Cerita Nungki Bangun Attempe, Angkat Kedelai Lokal Hingga Bawa Misi Lingkungan

Kisah Nungki angkat kedelai lokal melalui Attempe.

oleh Anugerah Ayu Sendari diperbarui 26 Apr 2024, 15:15 WIB
Nurhayati Nirmalasari (52) dengan produk Attempe buatannya. (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Liputan6.com, Jakarta Tempe telah menjadi bagian dari budaya kuliner Indonesia selama berabad-abad. Praktik pembuatan dan konsumsi tempe telah diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan akar budaya yang kuat di dalam masyarakat.

Tempe yang dibuat dari kedelai, merupakan salah satu bahan pangan utama di Indonesia. Setelah Tiongkok, Indonesia menjadi negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia. Namun, menurut Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, produksi kedelai lokal hanya mencukupi kurang dari 20 persen kebutuhan dalam negeri, sementara lebih dari 80 persennya dipenuhi melalui impor setiap tahunnya.

Menurut data BPS per 2023, sekitar 90 persen impor kedelai Indonesia berasal dari Amerika Serikat (AS), mencapai 1,95 ton. Dari total volume impor tersebut, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe. Sementara itu, per 2022, laju pertumbuhan produksi kedelai dalam negeri lima tahun terakhir cenderung terus menurun yakni rata-rata 15,54 persen per tahun. 

Kondisi inilah yang membuat Nurhayati Nirmalasari (52) tergerak mengangkat reputasi kedelai lokal. Sejak 2015, perempuan yang akrab disapa Nungki ini merintis produk tempe organik dan olahannya yang terbuat dari kedelai lokal yang diberi nama Attempe.

“Sebenarnya komoditi kedelai lokal itu bagus-bagus. Bahkan ada varietas yang biji besar. Tapi kenapa kok 90 persen itu kedelai itu impor. Ini yang harus diangkat,” ujar Nungki saat ditemui di rumah produksi tempenya, di daerah Maguwoharjo, Sleman, Minggu (17/3/2024).


Angkat kedelai lokal

Ilustrasi kedelai/credit: unsplash.com/Thomas

Nungki memulai bisnisnya dengan menggabungkan metode tradisional dengan teknologi modern. Ia menghubungi para petani lokal dan mulai bekerja sama dengan mereka untuk mendapatkan pasokan kedelai berkualitas tinggi.

Berbekal ilmu saat berkuliah di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Nungki bersama sang suami yang juga merupakan peneliti kedelai, merintis Attempe. Kedelai yang digunakan Nungki merupakan kedelai dari para petani lokal di DIY dan sekitarnya. Berbeda dengan kedelai impor berjenis Genetically Modified Organisms (GMO), kedelai lokal dari para petani justru bersifat non-GMO.

kedelai GMO adalah kedelai yang telah dimodifikasi secara genetik untuk memasukkan atau menghilangkan sifat-sifat tertentu. Kedelai non-GMO, di sisi lain, diproduksi dari varietas kedelai yang tidak dimodifikasi secara genetik. 

“Kelebihannya non-GMO jelas lebih sehat, lebih alami. Dan kalau kedelai yang pakai non-GMO lokal pastinya dia itu panenan segar (langsung diolah), panenan yang belum lama. Karena kedelai kita itu panenan 3 bulan ke atas sudah menurun kualitasnya,” ujar Nungki.

Menggunakan kedelai lokal sekaligus juga bisa mengangkat para petani. Produksi kedelai lokal mendukung perekonomian lokal dan kesejahteraan petani. 

Menurut Nungki, para petani kedelai saat ini terus tercekik akibat tingginya impor kedelai. Produktivitas kedelai lokal rendah terjadi salah satunya karena luas lahan tanam kedelai terus berkurang akibat alih fungsi lahan. Ini karena harga kedelai lokal terkalahkan oleh kedelai impor. 

