Liputan6.com, Jakarta - Pada zaman Nabi Muhammad SAW ada kisah seorang wanita karier yang mengadu kepada Rasulullah mengenai suaminya yang tak bekerja atau pengangguran.
Kisah ini diceritakan oleh KH Yahya Zainul Ma'arif atau Buya Yahya mengenai bagaimana solusi saat ada wanita karier yang memiliki suami pengangguran.
Buya seperti dikutip dalam video pendek Youtube akun @Dakwah_Muslim mengambil kisah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW.
"Ingat wahai wanita karire, jadilah wanita karier seperti ada pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam," kata Buya.
Baca Juga
Advertisement
Ia mengisahkan, ada wanita karier yang mengadu langsung kepada Nabi SAW, dengan kisah memiliki suami tanpa penghasilan. Perempuan ini meminta petunjuk langsung kepada Nabi SAW.
"Pada zaman Nabi dikisahkan yang wanita karier yang punya suami fakir ngadu pada Rasul, ya Nabi berikan dua jawaban dengan keadilan Islam," kata Buya.
Simak Video Pilihan Ini:
Suami Pengangguran, Ada Dua Pilihan
Jawaban Nabi yang pertama jika suami fakir tifak punya apa-apa dan tidak bekerja, maka Nabi memberikan jawaban wanita berhak meminta untuk bercerai.
"Sesuai keadilan Islam kalau memang suami tidak pernah memberi nafkah, kamu berhak minta cerai, nggak enak banget pilihannya, tapi ini keadilan" kata Buya Yahya.
Selain pilihan minta cerai, ada satu pilihan lagi, dan pilihan kedua ini justru berpahala dobel.
"Karena suami tidak pernah memberi nafkah ada pilihan lagi, yaitu wanita bekerja memberikan nafkjah untuk suami dan anak-anaknya," ucap Buya.
"Wanita karier yang menafkahi suami dan anak-anak maka dapat pahala dobel, pahala sedekah, pahalanya menafkahi keluarga," ujar Buya.
Nah untuk perempuan yang mengadu ke Nabi, karena cerdas, maka dipilihlah pilihan kedua. "Ya Rasulullah, biarkan kami yang memberikan nafkah kepada keluarga kami," kata perempuan karir tersebut kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditirukan Buya Yahya.
Advertisement
Begini Pahala Menafkahi Keluarga
Mengutip islami.co, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, nomor hadis 995, bahwa Rasulullah mengatakan satu dinar yang dikeluarkan untuk keperluan biaya perang fi sabilillah, atau pun satu dinar yang diberikan sebagai sedekah pada fakir dan miskin, tak sebanding dengan pahala satu dinar yang diberikan untuk nafkah keluarga. Rasulullah bersabda;
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Artinya:
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar.”
Sementara itu, Rasulullah dalam berbagai hadisnya memberikan apresiasi yang tinggi bagi seorang pekerja keras yang ingin menafkahi keluarganya. Hasil nafkah yang diberikan pada keluarganya, baik itu berupa makanan dan materi lainnya, oleh Rasulullah disebutkan pelbagai hal yang dikonsumsi oleh keluarganya termasuk dalam sedekah, yang bernilai tinggi di hadapan Allah.
وقد قال صلى الله عليه و سلم ما أنفقه الرجل على أهله فهو صدقة وإن الرجل ليؤجر في اللقمة يرفعها إلى في امرأته
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya bernilai sedekah. Sungguh, seseorang diberi ganjaran karena meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya.’”
Boleh Nggak Istri Menafkahi Suami?
Memberi nafkah dalam Islam merupakan tugas suami. Seorang suami, ketika telah melaksanakan akad nikah, maka ia berkewajiban memberikan mahar dan nafkah pada istrinya. Pun mahar tersebut merupakan hak seorang istri. Syekh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu j. IX, h. 6832 menjelaskan kewajiban nafkah seorang suami terbagi dua; nafkah materi dan nafkah non materi— di Indonesia populer dengan istilah nafkah bathin.
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
Artinya:
“Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Lalu persoalannya bolehkan istri bekerja, dan memberikan nafkah pada suami?
Pasalnya, tak tertutup kemungkinan, era sekarang, perempuan yang menjadi kepala keluarga, khususnya dalam bidang nafkah. Misalnya saja suami merasa sulit memikul nafkah keluarga sendirian, di saat beban hidup yang kian sulit.
Atau suami terkena PHK, yang terpaksa menganggur. Atau pada saat yang lain, suami terkena penyakit yang memaksa dirinya berhenti total dalam bekerja, dan terbaring sakit.
Seorang perempuan menafkahi suami dan keluarganya termasuk perkara yang boleh dalam Islam. Istri menafkahi suami, termasuk perkara yang dibolehkan Rasulullah. Dalam sebuah hadis yang dinukil dari kitab at-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, menceritakan sosok Rithah—Abdullah bin Masud—, yang merupakan seorang pekerja keras untuk memenuhi nafkah suami dan keluarganya. Atas tindakannya yang mulia tersebut Rasulullah memujinya.
عن ريطة بنت عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما أتت إلى النبي صلى الله وسلم. فقالت: يا رسول الله إني امرأة ذات صنعة أبيع منها وليس لي ولا لزوجي ولا لولي شيئ. وسألته عن النفقة عليهم فقال: لك في ذلك أجر ما أنفقت عليهم. أخرجه ابن سعد
“Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra. ia pernah mendatangi Nabi SAW dan bertutur, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apapun.” Ia juga bertanya mengenai nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka,” kata Nabi SAW.”
Pada sisi lain, Syekh Yusuf Al Qardhawi menyebutkan bahwa perempuan boleh bekerja dalam Islam, termasuk dalam hal ini seorang istri. Lebih jauh lagi, hukum perempuan bekerja ia bisa saja berubah menjadi wajib (bukan boleh lagi). Pergeseran hukum tersebut, sesuai dengan kondisi, jika perempuan tersebut merupakan janda atau seorang yang ditinggal mati suaminya dan memiliki anak untuk dinafkahi, dan dia memiliki kemampuan fisik sanggup untuk bekerja:
وعلى هذا الأساس نقول: إن عمل المرأة في ذاته جائز، وقد يكون مطلوبًا طلب استحباب، أو طلب وجوب، إذا احتاجت إليه: كأن تكون أرملة أو مطلقة ولا مورد لها ولا عائل، وهي قادرة على نوع من الكسب يكفيها,وقد تكون الأسرة هي التي تحتاج إلى عملها كأن تعاون زوجها، أو تربي أولادها أو أخوتها الصغار، أو تساعد أباها في شيخوخته
Atas dasar ini, kami mengatakan bahwa pekerjaan seorang wanita itu sendiri diperbolehkan, dan perempuan bekerja, terkadang tuntutan hukumnya adalah mustahab (sunnah), atau tuntutan perempuan bekerja jadi wajib.
Keadaan ini jika dia membutuhkannya: seperti jika perempuan tersebut adalah seorang janda atau wanita yang diceraikan, dan dia tidak memiliki sumber pendapatan atau penyedia, dan dia mampu mendapatkan penghasilan yang cukup dari usaha tersebut. Dan terkadang keluarganya membutuhkan ia untuk bekerja, seperti membantu suaminya, atau membesarkan anak-anak atau saudaranya, atau membantu ayahnya yang sudah tua.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul
Advertisement