Liputan6.com, Gaza - Pada hari Sabtu (27/4/2024) Hamas mengatakan bahwa mereka telah menerima tanggapan resmi Israel soal proposal gencatan senjata terbarunya.
Wakil Ketua Hamas Khalil Al-Hayya mengatakan pihaknya akan mempelajari tanggapan Israel perihal tersebut sebelum mengajukan jawabannya.
Advertisement
"Hamas hari ini (Sabtu 27 April) telah menerima tanggapan resmi dari pendudukan Zionis terhadap proposal yang disampaikan kepada mediator Mesir dan Qatar pada 13 April," kata Khalil Al-Hayya, yang saat ini berbasis di Qatar dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (28/4/2024).
Perang Israel vs Hamas di Gaza telah berlangsung lebih dari enam bulan, kendati demikian sejauh ini perundingan masih menemui jalan buntu. Hamas tetap berpegang pada tuntutannya bahwa perjanjian apa pun harus mengakhiri perang.
Delegasi Mesir mengunjungi Israel untuk berdiskusi dengan para pejabat Israel pada Jumat (26/4), mencari cara untuk memulai kembali perundingan guna mengakhiri konflik dan mengembalikan sisa sandera yang disandera Hamas, kata seorang pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut.
Pejabat tersebut, yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa Israel tidak memiliki usulan baru untuk diajukan. Namun, pihaknya bersedia untuk mempertimbangkan sebuah kesepakatan gencatan senjata yang bersifat terbatas, yang melibatkan pembebasan 33 sandera oleh Hamas. Hal ini menjadi perbandingan dengan usulan sebelumnya yang membahas pembebasan 40 sandera.
Sementara itu, sebelumnya pada Kamis (25/4), Amerika Serikat (AS) dan 17 negara lainnya meminta Hamas untuk membebaskan semua sandera sebagai jalan untuk mengakhiri krisis ini.
Hamas menegaskan bahwa meskipun tidak akan tunduk pada tekanan internasional, dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Jumat (26/4), mereka menyatakan terbuka untuk menerima ide atau proposal apapun yang memperhitungkan kebutuhan dan hak-hak rakyat mereka.
Namun, mereka tetap berpegang pada tuntutan utamanya yang telah ditolak oleh Israel. Mereka juga mengecam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh AS dan negara lain karena tidak menyerukan gencatan senjata permanen dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Klaim Kesempatan Terakhir dari israel
Mengutip dari dua pejabat Israel, situs Axios melaporkan bahwa Israel menyampaikan kepada mediator Mesir pada Jumat (26/4) bahwa mereka bersedia memberikan "kesempatan terakhir" dalam perundingan sandera untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas sebelum memulai invasi ke Rafah.
Rafah merupakan tempat perlindungan terakhir bagi sekitar satu juta orang di Gaza. Warga Palestina telah melarikan diri lebih jauh ke utara di Gaza saat awal perang, menghindari pasukan Israel.
Sementara itu, di Rafah, pejabat kesehatan Palestina mengatakan serangan udara Israel terhadap sebuah rumah menewaskan sedikitnya lima orang dan melukai lainnya.
Advertisement
Hamas Bersedia Meletakkan Senjata jika Negara Palestina Merdeka Berdiri
Seorang pejabat tinggi politik Hamas mengatakan kepada kantor berita AP bahwa pihaknya bersedia menyetujui gencatan senjata selama lima tahun atau lebih dengan Israel dan berubah menjadi partai politik jika negara Palestina merdeka didirikan sesuai Garis Hijau atau perbatasan pra-1967.
Pernyataan Khalil al-Hayya dalam wawancara pada hari Rabu (24/4/2024) muncul di tengah kebuntuan pembicaraan gencatan senjata selama berbulan-bulan atas perang di Jalur Gaza. Gagasan Hamas akan melucuti senjatanya dinilai konsesi signifikan dari kelompok militan yang secara resmi berkomitmen menghancurkan Israel.
Namun, di lain sisi, dinilai kecil kemungkinannya Israel akan mempertimbangkan skenario seperti itu. Mereka telah bersumpah menghancurkan Hamas pasca serangan mematikan pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang terbaru antar keduanya. Selain itu, kepemimpinan Israel saat ini tegas menentang pembentukan Negara Palestina merdeka.
Dalam wawancaranya dengan AP yang berlangsung di Istanbul, Turki, al-Hayya, seorang pejabat tinggi Hamas yang mewakili militan-militan Palestina dalam negosiasi gencatan senjata dan pertukaran sandera, melontarkan pernyataan yang terkadang menantang dan terkadang bernada damai.
Menurut al-Hayya, Hamas ingin bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dipimpin oleh faksi saingannya, Fatah, untuk membentuk pemerintahan bersatu atas Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dia mengaku pula Hamas akan menerima Negara Palestina yang berdaulat penuh di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan kembalinya pengungsi Palestina sesuai dengan resolusi internasional, bersamaan dengan perbatasan pra-1967.
Jika hal itu terjadi, kata al-Hayya, sayap militer Hamas akan bubar.
"Semua pengalaman orang-orang yang melawan penjajah, ketika mereka merdeka dan memperoleh hak-hak dan negaranya, apa yang dilakukan kekuatan-kekuatan ini? Mereka berubah menjadi partai politik dan kekuatan tempur yang mereka bela berubah menjadi tentara nasional," tutur al-Hayya, seperti dilansir AP, Jumat (26/4).
Bantahan Hamas atas Klaim Israel
Penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Ophir Falk, menolak mengomentari pernyataan al-Hayya. Dia melabeli al-Hayya teroris tingkat tinggi. Namun, dia menyebut Hamas telah melanggar gencatan senjata sebelumnya melalui serangannya pada 7 Oktober.
"Pemerintahan PM Netanyahu menetapkan misi untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas di Gaza, membebaskan para sandera dan memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan ancaman bagi Israel dan seluruh dunia beradab di masa depan," tegasnya. "Tujuan-tujuan itu akan tercapai."
Israel mengklaim 1.200 orang tewas dalam serangan Hamas pada 7 Oktober, sementara lebih dari 250 lainnya disandera. Sementara itu, otoritas kesehatan Jalur Gaza menuturkan bahwa lebih dari 34.000 warga Palestina tewas di wilayah kantong itu akibat serangan balasan Israel yang dimulai pada hari yang sama.
Hampir tujuh bulan setelah perang di Jalur Gaza, perundingan gencatan senjata terhenti. Israel sekarang sedang mempersiapkan serangan ke Kota Rafah di selatan, tempat di mana lebih dari 1 juta warga Palestina mengungsi.
Israel mengaku pihaknya telah membubarkan sebagian besar dari dua lusin batalion Hamas sejak perang dimulai, namun empat batalion yang tersisa bersembunyi di Rafah. Israel berpendapat bahwa serangan Rafah diperlukan untuk mencapai kemenangan atas Hamas.
Al-Hayya mengatakan serangan seperti itu tidak akan berhasil menghancurkan Hamas. Dia mengungkapkan bahwa kontak antara kepemimpinan politik di luar dan kepemimpinan militer di dalam Jalur Gaza "tidak terputus" oleh perang dan "kontak, keputusan, serta arahan dibuat melalui konsultasi" antara kedua kelompok.
"Pasukan Israel belum menghancurkan lebih dari 20 persen kemampuan (Hamas), baik manusia maupun di lapangan," kata al-Hayya. "Kalau mereka tidak bisa menghabisi (Hamas), apa solusinya? Solusinya adalah mencapai konsensus."
Pada November 2023, gencatan senjata selama seminggu mengakibatkan pembebasan lebih dari 100 sandera dengan imbalan 240 tahanan Palestina yang ditahan di Israel. Namun, perundingan mengenai gencatan senjata jangka panjang dan pembebasan sandera yang tersisa kini terhenti, dan masing-masing pihak saling menuduh pihak lain tidak mau berkompromi.
Qatar, yang merupakan juru kunci negosiasi, mengatakan dalam beberapa hari terakhir bahwa mereka sedang melakukan "penilaian ulang" atas perannya sebagai mediator.A
Advertisement