“Nanti kalau pas kedelai lokal panen. Pasti (harga) kedelai impor itu turun. Kalau (harga pokok penjualan) HPP-nya rp8.500, ternyata harga di pasaran itu ternyata cuma rp7.000, ya. Akhirnya besok lagi petani enggak mau nanam,” ujar Nungki. 


Inovasi tempe instan sampai olahan turunannya

Produk-produk Attempe mulai dari tempe segar sampai olahannya. (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Di pabrik tempenya, Nungki menggunakan teknologi canggih untuk mengoptimalkan proses produksi. Meskipun demikian, ia tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pembuatan tempe. Alat-alat modern membantu mengurangi penggunaan energi dan air. Hasilnya adalah tempe berkualitas tinggi yang tetap setia pada akar tradisionalnya, namun dengan sentuhan inovasi modern.

Tempe segar merupakan produk yang dibuat Nungki saat awal merintis Attempe. Saat itu produksi tempenya masih dititipkan pada pembuat tempe lain. Pada 2017, barulah Nungki membuka pabrik produksi tempe sendiri. 

Nungki kemudian menciptakan tempe instan. Inovasi ini menjadi solusi praktis untuk membuat tempe sendiri menggunakan paket yang berisi kedelai dan ragi. Tempe tersebut dijual dalam bentuk paket yang sudah dilengkapi dengan petunjuk rinci proses pembuatannya. 

Tak hanya tempe instan, ia juga membuat produk turunan dari tempe mulai dari keripik tempe aneka rasa, kukis, sambal abon, nori, hingga baceman. Produk-produk ersebut memiliki tagline “Ngemil tanpa rasa dosa”. Ini karena produk yang dibuat Nungki sehat dan bebas bahan pengawet.

“Kita ini gluten free, terus digorengnya pakai minyak kelapa. Nggak pakai MSG juga,” ujar Nungki. 

Di awal merintis, Nungki sempat memasarkan tempenya di pasar-pasar tradisional. Namun, ia kalah harga dibanding tempe-tempe lainnya. Akhirnya, ia harus merelakan tempe-tempe yang diretur untuk dikubur.

“Sambil nangis, itu dikubur di tanah kosong sebelah rumah,” ujar Nungki.

Nungki memang mengakui bahwa produknya lebih mahal dibanding produk pabrikan lainnya. Namun, harga yang didapat sepadan dengan kualitas yang ditawarkan. 

Lambat laun, pelanggan mulai datang. Kebanyakan adalah orang-orang yang sadar akan kesehatan dan mencari makanan sehat. Tempe segar dipasarkan melalui supermarket, layanan katering, hotel, dan sebagian besar dijual ke rumah sakit. Sementara keripik dan tempe instan dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia melalui penjualan langsung secara online dan melalui reseller.

Dalam sehari, Attempe bisa memproduksi sampai 300 produk. Harga tempe segar buatan Nungki dibanderol pada kisaran rp6 ribu. Sementara produk turunannya bisa dibeli pada kisaran rp15.000-30.000. Nungki mengaku, dalam sebulan, ia bisa memperoleh omzet kurang lebih rp30 juta. Keuntungan ini juga membuatnya bisa mempekerjakan 5 karyawan tetap dan 2 tidak tetap.


Konsep ramah lingkungan

Produk Attempe yang dijual di salah satu supermarket di Kota Yogyakarta (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Tak cuma mengangkat petani lokal, Nungki juga punya misi lingkungan ketika membangun Attempe. Menggunakan kedelai lokal mengurangi emisi karbon yang terkait dengan transportasi dan pengiriman dari jarak jauh. Ini merupakan langkah penting dalam mengurangi dampak lingkungan dan mendukung praktik produksi berkelanjutan.

 Ia pun menerapkan prinsip zero waste. Dalam hal pendampingan petani, Nungki membantu membuatkan pupuk organik dari limbah pembuatan tempe. 

“Petani-petani itu kita bikinkan pupuk juga. Dan pupuk yang bagus itu ya yang dari kedelai sendiri. Jadi dari limbah-limbah (pembuatan) tempe dibikin pupuk itu bagus,” ujar Nungki.

Dalam hal penggunaan air, Nungki memakai teknik steam agar fungsi air lebih efisien. Air limbah yang keluar pun diberikan pada peternak untuk minum hewan ternak. Selain itu, limbah kulit kedelai juga disalurkan pada peternak.

“Jadi kita tidak meninggalkan sisa produksi,” tambah Nungki.

Proses produksi ramah lingkungan ini membantu mengurangi pencemaran tanah, air, dan udara.  Apa yang dilakukan Nungki membuat produksi tempenya dapat menjadi lebih ramah lingkungan, mendukung kelestarian alam, dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.


BRI bantu misi Attempe

Nurhayati Nirmalasari (52) dengan produk Attempe buatannya. (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Nungki mengembangkan strategi pemasaran yang kuat untuk mempromosikan produk tempenya. Ia menggunakan platform online untuk menjangkau pasar yang lebih luas, serta bekerja sama dengan reseller dan supermarket lokal. Ia juga memanfaatkan berbagai kesempatan untuk mengenalkan tempenya, termasuk ikut pameran.

“Banyak juga  orang mengenal di pameran, kita pernah bawa panci listrik, kita praktekkan di situ masak tempe instan,” ujar Nungki.

Salah satu pameran besar yang baru saja diikuti Nungki adalah BRI UMKM EXPO(RT) BRILIANPRENEUR pada Desember 2023 lalu. Brilianpreneur adalah acara yang diselenggarakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan tujuan untuk membantu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar bisa naik kelas dan memperluas bisnis mereka hingga ke pasar internasional. UMKM EXPO(RT) BRILIANPRENEUR 2023 melibatkan pengusaha muda baru yang diharapkan mampu mendukung dan mendorong ekonomi Indonesia. 

Menurut Nungki, dengan mengikuti program Brilianpreneur, produk-produk Attempe bisa lebih terangkat, terutama di pasar internasional. Dari pameran ini, Nungki bisa menunjukkan bahwa bisnisnya tidak hanya tentang menghasilkan keuntungan, tetapi juga tentang memberikan dampak positif bagi komunitas dan lingkungan.

Selain dilibatkan dalam Brilianpreneur, pada 2021 Nungki juga menjadi salah satu Figur Inspiratif Lokal BRI. Figur Inspiratif Lokal (FIL) adalah inisiatif bisnis mikro yang melibatkan kerjasama antara BRI dengan figur inspiratif untuk memberikan motivasi dan panduan bagi pelaku usaha mikro, sehingga mereka dapat berkembang sesuai dengan inspirasi dari figur-figur tersebut. Di sini, Nungki mendapat pelatihan sertifikasi untuk bisa menjadi pendamping UMKM. 

“Jadi dulu kami dilatih dan kemudian mendapat sertifikasi BNSP sebagai pendamping UMKM,” ujar Nungki. 

Nungki berharap, dengan adanya fasilitas dari BRI, Attempe bisa punya branding yang lebih kuat. Dengan begitu, misinya mengangkat kedelai lokal bisa lebih terdukung. Melalui sertifikasi yang diberikan, Nungki juga berharap bisa menularkan semangat pelaku UMKM lainnya untuk terus berkomitmen pada misi yang dimiliki.

Supari, Direktur Bisnis Mikro BRI menyebutkan, BRI berusaha menyediakan solusi terpadu bagi pelaku usaha mikro, tidak hanya dalam bidang keuangan tetapi juga kebutuhan non-keuangan yang relevan dengan usaha UMKM. Saat ini, lebih dari 890 Figur Inspiratif Lokal (FIL) telah mendapatkan sertifikasi untuk mendampingi UMKM.

“BRI memiliki konsep pemberdayaan UMKM secara end to end, yakni pemberdayaan dari fase dasar hingga pengembangan platform berbasis digital yang mampu menjadi solusi pengembangan ekosistem UMKM. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa UMKM mempunyai daya saing dan mampu beradaptasi dengan pasar,” ungkap Supari dalam keterangan resminya pada Rabu (21/2/2024).

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya