Hamas Bersedia Meletakkan Senjata jika Negara Palestina Merdeka Berdiri

Berdirinya Negara Palestina merdeka harus sesuai dengan Garis Hijau atau perbatasan pra-1967.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 26 Apr 2024, 15:07 WIB
Ilustrasi Palestina (AP)

Liputan6.com, Istanbul - Seorang pejabat tinggi politik Hamas mengatakan kepada kantor berita AP bahwa pihaknya bersedia menyetujui gencatan senjata selama lima tahun atau lebih dengan Israel dan berubah menjadi partai politik jika negara Palestina merdeka didirikan sesuai Garis Hijau atau perbatasan pra-1967.

Pernyataan Khalil al-Hayya dalam wawancara pada hari Rabu (24/4/2024) muncul di tengah kebuntuan pembicaraan gencatan senjata selama berbulan-bulan atas perang di Jalur Gaza. Gagasan Hamas akan melucuti senjatanya dinilai konsesi signifikan dari kelompok militan yang secara resmi berkomitmen menghancurkan Israel.

Namun, di lain sisi, dinilai kecil kemungkinannya Israel akan mempertimbangkan skenario seperti itu. Mereka telah bersumpah menghancurkan Hamas pasca serangan mematikan pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang terbaru antar keduanya. Selain itu, kepemimpinan Israel saat ini tegas menentang pembentukan Negara Palestina merdeka.

Dalam wawancaranya dengan AP yang berlangsung di Istanbul, Turki, al-Hayya, seorang pejabat tinggi Hamas yang mewakili militan-militan Palestina dalam negosiasi gencatan senjata dan pertukaran sandera, melontarkan pernyataan yang terkadang menantang dan terkadang bernada damai.

Menurut al-Hayya, Hamas ingin bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dipimpin oleh faksi saingannya, Fatah, untuk membentuk pemerintahan bersatu atas Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dia mengaku pula Hamas akan menerima Negara Palestina yang berdaulat penuh di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan kembalinya pengungsi Palestina sesuai dengan resolusi internasional, bersamaan dengan perbatasan pra-1967.

Jika hal itu terjadi, kata al-Hayya, sayap militer Hamas akan bubar.

"Semua pengalaman orang-orang yang melawan penjajah, ketika mereka merdeka dan memperoleh hak-hak dan negaranya, apa yang dilakukan kekuatan-kekuatan ini? Mereka berubah menjadi partai politik dan kekuatan tempur yang mereka bela berubah menjadi tentara nasional," tutur al-Hayya, seperti dilansir AP, Jumat (26/4).


Bantahan Hamas atas Klaim Israel

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Ophir Falk, menolak mengomentari pernyataan al-Hayya. Dia melabeli al-Hayya teroris tingkat tinggi. Namun, dia menyebut Hamas telah melanggar gencatan senjata sebelumnya melalui serangannya pada 7 Oktober.

"Pemerintahan PM Netanyahu menetapkan misi untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas di Gaza, membebaskan para sandera dan memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan ancaman bagi Israel dan seluruh dunia beradab di masa depan," tegasnya. "Tujuan-tujuan itu akan tercapai."

Israel mengklaim 1.200 orang tewas dalam serangan Hamas pada 7 Oktober, sementara lebih dari 250 lainnya disandera. Sementara itu, otoritas kesehatan Jalur Gaza menuturkan bahwa lebih dari 34.000 warga Palestina tewas di wilayah kantong itu akibat serangan balasan Israel yang dimulai pada hari yang sama.

Hampir tujuh bulan setelah perang di Jalur Gaza, perundingan gencatan senjata terhenti. Israel sekarang sedang mempersiapkan serangan ke Kota Rafah di selatan, tempat di mana lebih dari 1 juta warga Palestina mengungsi.

Israel mengaku pihaknya telah membubarkan sebagian besar dari dua lusin batalion Hamas sejak perang dimulai, namun empat batalion yang tersisa bersembunyi di Rafah. Israel berpendapat bahwa serangan Rafah diperlukan untuk mencapai kemenangan atas Hamas.

