejati ibadah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan tulus.
Ketika seseorang melakukan ibadah dengan niat untuk memperoleh pujian atau pengakuan dari orang lain, maka ibadah tersebut kehilangan nilai dan keikhlasannya.
Riya bisa muncul dalam berbagai bentuk ibadah, mulai dari sholat, puasa, hingga amalan-amalan lainnya. Seseorang mungkin melakukan ibadah dengan sangat bersemangat di depan orang lain, namun saat sendirian atau di tempat tersembunyi, ibadah tersebut menjadi kurang diperhatikan atau dilakukan dengan kurangnya kekhusyukan.
Hal ini menunjukkan bahwa niatnya bukanlah semata-mata untuk menyenangkan Allah, tetapi juga untuk mencari pujian atau pengakuan dari manusia.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan, dalam satu riwayat, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa riya dalam beribadah lebih tersembunyi daripada Dajjal. Diketahui, Dajjal adalah makhluk yang kemunculannya menjadi tanda kiamat makin dekat.
Simak Video Pilihan Ini:
Definisi Singkat Riya
Penting bagi setiap muslim untuk selalu memeriksa dan memperbaiki niat dalam ibadahnya agar tetap tulus dan ikhlas hanya untuk Allah. Salah satu cara untuk melawan riya adalah dengan memperkuat kesadaran akan kehadiran Allah yang Maha Mengetahui di setiap langkah ibadah yang kita lakukan.
Dengan memperkuat ikatan spiritual kita dengan Allah, kita dapat memprioritaskan keikhlasan dalam ibadah dan menghindari godaan riya yang dapat mengganggu hubungan kita dengan-Nya.
Menukil muslimah.or.id, riya merupakan keinginan hati untuk dipuji saat melakukan ibadah maupun amal salih, sehingga pelaku riya tersebut cenderung memperbagus ibadahnya. Para ulama mendefinisikan riya sebagai berikut,
أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم
“Riya adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain.” (Lihat Al-Muwafaqat karya Asy-Syatibi [2/353], Ar-Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55]).
Advertisement
Inilah Bahaya Riya
Terdapat beberapa bahaya dari riya yang disebutkan baik di Al-Qur’an maupun berbagai sumber As-Sunnah, diantaranya sebagai berikut:
1. Riya’ membatalkan pahala amal salih
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Perumpamaan hati pada ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang berbuat riya’ tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal ibadah yang dilakukan lewat saja dari hati mereka. Tidak ada kebaikan maupun pahala yang didapatkan, bahkan mereka mendapatkan dosa darinya. Hal ini sangat disayangkan sekali karena ibadah yang dilakukan terhapus pahalanya, hanya memberikan lelah.
2. Riya’ termasuk kesyirikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ ، قَالَ قُلْنَا بَلَى ، فَقَالَ : الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata, “Kami mau.” Maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang salat, lalu ia menghiasi (memperindah) salatnya, karena ada orang yang memperhatikan salatnya.” (HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa’id al-Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389)
Kesyirikan yang dimaksud adalah kesyirikan tersembunyi atau disebut sebagai syirik khafi.
3. Amal salih yang disertai riya’ akan hilang pengaruh baiknya
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ﴿٥﴾الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ﴿٦﴾وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan mencegah (menolong dengan) barang yang berguna.” (QS. Al-Ma’uun: 4-7)
Dalam ayat tersebut, orang yang salat dengan riya’ tidak akan memiliki pengaruh positif dalam hati mereka. Mereka hanya mengerjakan salat dari apa yang tampak saja. Hati mereka tidak digunakan untuk mengharap pahala dari Allah, tetapi mereka hanya mengharapkan ucapan semu dari manusia. Maka merugilah orang-orang yang melakukan riya’.
Tiga Riya yang Menempel Pada Ibadah
Berdasarkan fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin hafizhahullah pada Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30), terdapat tiga macam menempelnya riya’ dengan ibadah:
1. Asal tujuan dalam ibadahnya agar dilihat oleh orang
Pada kasus ini, riya’ membatalkan ibadahnya.
2. Bersama dalam ibadah, terdapat riya’ disela-selanya
Apabila kondisi awal tidak terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ mempengaruhi pada kondisi yang dilekatinya. Sebagai contoh membaca Al-Qur’an. Pada sepuluh ayat awal, orang tersebut tidak ada riya’. Tetapi pada ayat selanjutnya, orang tersebut melakukan riya’. Maka riya’ hanya mempengaruhi amalan pada bacaan setelah sepuluh ayat pertama.Apabila kondisi awal terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ dapat membatalkan ibadahnya. Sebagai contoh salat, puasa. Apabila orang tersebut menyadarinya dan segera mengkoreksi niatnya, maka riya’ tersebut tidak memberikan pengaruh. Tetapi apabila orang tersebut menikmati dan tidak ingin menolak riya’, maka ibadah tersebut batal.
3 . Munculnya riya’ setelah beribadah
Hal ini tidak mempengaruhi ibadahnya karena telah sempurna ibadah yang sudah dilakukan. Bukan termasuk riya’ seseorang senang dengan melakukan amal salih karena hal tersebut merupakan bukti atas keimanannya. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin”. (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement