Liputan6.com, Jakarta Di era digital masyarakat kian sering menemukan anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan atau kelainan pada mata. Di usia sangat muda, beberapa dari mereka sudah harus mengenakan kacamata setiap harinya.
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dokter Hasto Wardoyo, salah satu penyebabnya adalah penggunaan gawai, termasuk untuk bermain game online.
Advertisement
“Sekarang ini ada anak yang katakanlah baru usia lima atau enam tahun sudah pakai kacamata tebal. Mata itu alau melihat HP, melihat game jaraknya terlalu dekat, mata akomodasinya berat sekali sehingga kelainan mata akan terjadi. Ada yang namanya miopia,” kata Dokter Hasto saat ditemui di Jakarta, Kamis (26/4/2024).
Miopia atau rabun jauh adalah suatu kondisi penglihatan yang umum di mana objek yang dekat terlihat jelas tapi objek yang jauh terlihat buram, seperti melansir Mayoclinic.
Maka dari itu, ia mendukung wacana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam memblokir game online yang mengandung konten kekerasan.
Pasalnya, selain berdampak negatif pada mata anak, game online bertema battle royale atau kekerasan juga diyakini dapat memengaruhi perilaku anak.
Menurutnya, anak-anak tidak boleh diisi oleh hal-hal yang memengaruhi template sikap dan moral mereka.
“Kalau dikenalkan dengan game-game yang cenderung akan memengaruhi sikap kekerasan, ini sangat berbahaya,” ucap Dokter Hasto.
“Game itu tidak hanya berdampak psikologis tapi juga cara melihatnya saja sudah menimbulkan masalah. Makanya saya sangat mendukung bahwa kita selamatkan lah anak-anak kita untuk kemudian tidak terkena toxic dalam hal-hal seperti itu.”
Game Online Picu Hambatan Kognitif pada Anak
Selain menimbulkan masalah mata, game online juga disebut dapat memicu hambatan kognitif pada anak.
Hal ini disampaikan psikolog anak Universitas Airlangga (Unair) Nur Ainy Fardana. Menurutnya, game online yang menampilkan konten kekerasan dapat memengaruhi kondisi psikologis dan kognitif para pemainnya, terutama pada anak-anak.
“Misalnya menyebabkan perilaku agresif, permasalahan kontrol emosi, kesulitan pengendalian diri, hambatan kognitif,” kata Nur Ainy kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, Kamis, 4 April 2024.
Dia menambahkan, game online merupakan media yang memiliki kekuatan besar. Tak hanya mampu mengirimkan pesan melalui pendengaran, tapi juga melalui penglihatan. Ini menimbulkan akibat pada otak terutama di area lobus frontalis.
Area otak ini berfungsi untuk mengontrol diri, perilaku agresif dan mengambil keputusan. Pada anak-anak, fungsi ini belum berkembang dengan sempurna.
“Pada usia ini, anak seringkali berperilaku berdasarkan apa yang mereka lihat di lingkungan sosial mereka. Apabila mereka seringkali terpapar game dengan konten kekerasan, maka mereka akan menirunya,” ujarnya.
Advertisement
Pengaruhi Otak dan Pengendalian Emosi
Anak selalu meniru apa yang dilihatnya, lanjut Nur Ainy, maka setelah bermain game yang mengandung kekerasan, kemungkinan besar anak akan meniru kekerasan tersebut. Anak bisa saja melakukan kekerasan ini dengan temannya.
“Menurut hasil penelitian yang juga dipublikasikan di jurnal Developmental Psychology, anak-anak yang senang bermain game bertema kekerasan dapat menyimpulkan bahwa tindakan kekerasan adalah cara yang efektif dan tepat untuk menangani konflik dan kemarahan.”
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dalam jangka panjang, pemain game kekerasan umumnya cenderung bereaksi lebih agresif, bahkan terhadap hal-hal yang tidak disengaja. Misalnya hanya karena tersenggol.
“Studi tentang pengaruh game tersebut menunjukkan bahwa setelah satu minggu anak bermain game secara terus-menerus yang mengandung kekerasan, seperti game action, dapat mengakibatkan perubahan di daerah otak yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan pengendalian emosi,” papar Nur.
Kasus Kekerasan Akibat Game Online
Sebelumnya, selama Januari hingga Maret 2024 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 327 pengaduan tentang kekerasan anak. Dari 327 pengaduan, ada 383 kasus yang diadukan.
Menurut Anggota Komisioner KPAI Kawiyan, kasus kekerasan kategori Perlindungan Khusus Anak (PKA) didominasi oleh kasus pencabulan. Namun, ada pula kekerasan yang terjadi akibat game online.
“Kekerasan akibat game online itu tidak masuk 10 besar (terbanyak), tapi ya ada, cuman enggak masuk 10 besar,” kata Kawiyan kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis 4 April 2024.
Dia menilai, game online menjadi salah satu alasan terjadinya kekerasan pada anak termasuk di lingkungan sekolah.
“Game online memengaruhi kekerasan anak itu saya kira benar, karena di game online kan banyak konten-konten yang isinya pertarungan. Baik individu lawan individu, maupun kelompok lawan kelompok.”
Jika anak memainkan game online terus-menerus, sementara kontennya kekerasan atau perkelahian, maka lama-kelamaan akan membangun anak untuk mengikuti hal serupa, jelas Kawiyan.
Advertisement