Al-Hayya mengatakan serangan seperti itu tidak akan berhasil menghancurkan Hamas. Dia mengungkapkan bahwa kontak antara kepemimpinan politik di luar dan kepemimpinan militer di dalam Jalur Gaza "tidak terputus" oleh perang dan "kontak, keputusan, serta arahan dibuat melalui konsultasi" antara kedua kelompok.

"Pasukan Israel belum menghancurkan lebih dari 20 persen kemampuan (Hamas), baik manusia maupun di lapangan," kata al-Hayya. "Kalau mereka tidak bisa menghabisi (Hamas), apa solusinya? Solusinya adalah mencapai konsensus."

Pada November 2023, gencatan senjata selama seminggu mengakibatkan pembebasan lebih dari 100 sandera dengan imbalan 240 tahanan Palestina yang ditahan di Israel. Namun, perundingan mengenai gencatan senjata jangka panjang dan pembebasan sandera yang tersisa kini terhenti, dan masing-masing pihak saling menuduh pihak lain tidak mau berkompromi.

Qatar, yang merupakan juru kunci negosiasi, mengatakan dalam beberapa hari terakhir bahwa mereka sedang melakukan "penilaian ulang" atas perannya sebagai mediator.


Hamas Tidak Menyesali Serangan 7 Oktober

Warga Palestina yang melarikan diri dari pemboman Israel di Jalur Gaza tiba di Rafah, Rabu (27/12/2023). (AP Photo/Hatem Ali)

Sebagian besar pejabat tinggi politik Hamas, yang sebelumnya berbasis di Qatar, telah meninggalkan negara Teluk itu dalam seminggu terakhir dan melakukan perjalanan ke Turki, tempat pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Sabtu (20/4). Al-Hayya membantah pemindahan permanen kantor politik utama kelompok tersebut sedang direncanakan dan mengatakan Hamas ingin melihat Qatar melanjutkan kapasitasnya sebagai mediator dalam perundingan tersebut.

Para pejabat Israel dan AS menuduh Hamas tidak serius dalam mencapai kesepakatan.

Al-Hayya membantah hal itu dengan menyatakan Hamas telah membuat konsesi mengenai jumlah tahanan Palestina yang ingin dibebaskan sebagai imbalan atas sisa sandera Israel. Bagaimanapun, dia menekankan Hamas tidak akan mundur dari tuntutannya untuk melakukan gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan Israel, yang keduanya ditolak keras oleh Israel.

Israel bersikeras akan melanjutkan operasi militer sampai Hamas benar-benar dikalahkan dan akan mempertahankan kehadiran keamanan di Jalur Gaza setelahnya.

"Jika kita tidak yakin perang akan berakhir, mengapa saya harus menyerahkan para tahanan?" kata pemimpin Hamas itu tentang sandera yang tersisa.

Al-Hayya juga secara implisit mengancam bahwa Hamas akan menyerang Israel atau pasukan lain yang mungkin ditempatkan di sekitar dermaga terapung yang sedang dibangun Amerika Serikat (AS) di sepanjang garis pantai Jalur Gaza untuk mengirimkan bantuan melalui laut.

"Kami dengan tegas menolak kehadiran non-Palestina di Gaza, baik di laut atau di darat, dan kami akan menghadapi kekuatan militer apa pun yang ada di tempat-tempat ini, Israel atau lainnya … sebagai kekuatan pendudukan," ujarnya.

Al-Hayya menggarisbawahi Hamas tidak menyesali serangan 7 Oktober, sekalipun kerusakan yang ditimbulkannya terhadap Jalur Gaza dan rakyatnya. Dia membantah militan Hamas menargetkan warga sipil selama serangan itu dan mengatakan bahwa operasi itu berhasil mencapai tujuannya untuk membawa masalah Palestina kembali menjadi perhatian dunia.

Upaya Israel untuk memberantas Hamas, kata al-Hayya, pada akhirnya tetap akan gagal mencegah pemberontakan bersenjata Palestina di masa depan.

"Katakanlah mereka telah menghancurkan Hamas. Apakah itu berarti rakyat Palestina telah tiada?" imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya